Minggu, 06 Maret 2011

SEPENGGAL KISAH KECIL YANG KEEMPATBELAS: Masa Akhir Studiku Strata Satu

Hari demi hari telah berlalu. Tak terasa telah sampai di waktu yang dulu ketika awal masuk kuliah ku canangkan sebagai semester terakhir jika aku bisa. Waktu itu adalah semester enam. Tiga tahun sudah aku berkuliah dan telah mendapatkan banyak sekali perlajaran, baik pelajaran kuliah maupun pelajaran non kuliah, bahkan pelajaran kehidupan. Di kota Yogyakarta yang besar dan ternyata sangat modern di balik keistimewaan kerajaannya, aku belajar banyak hal dan berusaha untuk berjalan menuju ke arah cita-cita yang sangat aku inginkan walau banyak halangan dan rintangan yang telah aku temukan dan aku hadapi. Banyak orang juga yang telah banyak membantu, bahkan sangat banyak membantuku di dalam perjalanan kehidupanku itu, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada mereka dan mendoakan mereka saja, semoga Tuhan selalu memberikan barakah-Nya kepada mereka semua sehingga mereka bisa menjadi yang diinginkan oleh mereka.
Semester enam, semester ketika aku mendapatkan nilai Indeks Prestasi yang paling rendah selama aku mengikuti perkuliahan yang pernah aku dapat, dengan kata lain, Indeks Prestasiku di semester lima itu sama dengan Indeks Prestasiku di semester satu. Aku memang konsisten di dalam menabung nilai untuk mendapatkan nilai Indeks Prestasi Kumulatif yang tinggi. Bukan hal yang mudah, tetapi bukan hal yang sulit juga ketika aku mau dan mampu berusaha sebesar yang aku bisa.
Semester enam diawali tidak jauh beda dengan semester-semester yang lalu. Yaitu seputar membayar biaya SPP, praktikum psikologi, dan input Kartu Rencana Studi. Namun, ada satu hal yang membedakan semester itu dengan semester-semester yang telah aku lalui, yaitu mata kuliah judul skripsi. Di mata kuliah itu, mahasiswa mengajukan judul skripsi dan memilih dosen pembimbing skripsi untuk skripsi kelak. Dan aku, telah mempersiapkan judul itu jauh sabelum semester enam tiba. Ya, karena aku sangat antusias untuk segera mendapatakn cita-citaku karena beberapa hal. Salah satu diantaranya adalah orang tuaku yang sudah terlalu tua untuk membiayaiku lagi sehingga aku harus segera bekerja dan hidup mandiri.
Judul skripsi itu aku dapatkan ketika aku semester empat, tepatnya ketika aku mengikuti sebuah mata kuliah pilihan , yaitu seminar psikologi social. Di saat teman-temanku mengambil mata kuliah pilihan alat tes seperti vocational dan inventory yang notabene keduanya memang mata kuliah semester lima, namun aku mengambil mata kuliah pilihan yang notabene mata kuliah semester tujuh, yaitu seminar, khususnya seminar psikologi social. Aku mengambil seminar psikologi social karena memang di seminar tersebut sudah dijuruskan ke arah skripsi dan spesialisasi. Aku memilih seminar di ranah psikologi social karena beberapa judul skripsi yang telah akupersiapkan di semester empat kesemuanya masuk ke ranah psikologi social.

to be continued

Kamis, 10 Februari 2011

SEPENGGAL KISAH KECIL YANG KETIGABELAS: Peringatan Hidup

Peringatan. Satu kata yanag tidak susah untuk diucapkan namun memiliki makna yang sangat dalam dan implikasi yang sangat kuat di dalam kehidupan seseorang. Terlebih lagi jika peringatan itu datangnya dari Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa, Sang Pemilik Semesta Alam.
Dengan peringatan, orang bisa berubah dengan sekejap saja. Dengan peringatan, orang bisa bertindak lebih hati-hati dan lebih baik. Dengan peringatan, orang bisa menjadi lebih tercerahkan. Dengan peringatan, hidup orang bisa berubah. Seperti itulah, sederhana namun pengaruhnya sangat kuat dalam setiap aspek kehidupan.
Namun, bagaimana orang bisa mengetahui bahwa peringatan itu datangnya dari Tuhan, baik berbentuk sangat kecil maupun berbentuk sangat besar? Entahlah, aku sendiri juga tidak mengetahuinya secara pasti dan jelas. Bisa saja karena kepekaan hati dan pikiran mereka dalam membaca dan menerima sebuah kejadian dan peringatan hidup tersebut. Atau bisa saja karena ketelitian mereka di dalam melihat pesan di setiap kejadian di dalam hidupnya.
Hal semacam itu yang aku alami, bahkan sejak aku masih kecil. Aku tidak mengetahui secara pasti apakah itu benar perinagatan dari Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa untuk setiap perilaku hidupku yang salah, padahal aku bukan seorang yang ahli agama, ibadah-ibadahku biasa-biasa saja bahkan tergolong sangat kurang, bahkan aku juga bukan seorang Nabi atau Rasul yang mereka bersifat ma’shum dan terlindungi dari dosa dan salah yang selalu mendapatkan teguran dari Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa untuk setiap perbuatannya yang salah. Yang pasti, aku yakin bahwa hal itu adalah peringatan dari Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa untuk membuat hidupku lebih baik karena banyak hal salah dan dosa yang telah dan bahkan akan aku lakukan selama hidupku.
Ketika akhir Ramadlan tahun 1431 Hijriyyah, aku terlibat permasalahan dengan ibuku. Ada yang tidak aku sukai dari salah satu sikap ibuku, namun sebenarnya hal itua dalah hal sederhana. Tetapi, karena hal itu sering aku lihat sehingga menjadi suatu akumulasi di dalam pikiranku dan hatiku, waktu itu emosiku menjadi meluap. Aku menjadi marah meskipun aku tidak berkata kasar dan jelek pada ibuku waktu itu marahku hanya diam saja. Selang satu hari setelah hari itu, keadaan masih seperti itu sampai datang suatu hal yang aku pikir itu peringatan untukku.
Hari Rabu, tanggal 8 bulan September tahun 2010 pukul 17.30, ada sebuah acara Kultum Demi Masa di stasiun Trans TV, yang dibawakan oleh Ustadz Othman Omar Shihab. Materi waktu itu adalah berbakti kepada orang tua atau birr al walidayn. Diawali dengan sebuah cerita singkat sebagai pengantar.
Ada seorang wanita muda yang sudah kabur pergi dari rumah selama berhari-hari karena berselisih pendapat dengan ayahnya dalam hal kuliah. Suatu ketika, dia pergi ke pasar dan tidak secara sengaja, dia bertemu dengan ibunya. Lalu ibunya menyuruhnya untuk pulang karena ayahnya sedang sakit. Namun, wanita muda itu tidak mau pulang karena masih marah dengan ayahnya yang mekasakan kehendaknya pada dia. Ibu itu terus memaksa putrinya tersebut untuk pulang menemani ayahnya yang sedang sakit dan ingin dia pulang tetapi wanita muda itu tetap saja tidak bersedia untuk pulang. Sampai ibunya berkata bahwa bagaimana nanti kalau ayahnya meninggal dunia karena terlalu memikirkan dia. Dengan rasa tidak peduli dan marah, wanita muda itu menjawab tidak masalah.
Sampai akhirnya perselisihan kecil di pasar antara ibu dan putrinya yang kabur itu menyita perhatian beberapa orang di pasar, termasuk ustadz Othman Omar Shihab yang di dalam cerita tersebut mempunyai warung kecil di sekitar pasar itu. Kemudian beliau menanyakan perhal permasalahan tersebut kepada kedua pihak tersebut dan muali berdakwah. Beliau mengambil dan mengutip Al Quran Surat Luqman ayat empat belas sampai lima belas :
“dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun [Selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur dua tahun]. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
Beliau ustadz Omar Othman Shihab kemudian menjelaskan dari ayat tersebut. Bahwa sebuah kewajiban seorang anak kepada kedua orang tuanya adalah menghormatinya dan bergaul dengan keduanya dengan baik. Meskipun kedua orang tuanya memerintahkan sesuatu yang tidak benar, maka seorang anak teeap berkewajiban berlaku baik dan menghormati kedua orang tuanya dengan tanpa menuruti dan menaati perintahnya yang buruk dan salah.
Ketika itu, aku sedang buka puasa dengan ibuku saja karena ayahku sedang mengisi pengajian buka puasa di Masjid Nurul Muttaqin Bakalan. Meskipun ibuku hanya diam saja mendengarkan pengajian Ustadz Omar Othman Shihab tersebut, aku tetap merasa bahwa ada sesuatu yang tertuju untukku. Sesuatu yang berbentuk seperti sebuah teguran dan sapaan dari Tuhan utukku.
Ya, pengajian dari Ustadz Omar Othman Shihab tersebut membuatku merasa bahwa Tuhan menegurku atas perbuatanku yang marah dan tidak benar terhadap ibuku.
**********************************
Luqman : 9. Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.
**********************************
Al Munaafiquun : 10. dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang yang saleh?"
Al Munaafiquun : 11. dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.
**********************************
Luqman : 18. dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
**********************************
At Tahriim : 8. Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."

to be continued

Selasa, 09 November 2010

SEPENGGAL KISAH KECIL YANG KEDUABELAS: Ketika Semester Tiga

Pagi itu, pagi yang tidak begitu indah. Namun, aku masih bersyukur karena masih dapat menghirup udara segar di pagi hari itu. Awal hari yang tidak begitu indah, bukan berarti akan menjadi hari yang tidak indah dan tidak bermakna juga. Awal hari yang tidak begitu indah juga bukan berari tidak akan mendapat apapun yang berarti di hari itu. Namun, semua akan berubah jika dapat mempelajari hari itu, sangat penting.
Pagi itu, tanggal 27 bulan Juni tahun 2009 yang merupakan hari Sabtu terakhir di bulan itu. Aku berencana untuk pergi ke Yogyakarta untuk mengikuti wawancara sebuah organisasi yang aku ikuti, yaitu Source of Inspiration Community atau disingkat dengan SIC. Diawali dengan permasalahan yang kecil dengan seseorang, aku berangkat dengan kurang semangat. Aku berangkat ke Yogyakarta naik sepeda sampai terminal Penggung, Klaten dan kemudian dari terminal Penggung, Klaten naik bus jurusan Yogyakarta – Solo turun di Prambanan untuk ganti bus Trans Jogja dan turun di shelter Wanitatama yang letaknya tepat di sebelah Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Selama naik bus, aku mendengarkan musik, mungkin dapat menambah semangat, pikirku. Selain itu, juga untuk hiburan selama perjalanan ke Yogyakarta. Aku berangkat dari rumah pukul 05.00 WIB dan sampai di Yogyakarta pukul 06.30 WIB. Aku mampir ke kost terlebih dahulu setelah sampai untuk membersihkan kost dan shalat dluha, sekalian menunggu waktu wawancara. Setelah jam menunjukkan pukul 07.00 WIB, aku berangkat ke UIN SUKA dengan jalan kaki karena cukup dekat dari kostku. Sesampai di UIN SUKA Yogyakarta, aku masih harus menunggu panitia SIC. Setelah bertemu dengan mereka, aku dan peserta yang lain yang menjadi calon anggota SIC diajak ke kantor SIC. Aku memperkirakan wawancara dilaksanakan di UIN SUKA Yogyakarta, tetapi ternyata perkiraanku meleset. Wawancara SIC dilaksanakan di kantor SIC yang bertempat di dekat Kantor Kepolisian Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. Jadi, aku pergi ke kantor SIC dengan diboncengkan Mas Chandra, panitia SIC perwakilan UIN SUKA Yogyakrta. Dia mahasiswa tingkat akhir Fakultas Sains dan Teknologi atau Fakultas Santek UIN SUKA Yogyakarta waktu itu.
Sampai di kantor SIC sekitar pukul 08.30 WIB. Dan aku langsung melihata jadwal wawancara. Aku mendapatkan waktu pada pukul 13.10 WIB sampai dengan pukul 13.20 WIB. Aku kurang suka mendapatkan jatah di waktu tersebut karena aku ingin cepat pulang. Aku menanyakan ke panitia, apakah giliranku dapat ditukar dengan waktu lain? Ternyata hal itu diperbolehkan. Lalu, aku langsung memilih waktu pada pukul 08.40 WIB sampai dengan pukul 08.50 WIB.
Waktunya tiba, aku masuk ke ruang wawancara. Awal wawancara aku ditanya seputar hal yang bersifat formal, seperti “Bagaimana komitmenmu mengikuti organisasi SIC?”, “Apa motivasimu mengikuti organisasi SIC?”, dan hanya sebatas itu. Di tengah-tengah wawancara, berganti pertanyaan yang tidak formal, namun inilah yang kemudian menjadikan aku mendapatkan banyak pelajaran berarti di hari itu. Pertanyaannya adalah “Apa pengalamanmu yang paling berharga?”
Aku langsung menjawabnya dengan semangat, “Banyak, Mas. Yang pertama, adalah waktu Juni tahun 2000 Masehi. Aku meraih Juara III pada lomba Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam Se-Kabupaten Klaten dalam rangka Hari Pendidikan Nasional atau Hardiknas. Itu raihan prestasi lomba tertinggi sejak beberapa kali aku mengikuti perlombaan, Mas. Waktu itu, aku baru duduk di bangku kelas empat Sekolah Dasar. Waktu itu, tentu saja aku sangat bahagia. Yang kedua, Mei 2002, ketika aku duduk di bangku kelas enam Sekolah Dasar, aku mendapatkan Juara Satu Lomba Mewarnai Kaligrafi Se-Karesidenan Surakarta yang bertempat di Pondok Pesantren Al Muayyad, Surakarta, disusul beberapa waktu kemudian menjadi Juara Satu Lomba Kaligrafi Se-Kabupaten Klaten yang bertempat di Gedung Al Mabrur Klaten, kompleks Rumah Sakit Islam Klaten yang juga berdiri sebuah stasiun radio yang bernama Salma Radio FM. Itu pengalaman terindah karena selain menjadi juara, ada kenangan tersendiri juga, Mas. Yang lomba kaligrafi, aku berlomba dengan perbekalan yang sangat minimal. Aku tidak mempunyai peralatan untuk perlombaan tersebut, seperti pensil warna, pentel, crayon, dan peralatan lainnya. Pentel hanya aku pinjam dari temanku yaitu Muhammad Aminullah. Sedangkan meja kecil untuk landasan menggambar dan mewarnai aku ganti dengan sebuah kardus berbentuk kubus. Yang ketiga, Juara Tiga Lomba Musabaqah Tilawah Al Quran cabang Murattal Putra pada bulan Agustus tahun 2007, yang bertempat di Pendopo kompleks Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Klaten. Cuma itu, Mas.”
Lalu, dia bertanya lagi setelah menjadi pendengar yang setia mendengarkan ocehan panjangku,”Apa saja pengalaman terburukmu, dik?” aku langsung menjawabnya dengan lengkap dan semangat seperti halnya aku menjawab pertanyaan sebelumnya,”Pengalaman terburukku, yang pertama aku terjatuh dari motor dengan kecepatan yang sangat tinggi sekitar seratus kilometer per jam, Mas. Terjadi sekitar tahun 2006, waktu aku duduk di bangku kelas sepuluh Sekolah Menengah Atas. Aku jatu kemudian tertindih motor dan terseret beberapa meter. Sampai kedua lenganku luka lecet banyak sekali, bajuku robk-robek, tetapi untung aku pakai helm, jadi kepalaku tidak apa-apa. Gara-gara kejadian itu, aku tidak masuk sekolah selama lima hari. Yang kedua, waktu tahun 2008, aku gagal sebanyak empat kali masuk ke perguruan tinggi negeri. Pertama, aku gagal masuk di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta dalam program Penelusuran Minat Dan Keterampilan (PMDK). Itu adalah program masuk ke perguruan tinggi negeri tanpa melewati jalur tes atau ujian, hanya berdasarkan ranking setiap semester selama duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Aku pikir aku optimis dapat diterima di UNS karena memang selain memenuhi syarat, rankingku juga selalu termasuk di tiga besar kelas setiap semesternya, hanya satu kali tidak tembus di tiga besar kelas, yaitu ketika kelas sebelas SMA semester dua, aku hanya duduk di peringkat lima kelas. Prestasiku melorot setelah pada semester sebelumnya aku bisa tembus di tiga besar dengan menduduki peringkat tiga kelas.namun, pada tanggal 9 bulan Maret tahun 2008, namaku tidak ada di dalam pengumuman PMDK UNS tahun itu ketika aku membuka website UNS. Aku cukup kecewa, langkah pertamaku gagal, itu berarti aku harus mencari jalan lagi dan berusaha lebih keras lagi. Kedua, aku mencoba di Ujian Masuk (UM) di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Waktu itu, aku memang sudah tidak bersunguh-sungguh dari awal karena aku juga tidak didukung sepenuhnya oleh keluargaku dengan alasan mahalnya biaya kuliah di UGM dan lingkungan yang kurang disukai oleh keluargaku. Selain itu, aku juga tidak mempersiapkan diri dengan baik, karena memang aku tidak belajar dan latihan. Namun, pada bulan Februari tanggal 3 tahun 2008, aku mengikuti try out (sejenis latihan ujian) yang diselenggarakan oleh Balairung, yaitu suatu organisasi di UGM Yogyakarta yang anggotanya khusus mahasiswa-mahasiswa dari Klaten. Meskipun begitu, aku tetap saja gagal. Tengah malam, pada tanggal 7 bulan Juni tahun 2008, aku mengirim SMS ke nomor UGM Yogyakarta dan diberi jawaban bahwa namaku tidak tersedia di daftar nama calon mahasiswa yang diterima di UGM Yogyakarta. Ketiga, aku berusaha lewat Seleksi Mandiri yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Yogyakarta. Berbeda dengan UM UGM, di Seleksi Mandiri UNY aku berusaha sungguh-sungguh, aku mencoba belajar dan latihan serta didukung oleh kedua orang tuaku. Namun, sehari sebelum ujian, aku merasa agak sakit. Rencananya, setelah menengok denah tempat duduk ujian di Sekolah Menengah Kejuruan Depok, Yogyakarta, aku menginap di rumah kakakku di Bantul agar ketika berangkat keesokan harinya ke lokasi untuk ujian, tidak terlalu jauh sehingga tidak capek. Namun, setelah menengok denah tempat duduk di SMK Depok Yogyakarta, aku meminta pulang kepada ayahku yang mengantarkan aku. Hal itu membuatku harus bersiap-siap dan berangkat pagi sekali. Aku berangkat keesokan harinya pada pukul 05.00 WIB. Setelah sekian lama (sekitar satu bulan) menunggu, pada tanggal 5 bulan Juni tahun 2008 (dua hari sebelum pengumuman UM UGM), aku melihat pengumuman di website UNY dan hasilnya aku gagal lagi. Aku sangat kecewa.
Keempat, aku mencoba lagi. Kali itu, aku mencoba melalui jalur Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri atau yang disingkat SNMPTN. Jalur ini berbeda dengan beberapa jalur yang aku lalui sebelumnya. Jalur ini merupakan jalur memasuki perguruan tinggi negeri dengan cara mengikuti seleksi dan ujian yang diadakan serentak baik waktu dan juga soalnya sama secara nasional. Sehingga jalur ini bisa saja lebih sulit dari jalur-jalur yang aku lalui sebelumnya, yang merupakan jalur ujian local dan pesertanya tidak sebanyak peserta ujian SNMPTN. Namun, ada kalanya justru kompetisi sangat ketat pada ujian local itu karena para calon mahasiswa ingin menggunakan kesempatan lebih awal sehingga bisa jadi lebih sulit dari SNMPTN. Ketika SNMPTN, aku memilih wilayah atau lokasi ujian di Surakarta. Itu artinya, aku harus mengikuti ujian di wilayah Surakarta. Namun, karena di Surakarta hanya da satu perguruan tinggi negeri, maka tempat diselengarakannya pendafataran SNMPTN hanya di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Tetapi, karena hanya ada satu perguruan tinggi negeri yang menjadi penyelenggara SNMPTN sedangkan pesertanya sangat banyak dan UNS Surakarta tidak mampu menampung semua peserta SNMPTN, maka lokasi ujian bisa diperluas dengan meminjam area institusi pendidikan yang lain. Hal ini membuatku mendapatkan lokasi ujian di Sekolah Menengah Atas Negeri Satu Surakarta, tepatnya di lantai dua. Ketika SNMPTN, aku mengambil jurusan pendidikan biologi di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta pada pilihan pertama dan jurusan psikologi di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta pada pilihan kedua. Artinya, jika aku tidak diterima di pihan pertama, maka aku akan diterima di pilihan kedua, atau bahkan tidak diterima di dua pilihan tersebut jika nilai ujianku tidak memenuhi. Namun, akhirnya aku tidak diterima di dua pilihan tersebut. Ketika itu, pagi setelah shubuh, tanggal 1 bulan Agustus tahun 2008, aku membeli surat kabar harian Solopos dan namaku tidak tercantum di daftar peserta SNMPTN wilayah Surakarta. Aku sangat sedih dan kecewa, gagal beberapa kali dan kali itu, aku menorehkan kegagalan di hari sebelum aku ulang tahun yang kedelapan belas. Aku merasakan hal itu sangat berat, ketika saat krusial, namun aku selalu gagal. Aku sampai berpikir bahwa Tuhan sudah tidak memihak aku lagi. Setelah beberapa hari aku larut di dalam kekecewaaan dan kesedihan, aku berusaha untuk bangkit dan mengikuti dua jalur ujian di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, yaitu lewat Penelusuran Calon Mahasiswa Berprestasi atau disingkat PCMB – jalur masuk perguruan tinggi negeri UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tanpa ujian dan berdasarkan ranking setiap semester – dan Ujian Tulis atau disingkat UTUL – jalur masuk ke UIN SUnan Kalijaga Yogyakarta melalui ujian yang berjenis Tes Potensial Akademik. Aku mengikuti dua jalur agar peluangku diterima lebih besar. Setelah ujian dan menunggu pengumuman beberapa minggu, sampailah pada tanggal 4 bulan Agustus tahun 2008. Pagi itu, aku mendapatkan sebuah kabar dari kekasihku waktu itu, kalau UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sudah mengumumkan calon mahasiswa yang diterima lewat jalur PCMB maupun jalur UTUL. Aku cukup terkejut karena di dlaam info ujian, pengumuman baru akan diterbitkan pada tanggal 9 bulan Agustus tahun 2008. Setelah itu, langsung saja aku mandi dan pergi ke warung internet terdekat untuk membuka website UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan melihat pengumuman calon mahasiswa yang diterima lewat jalur PCMB dan UTUL. Dan, alhamdulillaah aku diterima di dua jalur sekaligus pada pilihan pertama, yaitu program studi psikologi. Aku sangat bersyukur dan sangat senang. Setelah empat kali gagal menempuh ujian, akhirnya aku mendapatkan jalanku. Semua itu sangat berarti bagiku karena memberikanku banyak pelajaran di balik itu semua, meskipun aku ahrus merasakan kepahitan dan keburukan itu. Cukup itu, pengalaman terburukku, Mas.” Begitu jawabku.
Selain pertanyaan di atas, para pewawancara juga memberikan pertanyaan mengenai bagaimana gambaran diriku menurutku sendiri.
Setelah panitia Source of Inspiration Community sebanyak lima orang hanya menjadi pendengar setia, di akhir wawancara mereka memberikan beberapa hal yang bagiku sangat penting dan berharga, terutama untuk evaluasi diriku.
Salah satu orang dari mereka mengatakan bahwa aku adalah orang yang egois. Argumentasi yang dia berikan kepadaku untuk pernyataannya yang mengatakan bahwa aku egois cukup logis dan rasional juga. Ketika aku wawancara, khususnya ketika aku menjawab pertanyaan tentang pengalaman terbaik dan pengalaman terburuk di dalam hidupku, aku menjawab dengan sangat lengkap dan juga menyampaikan alasan mengapa pengalaman itu menjadi yang terbaik atau menjadi yang terburuk di dalam hidupku sebelum aku ditanya alasan oleh para panitia Source of inspiration Community. Aku sangat egois karena aku bercerita mengenai duniaku sendiri dan hal itu berarti aku memaksa setiap orang yang mendengarkan ceritaku untuk terjun penuh ke duniaku dan menyuruh mereka untuk memahami duniaku sepenuhnya padahal duniaku sangat jelas berbeda setiap masanya dengan orang lain yang menjadi pendengar ceritaku. Mereka tidak paham mengenai duniaku tetapi aku menyeretnya ke dalam pengalaman hidup duniaku dan aku memaksa mereka untuk memahami sepenuhnya seluruh ceritaku.
Selain itu, aku egois karena merampas hal orang lain yang menjadi pendengar ceritaku. Aku menyampaikan alasan-alasan mengenai penyebab pengalaman itu menjadi baik atau buruk sebelum aku ditanya oleh pendengar. Hal itu berarti aku merampas hal bertanya dari para pendengar ceritaku.aku merampas hal bertanya orang lain dengan mengatakan jawaban dari pertanyaan yang akan disampaikan oleh pendengarku meskipun aku tidak mengetahui pendengarku akan menanyakan hal itu kepadaku.
Dari jawaban-jawaban dari wawancaraku itu, aku juga diklaim oleh para panitia Source of Inspiration Community bahwa aku adalah seorang yang ambisius. Orang ambisius akan cenderung menjadi arogan, dan hal itu bukanlah sifat yang baik. Orang yang ambisius akan selalu mengejar target dan menginginkan target itu tercapai di dalam waktu yang dekat, sehingga banyak orang ambisius yang bias saja menghalalkan segala cara untuk mendapatkan dan mencapai ambisi dan tujuannya itu. Selain itu, perasaan orang ambisius ketika dia bias mencapai keberhasilan dan kesuksesan, dia kan merasa sangat bangga dan bahagia serta tinggi dan superior. Dia merasa bahwa raihan yang dia capai merupakan raihan yang sangat tinggi dan berharga. Hal tersebut mempunyai dampak yang tidak bagus. Setelah berhasil, jika dia menemui sebuah kegagalan, justru dia akan merasa bahwa dia jatuh dari suatu tempat yang sangat tinggi. Sehingga, kegagalan itu bisa saja menjadi sebuah akhir dunia. Hal tersebut disebabkan oleh perasaannya ketika berhasil dan menganggap keberhasilan itu sebagai hal tertinggi yang diraihnya. Ketika dia berada di dalam perasaan seperti itu, dia merasa di tempat yang tertinggi. Dan jika dia gagal, dia merasa terjatuh dengan sangat sakit dari tempat yang tertinggi itu.
Berbeda dengan orang-orang yang selalu sabar dan tidak ambisius. Perbedaannya antara orang yang sabar dengan orang yang sangat ambisius adalah dalam berusaha mencapai keberhasilan, orang yang sabar ibarat menaiki anak tangga, naik selangkah demi selangkah sedikit demi sedikit disertai dengan ketelitian dan kesabaran serta cara yang benar, sehingga jika menemui kegagalan dan kesulitan, dia hanya jatuh dari beberapa anak tangga dan itu tidak membuatnya sangat kecewa karena hanya jatuh dari tempat yang dia rasa bukan tempat yang sangat tinggi meskipun sebenarnya keberhasilan merupakan raihan yang tertinggi dari sebuah proses. Kemudian, jika masih menginjakkan kaki di bumi, artinya dia masih merasa pencapaian itu hal yang biasa, dilalui dengan cara yang teliti dan benar. Dia akan evaluasi dan tidak sombong.
Berbeda dengan orang yang ambisius yang ibarat dia mencapai keberhasilan seperti orang yang naik tebing sangat tinggi, bahkan caranya kadang tidak benar dan tidak teliti, seolah-olah tidak memakai pengaman. Jika dia berhasil, dia merasa capaiannya itu sangat tinggi dan hebat berada di puncak tebing keberhasilan dan kesuksesan itu. Namun, jika dia gagal dan terjatuh, dia akan berada dalam kondisi awal, abhkan lebih buruk dari kondisi awal sebelum dia berhasil, sangat kecewa dan sakit sekali.
Mengenai orang yang ambisius, biasanya mereka emosional. Mereka sangat ingin mencapai target dan sasarannya, bahkan kadang tidak memperhatikan mengenai cara memperolehnya, sehingga hal tersebut bias saja membuatnya ceroboh dan tidak teliti yang pada akhirnya justru rawan pada kegagalan. Namun begitu, ada baiknya juga mengenai hal ini. Ambisius dapat membuat motivasi orang sangat tinggi dan hal ini akan membuatnya pantang menyerah di dalam berusaha dan mengejar serta menggapai impiannya. Ditambah lagi dengan emosi yang juga cukup tinggi sehingga membuatnya sangat cepat.
Hal tersebut akan berkaitan dengan perkataan salah seorang dosenku, yaitu Bapak Haji Abdul Malik Utsman. Beliau merupakan seorang dosen mata kuliah Tauhid dan juga seorang ulama Muhammadiyah. Beliau mengatakan bahwa orang yang baik, tidak perlu target dan sasaran untuk menjadi lebih baik dan meraih hasil yang bagus. Target dan sasaran hanyalah sebagai rangsangan atau stilmuli. Sehingga orang yang baik akan berusaha selalu apapun nanti hasilnya, bagaimanapun nanti hasilnya dan tidak berorientasi pada hasil dan target. Usaha itu merupakan bagian dari takdir dan itulah yang dapat mengubah takdir manusia jika Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa berkenan. Seberapa besar usaha manusia, namun setelah manusia berusaha maka akan menjadi “Back to Zero”, artinya tidak ada lagi yang bias dilakukan oleh manusia setelah berusaha sekuat tenaga dan semaksimal mungkin kecuali hanya berdoa dan pasrah serta tawakkal kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Keputusan dan hasil merupakan hak prerogative Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dan manusia tidak bias mencampurinya. Keputusan itulah yang terbaik untuk manusia dan terbaik menurut Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa untuk manusia meskipun banyak manusia yang memprotes dan tidak terima dengan keputusan dan hasil yang tidak sesuai dengan harapan dan targetnya. Mereka berpikir hal itu tidak seimbang dengan usahanya meskipun pemikiran mereka sebenarnya juga tidak sepenuhnya benar.
Berbicara mengenai target dan sasaran yang mempunyai ibarat sebuah rangsangan dan stimuli, maka berkaitan dngan sebuah aliran psikologi, yaitu psikologi behavioristik. Madzhab psikologi ini berasumsi bahwa makhluk hidup, termasuk manusia, merupakan sebuah bentukan alam dengan pemberian stimuli kepadanya, yang kemudian makhluk hidup tersebut memberikan respond an reaksi untuk menanggapi dan mengatasi stimuli tersebut serta mengolahnya. Jika manusia bergerak, dalam hal ini berusaha, karena berorientasi pada target atau saran, berarti usaha manusia itu merupakan respon dari stimuli rencana target itu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang membentuk mensuai itu adalah alam melalui proses stimuli – respon karena pada lahirnya, manusia diibaratkan seperti tabula rasa yang bersih dari coretan seperti yang telah dirumuskan oleh John Locke. Tesis ini mendapatkan antitesis dari psikologi humanistic yang sering disebut dengan madzhab ketiga. Aliran psikologi humanistic menganggap tesis behavioristik itu mematikan potensi kodrat manusia dan mendiskreditkan manusia karena manusia lemah menurut mereka. Aliran psikologi humanistic juga tidak setuju dengan asumsi psikoanalitik dan behavioristik yang menganggap manusia bersifat mekanistik. Namun, antitesis yang diajukan oleh kaum humanistic ini menganggap bahwa manusia sepenuhnya berbuat karena potensinya, bukan karena reaksi dari alam. Manusia berbuat karena ingin mencapai aktualisasi diri danrealisasi diri, yaitu sebuah usaha untuk mengerahkan dan mengeluarkan semua potensi untuk menggapai tingkat tertinggi manusia. Manusia bebas memilih dan bertindak dalam hidupnya dan juga harus bertanggung jawab sehingga menemukan arti kehidupannya yang sebenarnya, hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh tokoh madzhab eksistensialisme yaitu Viktor Frankl yang mengalami pengalaman yang sangat mengerikan di camp Nazi dan hampir dibunuh oleh tentara Nazi.
Sehingga, maksud dari dosenku tersebut adalah seperti yang diungkapkan oleh Madzhab Humanistik itu. Madzhab Humanistik tersebut dipelopori oleh Abraham Maslow dan Carl Rogers. Kedua orang tersebut mempunyai Teori Motivasi dan Teori terapi Berpusat pada Klien. Sedangkan madzhab behavioristik dipelopori oleh Ivan Petrovich Pavlov dengan eksperimen pengkondisian klasik dengan menggunakan seekor anjing yang dieksperimen akan mengeluarkan air liur tanpa melihat daging dan hanya mendengar suara lonceng bel setelah daging dikondisikan dan diasosiasikan terikat dengan bel tersebut. Pengkondisian tersebut kemudian dilanjutkan oleh Burhus Frederick Skinner dengan pengkondisian operand an Edward Lee Thorndike dengan Stimulus – Respon yang menggunakan seorang anak bayi bernama Albert yang awalnya takut pada tikus putih dan kemudian takut pada tikus putih setelah tikus putih dikondisikan dan diasosiasikan dengan suara bel yang menakutkan. Meskipun begitu, target dan sasaran dari rencana juga merupakan hal yang cukup penting di dalam memberikan arah perjalanan dari rencana seseorang. Target merupakan sebuah arah yang akan dituju selama usaha dilakukan sampai pada akhirnya target dapat dicapai. Ketika seseorang melakukan sesuatu, misalnya sebuah usaha, seseorang itu seperti melakukan sebuah perjalanan yang cukup panjang dan tentunya dalam perjalanan tersebut ada sebuah tujuan yang ingin dicapai dan untuyk memberikan arah perjalanannya agar perjalanannya teratur dalam satu arah dan juga agar dia mengetahui hal-hal apa saja yang dibutuhkan di dalam mencdapai rencananya tersebut. Jika tanpa arah dan tujuan, maka perjalanannya tidak akan berarti dan tidak akan beraturan. Begitu saja, sebuah usaha. Sebaiknya disertai dengan sebuah target untuk arah usaha tersebut. Namun, sebaiknya tidak perlu sangat berorientasi pada target karena dapat menyebabkan beberapa hal, diantaranya adalah mendahului ketentuan Tuhan sebelum berusaha. Yang terpenting adalah berusaha sebaik dan semampunya dengan mengerahkan seluruh tenaga, pikiran, materi, dan waktu untuk menjalani rencana dan mencapai target dan tidak berorientasi pada target karena hasil merupakjan hasil sampingan dari usaha maksimal seseorang yang kemudian dia bias belajar mengaktualisasikan diri yang lebih penting dari sebuah hasil sekailipun.
Target ada dua, yaitu keberhasilan sebagai imbalan atau hadiah dan kegagalan sebagai resiko atau spekulasi. Keduanya saling melengkapi. Keberhasilan bukan merupakan surga dunia, begitu juga kegagalan bukan merupakan akhir dari segalanya. Keberhasilan juga bukan hal utama dan pertama yang didpaat, namun lebih pada sebuah hasil sampingan ketika seseorang dapat mengerahkan dan mengeluarkan seluruh potensinya sehingga mendapatkan hasil yang maksimal. Sering keberhasilan didapatkan oleh mereka yang sedikit berusaha dan kegagalan didapatkan oleh mereka yang banyak berusaha. Hal itu yang memicu orang tidak percaya lagi kepada Tuhan dan membuat mereka menempuh jalan pintas untuk meraih keberhasilan tersebut tanpa memikirkan bahwa cara yang dia pakai itu adalah cara yang tidak baik dan tidak benar. Meskipun begitu, entah keberhasilan atau kegagalan, apa yang didapatkan oleh manusia merupakan hal yang terbaik karena Tuhan Maha Bijaksana, Maha Adil, dan Maha Mengetahui. Semuanya sudah diperhitungkan oleh-Nya secara super detail dan super teliti.
Kegagalan bukan merupakan sebuah hukuman, namun lebih pada sebuah sinyal untuk membuat manusia mengevaluasi usaha yang dilakukannya dan mengambiul hikmah di balik kegagalan itu.
Anehnya, kebanyakan manusia lebih melihat pada hasil daripada melihat pada proses yang sebenarnya lebih penting dari sebuah hasil. Hal ini disebabkan oleh karena hasil merupakan sebuah akhir dan produk dari usaha dan proses dan bersifat praktis untuk dilihat serta berbeda dengan usaha dan proses yang membutuhkan kesetiaan di dalam melihat sebuah proses dan usaha serta membutuhkan empati untuk melihat dan memahami sebuah proses usaha tersebut. Bahkan ada beberapa orang yang sudah melihat dan anehnya mencemooh ketika seseorang baru menetapkan sebuah target sebagai sebuah arah usahanya. Namun, hal itu bukan merupakan hal yang penting untuk dipikirkan tetapi dapat dijadikan sebagai sebuah motivasi sebagaiu tambahan bahan abakar energi dan kekuatan untuk berusaha lebih di dalam meraih impian. Hal yang terpenting adalah berusaha sebaik mungkin, semaksimal mungkin, dan semampunya tanpa banyak bicara dan mengeluh serta bersikap sabar, optimis, berprasangka baik pada Tuhan, dan teliti di dalam berusaha.
Banyak orang yang berhasil pada awal impiannya dicderca dan dicemooh serta diejek oleh banyak orang, salah satu diantaranya adalag Thomas Alva Edison. Ilmuwan yang mempunyai ratusan hak paten atas penmuannya sendiri, salah satunya adalah bola lampu yang memakai kawat Wolfram dan mesin fotocopy. Banyak orang yang tidak melihat dan memahami usahanya menciptakan bola lampu wolfram tersebut yang ternyata gagal menyala sebanyak tiga truk dan hanya melihat keberhasilannya menciptakan bola lampu wolfram yang dapat menyala setelah sekian banyak menemui kegagalan.
Selain itu, Ferdinand Magelhaens. Dia merupakan salah seorang yangf membuktikan bahwa bumi itu adalah bulat, bukan datar seperti yang diasumsikan oleh banyak orang pada jamannya. Ketika dia akan mengadakan ekspedisi untuk membuktikan bahwa bumi ini bulat, dia diejek oleh banyak orang dan mereka mengatakan bahwa Magelhaens dan rombongannya yang naik kapal akan jatuh di jurang yang sangat dalam dan curam di tepi bumi. Namun, pada Magelhaens dan rombongannya tidak takut dan tidak gentar menghadapi ejekan dan ancaman tersebujt sehingga dia menjadi orang pertama yang berhasil mengelilingi bumi meskipun dia terbunuh saat terjebak di Filipina yang sedang terjadi peperangan.
Kemudian, Galileo Galilei yang membuktikan pendapat Nikolaus Copernicus bahwa bumi itu bukan pusat tata surya (Geocentrism) tetapi justru matahari lah yang merupakan pusat tata surya (Heliocentrism) meskipun pada akhirnya dia dihukum mati karena menentang pendapat gereja.
Terakhir adalah Nabi Muhammad Shollalloohu ‘Alayhi Wa Sallam yang menyampaikan firman Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa pada Al Quran Surat Ar Rahmaan ayat tiga puluh tujuh yang menyatakan bahwa bumi dan alam semesta tercipta dari sebuah ledakan besar yang berwarna merah. Waktu itu, beliau dianggap gila karena mengatakan sesuatu hal yang revolusioner, namun sekitar empat belas abad kemudian, tercipta teori Big Bang yang berarti ledakan besar dan mengasumsikan bahwa bumi dan alam semesta tercipta karena sebuah ledakan besar yang maha dahsyat sehingga serpihan-serpihan partikel ledakan tersebut mengitari matahari yang mempunyai daya grafitasi yang sangat tinggi dan kemudian berkumpul menjadi planet termasuk bumi, dan bintang yang tidak meledak itulah yang kemudian menjadi matahari.
Cukup banyak bukti mengenai hal di atas dan pada akhirnya orang yang berhasil yang berani mencoba segala cara dan menghadapi tantangan, yang menjadi berguna untuk orang lain dan kehidupan, bukan orang yang hanya diam di zona aman. Seperti halnya pohon yang besar dan kuat menghadapi badai yang dapat menjadi tempat berteduh manusia dan makhluk lain, bukan rumput pendek yang tidak tinggi dan tidak kuat serta tidak menghadapi serangan badai. Itulah yang digambarkan oleh Ninstain Odop, penulis buku “Gagal Itu Indah.”
Banyak hal yang aku pelajari saat wawancara itu berlangsung, salah satunya adalah aku merupkaan orang yang mengakui bahwa aku memiliki kekurangan, yaitu emosional dan ambisius. Namun, yang penting adalah bagaimana memaksimalkan potensi positif yang aku miliki.
Beberapa hari setelah itu, aku mendapatkan info dari pihak Source of Inspiration Community bahwa aku diterima menjadi anggotanya. Namun, tidak alama setelah pemberitahuan itu, aku mundur dari Source of Inspiration Community karena ada beberapa masalah dan penyebab.
Pengalamanku di Source of Inspiration Community yang hanya sekejap mengawali pengalaman-pengalaman berhargaku di semester tiga ketika kuliah. Selanjutnya, aku keluar dari Source of Inspiration Community karena beberapa alas an. Salah satunya adalah lokasi markas kantor Source of Inspiration Community yang dekat Kantor Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta yang jauh dari lokasi kosku di Yogyakarta, yang tentu saja memerlukan transportasi atau kendaraan untuk menjangkaunya. Alas an inilah yang seolah-olah membuat alasan-alasan baru dan menjadikan itu sebagai awal masalah-masalah lain.
Pengalamanku di Source of Inspiration Community yang hanya sekejap mengawali pengalaman-pengalaman berhargaku di semester tiga ketika kuliah. Selanjutnya, aku keluar dari Source of Inspiration Community karena beberapa alas an. Salah satunya adalah lokasi markas kantor Source of Inspiration Community yang dekat Kantor Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta yang jauh dari lokasi kosku di Yogyakarta, yang tentu saja memerlukan transportasi atau kendaraan untuk menjangkaunya. Alas an inilah yang seolah-olah membuat alasan-alasan baru dan menjadikan itu sebagai awal masalah-masalah lain.
Aku merupakan anak terakhir dari keluarga yang sangat sederhana namun cukup meskipun juga kadang kekurangan. Cukup membingungkan memang untuk menggambarkan kondisi keluargaku, terutama kondisi ekonominya. Apapun itu, aku tetap bersyukur terlahir di tengah-tengah keluargaku.
Aku diajarkan untuk hidup tidak bermewahan dan tidak bermegahan, salah satunya aku tidak dibelikan kendaraan bermotor di saat anak-anak seusiaku dibelikan kendaraan bermotor oleh orang tua mereka karena kegiatan mereka yang bertambah banyk seiring bertambahnya usia mereka dan jangkauan mereka.
Sebenarnya, transportasi merupakan factor penting di dalam pengembangan diri. Dan itulah yang menjadi masalah awal dan alas an mengapa aku keluar dari organisasi Source of Inspiration Community. “Aku tidak mempunyai motor dan aku sulit pergi ke mana-mana ketika ada acara. Jika aku naik transportasi umum, biayaku cukup namun pada akhirnya akan habis dan aku tidak bisa menabung padahal di sisi lain aku juga mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang ayahku tidak mempedulikannya karena dianggap tidak penting.” Itulah kambing hitam permasalahanku dan alasanku untuk berdiam diri di tempat.
Alas an itu sebenarnya cukup mengganggu ketenangan pikiranku. Aku ingin mempunyai jangkauan gerak yang luas dan berkembang namun aku tidak mempunyai fasilitas yang cukup. Setelah itu, masih ada saja konflik di dalam pikiranku untuk melawan alasanku itu. Antitesisku itu adalah orang-odi waktu dulu, ketika belum banyak kendaraan pribadi, bisa berkembang juga dan bahkan mempunyai sebuah jangkauan yang cukup luas dari tempat asalnya sehingga mereka bisa sukses.
Tidak berhenti di situ, masih saja ada semacam pembelaan diri untuk mengurangi konflik di dalam pikiranku tersebut dan untuyk membentengi diriku. “Jaman dulu berbeda dengan jaman sekarang. Kedua jaman itu tidak bisa disamakan begtu saja. Jaman dulu tidak ada arus globalisasi dan manusia dituntut bertindak dan berkembang dengan fasilitas yang seadanya. Namun, pada jamanku, jaman sekarang, sudah mengalir arus globalisasi dengan derasnya sehingga ilmu pengetahuan juga semakin berkembang dengan pesat dan juga tercipta berbagai fasilitas-fasilitas yang canggih untuk mencapai ilmu pengetahuan tersebut sehingga manusia harus bersikap cepat di dalam memperoleh ilmu dan mengembangkan diri dengan ditunjang berbagai fasilitas yang modern dan canggih. Manusia pada jaman itu harus tangguh di dalam berkompetisi.”
Akhirnya pikiranku terus bergumul dengan kondisi konflik seperti itu. Dan, akhirnya juga aku memilih berdiam diri. Aku memilih berdiam diri pun bukan karena tanpa dasar dan aku tidak mau berkembang. Soal organisas, ketika aku duduk di bangku Sekolah Menengah Atas aku pernah mengikuti dua organisasi, yaitu Dewan Ambalan Pangeran Diponegoro Gugus Depan XI.10.15.001/002 Pangkalan Sekolah Menengah Atas Negeri Satu Karanganom menjabat sebagai Pradana II dan Syiar Kegiatan Islam Sekolah Menengah Atas Negeri Satu Karanganom menjabat sebagai Ketua Bidang Kajian dan Syiar Islam. Aku cukup aktif dan bahkan menjadi ujung tombak keberhasilan kedua organisasi tersebut.
Meskipun begitu, organisasi di tingkat Sekolah Menengah Atas jelas dan jauh berbeda dengan organisasi di tingkat perguruan tinggi yang ruang lingkup permasalahan yang ditangani juga lebih luas dan kompleks, yang bisa saja mencapai masalah politik. Lokasi dan kondisi kampus yang menyerupai Negara membuatnya tidak hanya menjadi lokasi edukasi namun juga lebih dari itu, menjadi miniature Negara yang mencakup masalah politik dan social. Sehingga organisasi di tingkat kampus merupakan sangat penting di dalam pengembangan diri.
Suatu ketika, aku pernah bergerak keluar dari zonaku sebagai mahasiswa yang aktif dan kritis di dalam perkuliahan menjadi mahasiswa yang berorganisasi. Aku tidak menghiraukan lagi soalkonflik transportasi itu, namun muncul lagi konflik baru did lam diriku yang berkaitan dengan diriku sendiri.
Aku ingin mengikuti sebuah organisasi besar di akmpusku yang seering memenangi pemilihan umum mahasiswa di kampus Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, yaitu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Alasanku mengikuti organisasi tersebut karena tentu saja aku ingin berkembang menjadi lebih baik dan lebih maju. Lalu, mengapa aku memilih organisasi tersebut? Apakah karena Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan organisasi terbesar waktu itu? Mungkin itu salah satu alasannya. Tetapi, jauh dari itu, aku memilih Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia karena Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan organisasi independent untuk para mahasiswa yang diciptakan oleh Nahdlatul ‘Ulama (NU). Ya, memang benar, seperti yang diketahui, aku beragama Islam dan menganut madzhab Nahdltul ‘Ulama Imam Syafi’i. meskipun bhegitu, aku adalah orang yang penuh toleransi.
Selain ingin masuk ke dalam organisasi tersebut, aku juga ingin mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Jama’ah Qurra wal Huffadz (JQH) Al Mizan divisi Kaligrafi. Aku suka kaligrafi. Karena itulah aku ingin meningkatkan kemampuanku di bidang itu dengan mengikutin UKM JQH Al Mizan tersebut.
Aku ingin kebih berkembang di semester tiga dengan mengikuti dua organisasi tersebut, PMII dan JQH Al Mizan. Namun, ketika aku akan mengikuti seleksi JQH Al Mizan dan Pelatihan Kader Dasar (PKD) PMII, aku jatuh sakit. Aku sakit gejala typus. Kata dokter, aku terlalu capek. Jadi, aku tidak mengikuti seleksi kedua organisasi tersebut sehingga akhirnya aku tidak jadi masuk dan mengikuti kedua organisasi tersebut.
Tetapi, tidak sesederhana itu. Dari pengalaman itu, aku belajar memahami diriku sendiri lagi. Ada apa di balik itu semua? Apakah karena sakit? Atau justru ada alasan lain? Sejak hal itu terjadi, konflik di dalam pikiranku bertambah lagi. Tidak hanya seputar fasilitas dan transportasi untuk berkembang, namun juga minat dan kemampuan di dalam diriku serta daya tahan terhadap aktifitas yang padat dan banyak.
Sepintas, memang aku tidak ikut dalam organisasi karena ketika seleksi, aku jatuh sakit. Lebih jauh lagi, menjelang seleksi, minatku untuk ikut kedua organisasi tersebut menurun. Itupun masih meyisakan pertanyaan lagi. Mengapa minatku turun? Apakah karena aku sakit? Atau karena aku memang kurang berniat mengikuti PMII dan UKM JQH Al Mizan? Dua alas an itu memang benar.
Aku merasa sangat lelah waktu itu dan sakit karena banyak tugas kuliah dan mengaji serta membaca buku sehingga menyebabkan minatku turun. Namun, ada hal lain lagi yang ikut andil di dalam mengurangi minatku itu. Aku mempersepsi bahwa kegiatan di orgasnisasi itu tidak aku suaki. Aku mengetahui bahwa aku salah. Jika aku ingin berkembang dan lebih baik, aku tidak boleh menghiraukan kegiatan itu karena sudah pasti bahwa kegiatan di organisasi merupakan kegiatan positif, terlepas dari apakah aku suka atau tidak akan kegiatan itu. Namun, ketika itu, ketika menjelang seleksi, aku diliputi konflik seperti itu, dan aku menjadi bingung. Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk memantapkan kemabli niatku seperti jauh hari sebelum seleksi UKM JQH AlMizan dan PKD PMII.
Lalu, aku sakit karena terlalu asyik dengan tugas-tugas kuliah dan kegiatan membaca bukuku. Aku sakit menjelang seleksi UKM JQH Al Mizan dan PKD sehingga aku batal mengikuti dua organisasi itu. Setelah beberapa waktu berlalu sejak kejadian itu, aku jatuh sakit lagi, dan lagi, kata dokter aku sakit gejala typus lagi karena terlalu capek dan kurang makan. Aku sendiri sampai bingung, mengapa aku sakit padahal kegiatan yang ku lakukan juga mungkin sama banyaknya dengan teman-temanku?
Aku juga baru menyadari bahwa daya tahan tubuhku tidak terlalu tinggi, aku merupakan orang yang mudah sakit. Muncul lagi hal baru yang aku pikirkan dan pelajari. Aku sering disamakan dengan teman-temanku. Mereka bilang bahwa mereka juga capek dan lelah namun mereka tetap beraktifitas di organisasi. Baiklah, kalau begitu. Aku akui bahwa mereka hebat karena meskipun mereka lelah dan capek, mereka tetap aktif di organisasi. Tetapi, yang terpenting dari hal itu, aku mendapatkan sebuah peremehan karena aku dibandingkan dengan mereka. Mereka tidak sadar akan hal itu, aku dan mereka memang sama-sama manusia, namun lebih jauh lagi, yang harus mereka pahami adalah aku adalah aku, mereka adalah mereka. Aku mempunyai bentuk fisik ,cara berbicara, berperilaku, berpikir, ketahanan tubuh yang berbeda dengan mereka. Standart nilai dan keberhasilan antara aku dengan mereka pun juga berbeda. Individual differencies juga tidak bisa dihindarkan di dalam kehidupan, karena itu perlu adanya sikap toleransi, empati, pemahaman kondisi orang lain di sekitar kita.
Jadi, baiklah. Aku mengakui bahwa aku tidak sehebat mereka yang aktif di dalam beraktifitas dan berorganisasi. Meskipun aku terlihat berdiam diri, bukan berarti aku tidak melakukan apapun untuk pengembangan diriku. Justru dari pengalaman itu, aku mendapatkan satu hal lagi pelajaran berharga. Aku menganalisis dari sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain, lalu aku ambil sesuatu itu untuk aku pelajari. Aku memang bukan orang yang hebat, namun aku suka mempelajari pengalamanku sendiri dan hal-hal lain di sekitarku. Aku mempelajari beberapa ilmu yang sejatinya cukup penting namun diacuhkan oleh banyak orang.
Berhubungan dengan berbagai hal yang telah aku deskripsikan di atas, banyak orang yang sudah mendewakan suatu makhluk yang bernama organisasi. Mereka berdalih bahwa organisasi merupakan wujud nyata dari sebuah teori dan ilmu. Hal ini menyebabkan kesan bahwa organisasi lebih baik daripada ilmu Karena memungkinkan seseorang mampu memecahkan permasalahan di dalam hidupnya. Mereka juga berasalan bahwa di organisasi mereka dapat bertindak dengan nyata dan tegas terhadap sebuah realita.
Mereka jelas berkebalikan dengan kalangan yang sangat pandai di dalam ilmu pengetahuan. Namun, setahuku kalangan ini tidak terlalu terlihat seperti halnya kalangan organisasi yang sangat mencolok eksistyensinya di dalam kehidupan. Meskipun begitu, bukan berarti kalangan ilmuwan sama sekali tidak terlihat eksistensinya di dalam kemanfaatan hidup dan pemecahan permasalahan.
Jujur saja, aku adalah orang yang pernah menjadi orang organisasi – meskipun hanya organisasi sekolah dan kecil – dan juga pernah menjadi orang yang bukan orang orang organisasi. Bagiku, seperti halnya yang diungkapkan berbagai orang bijak, organisasi dan ilmu keduanya sama-sama penting. Tidak ada yang lebih penting daripada yang lainnya. Tidak ada yang lebih baik daripada yang lainnya. Organisasi tidak lebih baik daripada ilmu dan ilmu juga tidak lebih baik daripada organisasi. Organisasi tanpa ilmu akan sia-sia dan ilmu tanpa organisasi juga akan hampa.
Ilmu ibarat hulu dan organisasi ibarat hilir. Ilmu adalah makanan dan organisasi adalah sebuah wadahnya untuk memasak dan menikmati makanan ilmu itu. Sehingga, keduanya harus berjalan dengan selaras, seimbang, dan serasi. Mereka berdua ibarat dua buah kaki di dalam satu tubuh. Mereka harus ada dan berjalan bergantian serta saling melengkapi dan membantu untuk mencapai sebuah tujuan yang mulia. Organisasi dan ilmu ibarat dua buah sayap burung yang harus dikepakkan secara seimbang untuk mencapai tujuan yang sangat tinggi.
Aku pernah mendengar seorang khotib yang masih sangat muda berkhotbah keika shalat jumat di Masjid Safinah ar Rahmah Gondokusuman, Sapen, Sleman, Yogyakarta. Dia berkhutbah tentang pentingnya aktifitas mengisi waktu luang dengan hal-hal yang bermanfaat secara nyata dan riil dengan organisasi. Ada satu kalimat yang dia ucapkan dan kalimat itu sangat menggelitik telingaku dan membuatku risih mendengarkannya. Andai itu tidak khotbah, maka aku sudah memprotesnya karena jika pada suatu khotbah jama’ah berbicara ketika khotib berkhutbah, maka shalat jum’atnya tidak sah.
Dia mengatakan bahwa seseorang yang pintar dan pandai – dia mengibaratkan dengan orang yang Indeks Prestasinya 4 (empat) dan itu adalah raihan nilai tertinggi di dalam studi Strata Satu atau S1 – , tidak akan berguna dan tidak bisa memecahkan permasalahan jika tidak mengikuti organisasi. Dia terlalu berlebihan di dalam mengartikan dan memberikan makna sebuah organisasi.
Argument yang inginh aku ajukan adalah sebagai berikut. Orang yang nilai Indeks Prestasinya empat (4), bukan berarti dia tidak bisa apa-apa. Memang banyak fakta bahwa banyak sarjana pintar yang menganggur di Negara Indonesia tercinta ini. Namun, yang perlu dicatat dan digarisbawahi, bahwa orang yang mempunyai intelegensi yang tinggi adalah orang yang dapat belajar sebagai Lower Order Processing (LOW) dan dapat adaptasi dengan lingkungannya dalam wujud menyelesaikan berbagai permasalahan sebagai High Order Processing (HOP) serta memiliki unsure metakognitif, dan pintar di dalam suatu budaya belum tentu pintar menurut budaya lain. Demikian definisi valid dari para ahli psikologi kognitif. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa orang yang pintar dan intelegensi yang tinggi bukan berarti tidak bisa memecahkan permasalahan, namun mereka bisa memecahkan permasalahan, belajar dari pengalaman, dan kreatif. Kreatif sendiri mengandung makna bahwa sesuatu dikatakan kreatif jika sesuatu itu original, luhur, berbeda, asli, dan berguna serta bermanfaat. Itu juga merupakan definisi para ahli psikologi kognitif.
Dan, tempat untuk membahas serta menyelesaikan permasalahan tidak hanya di organisasi. Organisasi hanyalah salah satu tempat yang kecil dari sekian banyak tempat yang luas dari sebuah realitas kehidupan untuk belajar memecahkan permasalahan. Sebuah organisasi juga hanya merupakan sebuah perantara untuk menjembatani antara pikiran dan teori dengan relitas kehidupan. Banyak hal lain di luar organisasi untuk belajar mengasah kemampuan di dalam memecahkan permasalahan yang ada. Banyak hal lain di luar organisasi untuk dijelajahi. Faktanya, setiap komunitas dan satuan kelompok di dalam realitas kehidupan merupakan sebuah organisasi, sehingga organisasi tidak hanya organisasi politik, organisasi mahasiswa, dan berbagai organisasi lainnya.
Sikap memecahkan masalah ditentukan tidak pada organisasi, namun lebih pada kepekaan menangkap fenomena dan kejelian menentukan langkah pemecahan permasalahan atau problem solving. Hanya saja, organisasi merupakan salah satu tempatnya.
Faktanya, sekitar decade setelah masa Orde Baru runtuh, mahasiswa di organisasi seperti tidak sehebat mahasiswa yang memperjuangkan kemerdekaan sebelum Indonesia merdeka. Mereka seperti kehilangan predikat sebagai agent social of change. Ide yang ditawarkan yaitu reformasi belum berjalan dengan maksimal sampai halaman ini ditulis. Padahal, rezim Soeharto sudah ditumbangkan pada tanggal 21 Mei 1998. Ditambah dengan komponen Negara dan apartur pemerintah tidak maksimal di dalam menjalankan amanat dan suara hati rakyat, banyak pejabat yang korupsi, melanggar poeraturan, tidak bisa menyelesaikan permasalahan Negara dengan baik, mengalihkan isu permasalahan, dan sebagainya. Meskipun begitu, tetap masih ada segelintir orang baik dari sekian banyak sekali orang yang tidak baik. Beberapa di antara berjuang sungguh-sungguh untuk perubahan ke arah masa depan Negara yang lebih baik. Alangkah lucunya negeri ini (seperti yang dingkapkan oleh Deddy Mizwar melalui filmya “Alangkah Lucunya Negeri Ini”), orang-orang baik seperti itu justru tidak dihargai dan terbuang.
Banyak mahasiswa yang juga tidak menampilkan tindakan riil untuk sebuah perubahan. Mereka seolah hanya bisa mengkritik namun tidak bisa memberikan solusi yang baik dan memperbaiki. Mereka hanya bisa berbicara banyak tanpa sebuah gebrakan yang luar biasa. Berbeda dengan para mahasiswa dulu, yang tidak banyak bicara namun banyak menulis dan bertindak secara nyata dan luar biasa sehingga dapat menuju ke sebuah perubahan, yaitu kemerdekaan. Oleh karena itu, Presiden pertama Republic Indonesia, Insinyur Soekarno berkata,”Berikan aku sepuluh pemuda, maka aku akan mengubah dunia.” Ironisnya, semboyan tersebut seolah hany menjadi benteng perlindungan ketidakmampuan para pemuda saat ini yang sudah sangat jauh berbeda dari mahasiswa dan pemuda jaman dahulu. Banyak para pemuda dan mahasiswa yang terlelap di dalam indahnya hidup tanpa bergerak dan mewahnya modernisasi.
Akhir abad dua puluh dan awal abad dua puluh satu, resiko yang ditanggung akibat kesalahan pemerintah masa lalu. Sepanjang itu, reformasi belum menampakkan taringnya untuk sebuah perubahan kea rah kemajuan. Bahkan, reformasi pun juga menampilkan berbagai resiko, ditambah dengan resiko dari system demokrasi. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa setiap sesuatu mempunyai hal positif yang akan membawa kea rah solusi tetapi juga hal negative yang akan membawa pada resiko. Karena itu, resiko dan solusi harus dipikirkan bersama dan seimbang.
Dalam memecahkan permasalahan atau problem solving, setidaknya dibutuhkan beberapa tahap, diantaranya mengidentifikasi permasalahan, mencari berbagai sumber dari permasalahan tersebut, menyusun strategi pemecahan masalah, memikirkan solusi dan resiko dari setiap strategi, mengalokasikan sumber daya seperti tenaga, pikiran, dan materi atau dana untuk memecahkan masalah, melaksanakan strategi yang sudah dipilih dengan pemikiran yang matang dan mantap, dan kemudian mengevaluasi strategi yang telah diimplementasikan tersebut. Setidaknya itulah langkah-langkah problem solving yang diidentifikasikan oleh para ahli psikologi kognitif.
Dengan cara tersebut, orang pintar yang mempunyai banyak wawasan dan pengalaman dapat berperan besar di dalam pemecahan permasalahan. Tidak berguna juga berada di dalam organisasi tetapi tidak mempunyai banyak pengetahuan untuk problem solving dan decision making. Dengan cara tersebut, akan lebih terhindar dari resiko daripada hanya mengkritik tanpa menghadirkan solusi yang nyata atau riil.
Faktanya, ketika itu, banyak mahasiswa yang ada di organisasi hanya mencaci maki setelah mengetahui kesalahan dan keburukan sebuah system. Seolah mengubah sebuah paradigma, organisasi membuat orang yang ada di dalamnya kehilangan sebuah sifat moderat yang membawa pada perubahan, sifat oleransi yang harus dikembangkan, dan sifat sopan santun, yang seharusnya sifat tersebut ditegakkkan dan diaplikasikan di dalam berorganisasi. Orang organisasi juga seharusnya dapat menangkap dan memasukkan nilai-nilai budaya organisasi yang baik ke dalam dirinya yang secara nyata menghadirkan perilaku organisasi yang mulia.
Setiap pihak mempunyai kelebihan dan kelemahan masing-masing yang tidak seharusnya dipermasalahkan dan dibuat sebagai alat melebihkan pihak sendiri dan menjatuhkan pihak lain. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada pihak organisasi dan ilmuwan dan dengan menambah sikap rendah hatiku karena aku sangat tidak lebih baik daripada mereka, aku sangat apresiasi terhadap usaha yang mereka lakukan untuk membuat hidup lebih baik dan masa depan lebih cerah, tentunya ucapan ini hanya berlaku untuk mereka yang masuk ke dalam kategori ini, bukan semua pihak ilmuwan dan pihak organisasi tanpa kecuali.

Sabtu, 23 Oktober 2010

SEPENGGAL KISAH KECIL YANG KESEBELAS: Ketika Semester Satu

Banyak hal yang aku pikirkan, termasuk alasan di balik diterimanya aku di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jujur, aku kurang puas, tetapi aku harus menerimanya dengan ikhlas dan tabah karena itu adalah sebuah hasil yang diberikan oleh Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa untuk aku. Selain itu, aku yakin ada sesuatu yang berarti di balik takdirku itu. Permasalahannya, adalah aku harus menunggu waktu kapan aku menemukan alasan Tuhan itu, entah dalam jangka waktu yang cepat, atau dalam jangka waktu yang lambat. Jadi, aku harus bersabar dan teliti membaca setiap kejadian dalam hidupku, termasuk peristiwa-peristiwa di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta secara khusus dan dunia secara umum. Padahal, karakterku adalah orang yang kurang sabar dalam menanti seuatu dan cepat ingin mengetahui sesuatu. Jadi, itulah ujian pertamaku, yaitu aku harus sabar.
Selain itu, aku juga harus peka dan pandai menemukan sesuatu yang berharga untuk diriku sendiri dan orang lain. Aku harus belajar tentang sesuatu, apa saja, yang dapat aku ambil di setiap waktu dan kejadian dalam kehidupanku. Bagiku, mengambil palajaran di dalam hidup itu sangat penting untuk diriku sendiri secara khusus, sangat penting untuk membuat diriku lebih baik, untuk sebuah proses, aku menyadari bahwa aku bukanlah manusia sempurna. Belajar sesuatu adalah sulit bila itu dilakukan pertama kali dan harus pandai menemukan sesuatu yang baik itu. Setelah itu, akan lebih mudah bila dilakukan dengan rutin.
Permasalahannya adalah bagaimana meletakkan sesuatu hasil belajar itu ke dalam diriku, apalagi bila aku tidak dapat menjangkaunya. Aku harus berusaha lebih keras lagi untuk mencapainya dan akan percuma jika tidak dapat mencapainya karena hal itu sangat berharga, yaitu hasil pembelajaran dari kehidupanku. Akan sangat menyenangkan dan memuaskan jika aku bisa mendapatkan hasil yang sangat baik di dalam diriku, dan itu bukan hanya satu atau dua kali, tetapi berulang kali. Tetapi, kemampuanku terbatas dan tidak semua hal yang menjadi hasil belajarku dapat kulakukan dengan baik dan berhasil.
Minimal, bila aku belajar dari sesuatu hal yang buruk, aku tidak mengikutinya. Bila aku melakukan kesalahan, aku tidak mengulanginya. Bila tidak ada hal yang bisa aku capai, minimal aku mempertahankan seuatu yang baik yang sudah aku punya. Dan, tidak jarang pula aku tenggelam mengikuti arus yang tidak baik dalam kehidupanku. Dari kejadian itu, dapat terlihat bahwa sangat sulit untuk keluar dari sesuatu yang bersifat buruk padahal sangat mudah untuk terjerumus ke dalamnya. Itu pelajaran dari kehidupan yang sangat penting yang tidak semua orang dapat mengambil pelajaran kehidupan tersebut dan memahaminya serta melakukannya.
Aku juga belajar dari kegagalanku masuk ke perguruan tinggi negeri yang aku inginkan. Setelah empat kali gagal, aku berprasangka buruk kepada Tuhan. Waktu itu, aku ingin marah kepada Tuhan. Mengapa aku gagal?! Aku sudah berusaha semampuku, berdoa kepada Tuhan untuk menunjang usahaku, tetapi mengapa aku gagal?! Sementara teman-temanku yang tidak berusaha sekeras itu dan tidak beroda serajin itu, mereka semua berhasil! Sangat sulit untuk menerima keadaan seperti itu. Banyak orang yang mengatakan bahwa yang terbaik menurut Tuhan belum tentu terbaik menurut umat manusia, tetapi yang terbaik menurut umat manusia belum tentu juga yang terbaik menurut Tuhannya. Segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan karena Dia Yang Maha Bijaksana dan Yang Maha Mengetahui baik yang tersembunyi maupun tidak manusia hanya wajib berusaha dan banyak juga yang tidak puas dan kurang menerima hasil yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, termasuk aku sendiri. Anggapan itu muncul karena menurut manusia, hasil yang yang diterima tidak setimpal dengan usaha yang dilakukan sehingga menimbulkan banyak kekecewaan. Tetapi, semua harus dikembalikan kepada Tuhan, apapun keadaanya itu. Sudah banyak fakta historis masa lalu bagaimana akhirnya akibat yang diterima oleh para manusia yang melawan dan kecewa kepada Tuhan.
Setelah masuk masa pra kuliah, universitas mengadakan OPAK (Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan) – nama ospek dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di masa-masa itu, aku juga sempat belajar beberapa hal. Salah satunya adalah NATO (No Action Talk Only), yang artinya sikap yang hanya banyak bicara namun tidak mengimplementasikannya. Hal itu sangat aku benci. Bahkan, banyak mahasiswa yang menjadi kakak angkatanku yang menjadi panitia OPAK, yang selalu menggebu-gebu dalam meneriakkan slogan itu, justru bersikap seperti itu. Hal itu sungguh sangat ironis. Memang sangat sulit untuk tidak menjadi NATO, namun bukan berarti tidak bisa.
Memasuki masa perkuliahan, aku dihadapkan lagi pada suatu masalah yang membuatku bingung tetapi tidak terlalu berat. Aku ingin mengikuti salah satu organisasi di UIN SUKA untuk membuatku lebih mengetahui hal-hal baru lagi dengan organisasi serta belajar mengembangkan kemampuanku dalam berorganisasi. Aku baru ikut organisasi ketika SMP dan baru belajar secara sungguh-sungguh tentang organisasi ketika aku mengikuti organisasi Dewan Ambalan dan Syiar Kegiatan Islam. Oleh karena itu, aku ingin lebih mengetahui lagi dan belajar organisasi yang lebih tinggi karena organisasi di perguruan tinggi sama sekali berbeda dengan pranisasi sekolah. Salah satunya, di organisasi, dapat belajar kritis dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu permasalahan. Aku sangat menyukai hal itu. Tetapi, orang tuaku sudah mengingatkan bahwa aku harus fokus dan konsentrasi pada perkuliahanku dan tidak boleh mengikuti organisasi, atau kalaupun boleh, hanya sebatas mengikuti dan tidak terjun terlalu dalam dan jauh karena kedua orang tuaku menganggap aku adalah seorang anak yang fisiknya tidak terlalu kuat sehingga jika terlalu capek, akan sakit dan pikirannya kacau. Orang tuaku tidak ingin organisasi menggangguku dan membuyarkan konsentrasiku pada perkuliahan. Tetapi, aku sudah menngatakan bahwa hal semcam itu tidak akan terjadi, aku akan berusaha untuk bisa membagi waktu dan tetap fokus pada perkuliahan meskipun nantinya aku mengikuti organisasi. Aku dapat mengaturnya sesuai kemampuanku. Apa boleh buat, usahaku untuk meyakinkan orang tuaku percuma saja. Waktu itu, aku masih sangat ingin menentang keputusan mereka karena aku sangat ingin berorganisasi. Pada awalnya, banyak orang yang mengingatkanku tentang organisasi yang akan aku ikuti. Mereka takut bila pemikiranku berubah dan terkontaminasi setelah aku mengikuti organisasi itu karena di organisasi, para anggotanya sudah dikenal dengan keburukan pemikiran dan perilakunya. Bila aku jadi ikut organisasi itu, aku akan menganggapnya sebagai tantangan yang harus aku kalahkan dan aku taklukkan.
Tetapi, keputusanku adalah aku tidak jadi ikut organisasi itu. Bukan karena aku tidak berani dengan tantangan itu, tetapi aku sudah berpikir bahwa aku harus menuruti kemauan kedua orang tuaku untuk tidak berorganisasi karena waktu SMP dan SMA, aku sudah melanggar kemauan mereka tersebut, sehingga di beberapa kesempatan, aku mendapatkan hasil belajar yang menurun. Aku harus tidak boleh mengecewakan mereka lagi. Aku juga harus bisa fokus pada perkuliahanku dan belajarku agar dapat menegjar waktu lulus yang lebih cepat dari waktu lulus yang standart untuk lulus pada tingkat Strata Satu (S I). Aku mempunyai rencana untuk lulus Strata Satu (S I) sekitar tiga setengah tahun dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) berpredikat Cumlaude, itu berarti harus setinggi-tingginya yang aku mampu, yaitu lebih dari 3,5 (tertinggi adalah 4). Hal itu cukup berat dan sulit. Tetapi aku harus bisa. Selain itu, waktu itu aku ingin kuliah sambil bekerja, tidak peduli besar penghasilannya, yang penting aku bisa membantu meringankan beban kedua orang tuaku dan belajar mandiri serta belajar merasakan kehidupan yang sebenarnya sangat ganas.
Setelah masa kuliah berjalan selama satu semester (enam bulan), aku mendapatkan beberapa pelajaran yang sangat berarti lagi, di dalam kehidupanku. Aku tertantang oleh perkataan dosenku mata kuliah Statiska Program Studi Psikologi Faultas Ilmu Sosial Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, namanya adalah Unggul Hutomo N, S.Psi., M.Si. banyak sekali hal yang sangat seusia – termasuk cara pandang mengenai suatu permasalahan – antara aku dengan beliau. Hal itulah yang membuatku menyukainya sebagai pengajar. Salah satu yang aku merasa tertantang adalah tentang apa yang bisa aku lakukan untuk kedua orang tuaku. Kedua orang tuaku sudah bersuaha sangat keras, dengan melakukan semua hal yang mereka mampu untuk masa depanku dan telah memberikan beberapa yang aku perlukan meskipun tidak semua. Semua yang mereka lakukan adalah yang terbaik untukku. Usaha mereka sangat keras untuk putra dan putrinya. Aku harus bisa memberikan imbalan kepada mereka meskipun kedua orang tuaku tidak ingin imbalan itu dan yang pasti, imbalanku tidak akan pernah bisa membalas semua hal yang mereka berikan padaku dan lakukan untukku, karena yang mereka berikan padaku dan lakukan untukku sangat besar dan banyak, atau kalau boleh dikatakan tidak terhingga. Dosenku tersebut juga mengajarkan bahwa aku harus dapat meneruskan semangat dan cita-cita kedua orang tuaku meskipun hal itu sangat susah, sulit, dan berat, sehingga membutuhkan perjuangan yang sangat besar dan keras, apalagi jika semangat dan cita-cita kedua orang tuaku tidak sama dengan semangat dan cita-citaku. Hal itu sangat dilematis bagiku karena kau dihadapkan pada dua pilihan, berjalan menurut yang aku inginkan atau berjalan menurut yang diinginkan kedua orang tuaku. Karakter kedua orang tuaku tidak pernah memaksa, meskipun kadang mereka memaksa untuk kebaikanku. Kedua orang tuaku hanya membimbing dan memberikan pandangan dan pendapatnya terhadap berbagai pilihan, selanjutnya aku sendiri yang memilihnya. Aku ingin kedua orang tuaku bangga kepadaku agar semua yang mereka berikan padaku dan semua yang mereka lakukan untukku tidak sia-sia.
Selain pelajaran di atas, dosenku tersebut juga mengajarkan bahwa kapasitas kepandaian dan kepintaran serta kecerdasan otakku harus sesuai dengan fasilitas yang aku miliki. Jika aku memiliki fasilitas yang sangat lengkap dan mewah, transportasi pribadi yang mewah, pakaian yang sangat bermodel, uang saku yang sangat banyak, aku juga harus pandai dan pintar. Tetapi, bukan berarti jika aku tidak memiliki apapun, hal itu menjadi sebuah ijin aku boleh menjadi orang yang tidak pintar dan pandai. Meskipun aku tidak memiliki apapun dan minim fasilitas, aku juga harus tetap bisa bersaing dengan yang lain dan bisa menajdi yang terdepan dan yang terbaik. Sehingga, akan menjadi seimbang antara apa yang aku miliki dengan apa yang aku dapatkan dan apa yang aku bsia. Akan malu rasanya jika tidak bisa melakukan apa-apa padahal dibekali fasilitas yang sangat lengkap dan modern. Fasilitas yang menunjang seharusnya menjamin keberhasilan seseorang, tetapi faktanya banyak orang yang tergiur dengan kemewahan fasilitas tersebut dan menyebabkan tidak konsentrasi dan fokus pada kewajiban yang harus mereka lakukan, dan hal itu menyebabkan mereka tidak atau kurang sukses dan berhasi. Hal itu memang sangat ironis. Namun, banyak orang yang sukses mengawalinya dengan fasilitas yang minimal dan dengan hidup yang susah dan prihatin.
Pelajaran selanjutnya beliau dapatkan dari seorang temannya. Suatu hari, ketika dosenku mengajar di kelasku, beliau diberi kabar bahwa istri dari temannya itu meninggal setelah melahirkan bayi prematur. Padahal, sudah diatur dan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya bahkan dilaksanakan dengan prosedur yang benar. Tetapi, hasilnya di luar keinginan. Intinya, meskipun perencanaan sudah matang, yang kita lakukan sudah sesuai dengan prosedur dan usaha kita sudah maksimal, hasilnya bisa saja “Back to Zero”, artinya nihil. Hasil tidak berada di tangan kita sebagai manusia yang hanya wajib berusaha tanpa bisa menentukan sendiri keberhasilan dan kesuksesan. Hasil merupakan hak mutlak dari Tuhan sedangkan kita sebagai manusia hanya wajib berusaha untuk bahan pertimbangan Tuhan dalam memberikan keputusan pada kita nantinya. Hal itu mengingatkan aku pada kegagalan-kegagalanku pada masa lalu.
Aku temui pelajaran penting lainnya lagi. Namun kali ini datang dari orang yang berbeda. Yang pertama, datang dari Dosenku Mata Kuliah Bahasa Arab yang menjadi Ketua Pusat Budaya dan Bahasa Asing Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta waktu itu, dan datang dari Dosenku Mata Kuliah Filsafat yang bernama Andi Dermawan, S.Ag., M.Ag. beliau berdua mengajarkan dua hal yang sama. Orang harus unggul di antara orang lain dalam kehidupannya dan jangan hanya mengikuti arus. Orang harus dapat berkompetisi (secara sehat) untuk menunjukkan dirinya dan mempunyai target yang jelas sehingga waktu untuk hidup tidak terbuang dengan sia-sia dan percuma. Tuhan menciptakan sesuatu yang Dia ciptakan, termasuk manusia, bukanlah tanpa arti dan hikmah. “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Quran Surat Ali ‘Imraan ayat 191). Semua manusia pada dasarnya berguna, hanya saja sedikit beberapa di antara mereka yang benar-benar menyadari keberguanaan itu dan melakukan hal yang berguna dalam hidup mereka, sangat sedikit. Sehingga, justru manusia itu sendiri yang membuat dirinya sendiri tidak berguna dan tidak bermanfaat karena mereka tidak menyadari kebergunaan itu, jadi bukan salah Tuhan.
Yang kedua, datang dari salah seorang temanku, yang bernama Nihayatul Karimah. Waktu itu, dia menjadi mahasiswi farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM)Yogyakarta. Dia satu angkatan denganku. Aku sempat dua kali terkejut dan kagum dengannya. Terkejut karena dia pernah berubah menjadi buruk dan kagum karena dia berubah menjadi lebih baik beberapa waktu kemudian.
Setelah tiga tahun tidak bertemu, suatu hari aku bertemu dengannya, berbincang-bincang tentang banyak hal. Bisa aku tangkap waktu itu, dia telah menjadi superior dengan atributnya sebagai mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Tidak berbeda dengan teman-temanku yang lain – tentu tidak semua temanku seperti itu, yang juga menjadi mahasiswa di perguruan tinggi-perguruan tinggi favorit, perkataan-perkataannya seperti meremehkan dan menjelekkan kegiatan-kegiatan dan sifat-sifat mahasiswa-mahasiswa UIN SUKA Yogyakarta, tempat aku menimba ilmu.
Ya, aku akui UGM Yogyakarta sangat jauh berada di atas UIN SUKA Yogyakarta, tetapi aku tidak perlu putus harapan karena yang membuatku sukses dan berhasil bukanlah universitas tetapi diriku sendiri dan usaha-usahaku serta doa orang tua serta restu Tuhan. Universitas hanya salah satu jalan menuju kesuksesan dan keberhasilan itu. Aku mempunyai rencana, UIN SUKA Yogyakarta akan bangga mempunyai mahasiswa seperti aku, bukan aku yang bangga menjadi mahasiswa UIN SUKA Yogyakarta seperti yang dirasakan teman-temanku yang hanya bangga menjadi mahasiswa di perguruan tinggi negeri favorit. Aku sadar, perjuanganku juga sangat berat dan aku harus bisa menjadi yang selalu lebih baik dari yang lain dan dari aku yang sebelumnya. Aku tidak boleh gegabah dalam bertindak dan berkata, aku juga tidak boleh menyombongkan diriku, baik sebelum maupun sesudah aku sukses dan berhasil nantinya. Aku tidak boleh berkata lebih sebelum aku mencobanya.
Selain itu, pelajaran yang aku ambil darinya, aku tidak suka pikiran subyektif, seperti yang dia berikan padaku. Waktu itu, dia memberikan masukan untuk permasalahanku berdasarkan atas pengaalaman yang dia alami sehingga terkesan dia menyuruhku untuk menirunya. Aku menolaknya mentah-mentah karena alasan yang subyektif. Aku juga mempunyai pendapat sendiri yang lebih cocok untuk diriku sendiri. Aku akan menerima saran, kritik, dan masukan yang hanya bersifat obyektif dan konstruktif serta universal. Aku juga tidak suka caranya dengan menyuruhku meniru dia, memangnya siapa dia? Dia bukan guruku, dia hanya temanku. Suatu ketika, dia menyuruhku membuka blognya dan mengambil hikmah dari tulisan-tulisannya. Waktu itu, langsung aku tolak. Aku masih repot merealisasikan hasil pembelajaranku dari kehidupanku yang lebih penting daripada tulisan-tulisannya di blog. Namun, seiring berjalannya waktu, aku dan dia menjadi teman diskusi yang sangat bagus, moderat, dan saling mengisi dan memberi wawasan. Sering aku ditanya tentang suatu permasalahan kekinian, kemudian aku menjawabnya dan dia berpendapat sehingga aku dan dia menjadi teman diskusi yang baik.
Hari Sabtu sampai dengan hari Minggu, tepatnya tanggal 20 Desember 2008 sampai dengan 21 Desember 2008, aku dan teman-teman yang tergabung dalam IKEBANA (Ikatan Keluarga Besar Alumni Dewan Ambalan SMA Negeri I Karanganom) dan DKR (Dewan Kerja Ranting) Karanganom, dimintai tolong oleh adik-adik kelas XI masa bhakti tahun 2008 sampai dengan 2009 yang menjadi panitia Perpencap (Perkemahan Penerimaan Calon Penegak) untuk membantu mereka dalam kegiatan tersebut. Jauh hari sebelum itu, aku sudah membantu persiapan mereka, diantaranya aku membantu dalam pembuatan proposal dan membimbing cara kerja mereka nantinya, juga tidak lupa menganalisis kesalahan-kesalahan yang sering terjadi agar mereka tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang sama ketika kakak kelas mereka menjadi panitia di tahun sebelumnya. Dalam melakukan itu semua, aku dibantu oleh temanku yang bernama Agung Sagoro.
Tidak ada keinginan untuk mendapatkan pujian, aku hanya berpikir bagaimana aku menciptakan dan membentuk generasi penerus yang baik agar menjadi lebih baik karena keberhasilanku dalam organisasi bukan terletak pada masaku, tetapi keberhasilan organisasi pada masaku terletak pada keberhasilan mencetak kader dan generasi penerus yang lebih baik. Aku juga tidak ingin lepas penuh tanggung jawabku meskipun aku sudah melepas jabatan Pradana II selama dua tahun waktu itu.
Seperti yang aku tulis di depan, aku membantu mereka agar mereka bisa berhasil. Tetapi, jika mereka berhasil, keberhasilan itu milik mereka, bukan milikku. Keberhasilan itu karena mereka bekerja keras, bukan karena aku membantu mereka. Karena yang melakukan itu semua adalah mereka, bukan aku. Sesuatu yang aku lakukan itu, membuat eksistensiku sangat kecil. Eksistensiku di mata teman-teman dan yang lain menjadi tidak ada. Hasilnya, tidak ada yang mengetahui tentang kelebihanku itu sehingga jaringanku sangat sempit karena tidak banyak yang mengetahui aku dan memang aku tidak mengatakan dan mempublikasikannya. Hal itu sama artinya usahaku yang berat untuk membantu mereka percuma saja, dalam artian percuma dalam hal tidak banyak orang yang mengetahui, karena biasanya orang yang membantu atau penolong ingin diketahui oleh banyak orang sehingga diakui eksistensinya. Namun, jika dalam artian membagi pengalaman, hal yang aku lakukan itu bukan menjadi hal yang percuma dan sia-sia saja karena aku banyak bertukar pengalaman dengan teman-teman dan para panitia sehingga membuatku merasa sangat senang dan bahagia, bahkan ada rasa puas. Kata salah seorang temanku, jika perilakuku tersebut diimplementasikan di dalam bidang bisnis, aku akan rugi besar karena dalam dunia persaingan seperti dunia bisnis, hal yang paling penting adalah eksistensi seseorang yang diakui keheebatan dan kelebihannya.
Semua itu berawal ketika aku tidak suka mengatakan usaha-usaha yang aku lakukan dan kesakitan-kesakitan yang aku rasakan. Dengan kata lain, aku berkata hanya dengan hasil kerja dan akibatnya, tidak banyak yang mengetahui aktor di balik hasil kerja tersebut dan keberhasilan tersebut. Karena memang aku tidak pernah mengatakan bahwa aku yang memulai keberhasilan itu meskpipun memang benar aku yang memulainya. Aku selalu menyertakan nama teman-temanku yang bekerja dalam satu tim dan dalam satu waktu karena merka juga mengambil peran yang sangat penting di dalam keberhasilan sebuah kerja yang aku dan teman-teman lakukan. Keberhasilan milik bersama, begitu juga kegagalan juga milik bersama.
Karena itu, aku selalu mengatakan kepada teman-teman di organisasi atau yang bekerja dalam satu tim untuk tidak mengumbar usaha yang mereka lakukan di dalam menjalankan tugas kerja. Setiap komponen di dalam tim dan organisasi sudah mempunyai tanggung jawab kerja masing-masing dan deskripsi kerja masing-masing yang wajib dilaksanakan dengan baik sehingga semua komponen di dalam tim dan organisasi akan bekerja, tidak yang berat dan tidak yang ringan, karena sudah terbagi dengan adil dan seharusnya. Namun, ionisnya, banyak orang yang tidak bekerja secaar serius di dalam tim dan organisasi itu.
Salah seorang temanku yang bernama Handli Aji Kristal sampai bingung dan heran dengan yang aku lakukan tanpa menghhiraukan eksistensiku sendiri. Padahal, eksistensik itu penting untuk menunjukkan siapa diriku dan agar orang lain mengetahui tentang kelebihanku dan keterampilanku. Jika tidak, maka aku akan tenggelam. Sebenarnya, aku juga inging sekali menunjukkan siapa diriku, tetapi, itu bukan hakku.
Hal lain yang aku alami ketika masa kuliahku hampir menginjak satu semester pertama bahwa aku baru sadar kalau aku benar-beanr kagum dengan ayahku. Sebelum itu, akujuga sudah kagum dengan ayahku, namun tidak sampai seperti yang aku rasakan ketika itu, ketika kuliahku hampir satu semester. Ayahku mempunyai cukup banyak kelebihan yang tidak dimiliki seorang ayah yang lain. Beliau cerdas dan pintar serta kritis melihat permasalahan, tanggap di dalam sebuah pemberitaan, peduli kepada orang lain di sekitarnya, tanggung jawab dan amanah terhadap beban yang beliau pikul, tidak takut menyampaikan kebenaran walau posisinya hanya seorang diri. Beberapa bukti untuk kelebihan ayahku itu, ayahku pernah mengkritik kepada Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri I Karanganom (SMA tempat aku bersekolah) yang bernama Bapak Drs. H. Fachruddin Suwoto, M.M. ayahku mengkritik soal administrasi dan manajemen sekolah tersebut. Sewaktu ayahku masih duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II (DPR Dati II – Kabupaten Klaten), ayah selalu menguak dan mencoba menggagalkan praktek-praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dan kecurangan-kecurangan kerja yang lain. Yang hebat, ayahku pernah menjadi single fighter di dalam melawan mereka wakli rakyat yang ada di DPR Dati II Klaten yang bekerja dengan tidak benar dan menjalankan praktek KKN serta tidak amanah dalam menjalankan aspirasi rakyat. Hasilnya, ayahku yang menang meskipun hanya petarung seorang diri (single fighter) karena ayahku berada di atas kebenaran sehingga dapat melawan mereka. Aku tidak akan banyak menulis tentang kehebatan ayahku ini karena itu semua milik ayahku dan aku tidak ingin dicap sebagai dan menjadi generasi muda yang hanya membanggakan kehebatan leluhur dan orang tua sedangkan dirinya sendiri tidak memiliki keunggulan apa-apa.
Selain itu, ayahku juga pernah hampir dicelakai dan dihajar oleh pihak yang dikritik oleh ayahku di Koperasi Batur Jaya. Namun, entah mengapa pihak tersebut justru celaka sendiri. Sampai pihak yang membela ayahku hendak membalaskan perbuatan buruk pihak yang melawan tersebut namun, ayahku tidak mengijinkan, ayahku hanya berkata bahwasanya biar Alloh SWT yang memberikan balasan, entah balasan yang baik atau buruk. Jika manusia yang membalas, akan menambah masalah.
Satu hal lagi yang aku kagumi dari ayahku. Beliau adalah seorang muballigh, pendakwah agama Islam. Biasanya, seorang muballigh akan diberi “upah” atau uang oleh ta’mir atau penyelenggara atau panitia pengajian atau pengundang sebagai pengganti transportasi, pengorbanan, dan buku-buku atau kitab-kitab yang dia beli. Selain itu, sebagai seorang muballigh, ayah juga sering kali dimintai tolong untuk makashil mayyit (menceritakan riwayat orang yang wafat tersebut) dalam ta’ziyah, untuk berpidato menyerahkan pengantin (pasrah temanten – bahasa Jawa), untuk berpidato menyambut tamu undangan (atur pambagyo harjo – bahasa Jawa), untuk berpidato menyerahkan pengantin putri kepada pihak pengantin laki-laki (pasrah temanten – bahasa Jawa), untuk mengurusi tanah wakaf, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu mendapatkan hasil dalam bentuk materi. Namun, ayahku selalu menolak pemberian materi tersebut meskipun hanya sekedar sebagai pengganti kitab atau transportasi atau uang jasa. Jiwa sosialnya tinggi dan beliau juga disegani oleh masyarakat.
Suatu hal yang kontradiksi dengan ayah adalah ada muballigh-muballigh yang justru “pasang tarif” sebagai uang penggantinya. Seolah-olah mereka menjadikan muballigh sebagai sebuah mata pencaharian, padahal muballigh adalah sebuah tugas dan kewajiaban yang sama sekali bukan mata pencaharian. Muballigh seharusnya mengemban tugas dakwah dengan hati yang suka rela dan berani berkorban untuk kepentingan agama, bukan justru mengaharapkan imabalan yang besar di dunia ini. Karena itu, tidak aneh jika para tetanggaku yang juga mayoritas adalah muballigh menjadi kaya raya di samping pekerjaannya yang lain sukses. Berbeda dengan ayahku, yang sangat sederhana, bahkan tidak jarang juga ayahku kesulitan untuk memenuhi kebutuhan keseharian. Itulah kekagumanku pada ayahku, ayah tetap tidak mau menerima materi dari orang lain ketika setelah ayah menjalankan tugasnya sebagai muballigh meskipun kadang ayah juga membutuhkan materi itu dan tidak pernah sekalipun ayahku “pasang tarif”.
Setiap kali zakat fitrah (akhir Ramadlan), ayah selalu mendapatkan jatah zakat karena ayahku dimasukkan dalam kategori jihad fis sabilillah (orang yang berjuang di jalan Alloh SWT), salah satu pihak yang berhak menerima zakat yang juga termasuk dalam delapan golongan (fakir, miskin, gharim, ‘amil, jihad fis sabilillah, ibnu sabil, hamba sahaya, muallaf). Namun, ayah tetap menolak zakat tersebut dan tidak menerimanya dengan alasan tafsiran jihad fis sabilillah adalah hanya bagi orang Islam yang benar-benar berjuang di jalan Alloh SWT, seperti berperang jihad. Bukan kemudian diqiyaskan pada pendakwah karena sekarang jarang sekali orang yang berperang jihad di Indonesia. Selain itu, ayah juga beralasan masih banyak orang lain yang lebih berhak menerimanya.
Aku menuliskan kelebihan ayahku bukan berarti aku memamerkannya, aku hanya menulis kekagumanku kepada ayahku saja. Aku tahu, aku harus bisa seperti ayahku. Tetapi, hal itu bukanlah perkara yang mudah semudah membalikkan telapak tangan. Tanggung jawab seorang muballigh sangat besar. Dan aku mencoba belajar dari situ. Dan aku juga belajar banyak hal dari ibuku tercinta.
Ibuku adalah seorang ibu yang hebat di mataku. Dahulu ketika kecil, ibuku merupakan putri dari pasangan konglomerat yang tinggal di Semarang. Karena orang tua dari ibuku dicurangi ketika bekerja dan berdagang, akhirnya mereka bangkrut dan jatuh miskin secara mendadak. Setelah itu, mereka kembali ke kota Klaten, ke daerah yang dekat dengan orang tua dari ibunya ibuku. Dari situ, ibuku belajar banyak hal, misalnya belajar bekerja keras sejak kecil dan belajar menjadi tangguh menghadapi cobaan hidup.
Ketika sekolah, ibuku sering kali meraih juara umum, khususnya sewaktu ibuku sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yang lokasinya dekat dengan SMA Negeri I Klaten.
Ketika ibuku lulus dari sekolahnya, ibuku memilih untuk bekerja saja, yaitu buka praktek salon khusus wanita, karena ibuku ingin membantu orang tuanya menanggung beban hidup. Ibuku memilih bekerja membuka salon khusus wanita karena ibuku pandai dalam hal itu dan mendapatkan ilmunya dari SMK tersebut.
Ibuku banyak belajar mengenai kerasnya hidup, termasuk kerasnya pendirian dan prinsip ayahku ketika mereka menikah sejak tahun 1978. Ibuku juga sangat mengagumkan sebagai sosok pendamping hidup. Meskipun banyak mengalami benturan pendapat, prinsip, dan pemikiran dengan ayahku, ibuku tetap mendampinginya demi keutuhan keluarga dan kebahagiaan putra-putrinya. Tidak jarang ibuku menangis karena sulitnya hidup yang dijalaninya, tetapi aku selalu berusaha di sampingnya untuk sedikit memberi setetes energi hidup. Ya, sangat sedikit, setetes atau bahkan setengah tets atau seperampat tetes. Aku tidak tahu.
Selain hal di atas, ibuku merupakan seorang ibu yang pandai dalam mengurusi rumah tangaa. Standart ibu rumah tangga yang beliau lakukan jarang dapat dilakukan oleh orang lain. Misalnya, bangun sekitar pukul 03.00 WIB pagi untuk mencuci pakaian, mengepel lantai, menyapu rumah (bagian dalam dan luar), mempersiapkan makanan dan minuman, dan terakhir adalah merias diri sehingga terlihat rapi. Jadi, keinginan ibuku adalah ketika suami dan anak-anak bangun tidur, keadaan rumah sudah bersih, makan dan minuman sudah tersaji, dan istri dan ibu sudah rapi. Bahkan, ketika aku dan kakak-kakakku masih bayi, ibuku bangun tidur pukul 02.00 WIB pagi untuk mencuci banyaknya baju popok kami dan menyeterika baju dan popok-popok kami.
Hal yang cukup mengagumkan dari ibuku juga adalah ibuku tetap berbakti pada ayah dan ibunya meskipun beliau sejak kecil sering disikapi tidak adil oleh mereka. Ibuku hanya diam dan bersikap sabar serta berdoa dan menjadikan peristiwa tersebut sebagai cermin, ibuku berniat jangan sampai kelak ibuku melakukan hal itu pada putra-putrinya dan cucu-cucunya. Ibuku juga merupakan tipe ibu yang sangat penyayang dan pengertian, terutama kepada putra-putrinya dan suaminya.
Apapun itu, kapanpun itu, dan bagaimanapun itu, sikap ayah dan ibuku tersebut akan selalu terukir dalam pikiran dan hatiku, terukir abadi sepanjang masa, sampai nafas terakhirku kelak. Dan aku ingin sekali belajar dari mereka sehingga aku menjadi manusia yang tangguh.

Kamis, 16 September 2010

SEPENGGAL KISAH KECIL YANG KESEPULUH : Perjuanganku Menuntut Ilmu dan Masa-Masa Sulitku

Bulan Maret sampai April tahun 2008, bulan terberat dalam hidupku ketika itu. Saat itu, aku harus berjuang untuk tidak mengecewakan keluargaku, terutama kedua orang tuaku, karena waktu itu adalah saat-saat terakhirku di bangku SMA dan akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tentunya yang aku dan keluargaku inginku, yaitu di universitas yang bagus kualitasnya. Sebelum itu, aku harus melewati ujian akhir di SMA yang disebut Ujian Akhir Nasional (UNAS). Saat-saat itu merupakan saat anak-anak seusiaku membuka gerbang kehidupan yang selanjutnya dan yang sebenarnya. Gambaran seperti itu membuat orang-orang berpersepsi bahwa dari ujian akhir itu dapat dilihat awal dari masa depan seorang anak. Apabila gagal mengikuti ujian akhir nasional itu, maka mereka banyak disimpulkan bahwa mereka akan mempunyai masa depan yang kurang cerah. Begitu juga sebaliknya, jika mereka berhasil dalam melewati ujian akhir nasional itu, mereka banyak disimpulkan oleh orang-orang bahwa masa depan mereka cerah. Persepsi seperti itu sudah sangat akrab dalam pikiran banyak orang, terlepas apakah persepsi seperti itu benar atau salah.
Memang, ujian akhir nasional itu adalah bisa dikatakan sebagai semacam pintu gerbang kehidupan, namun hanya salah satu pintu gerbang kehidupan saja, dan itu pun terletak di awal kehidupan. Sehingga, jika seorang anak gagal dalam ujian akhir nasional, belum tentu masa depan mereka sesuram yang dipersepsi oleh banyak orang, hanya saja jalan mereka menuju kesuksesan sedikit atau banyak terhambat oleh kegagalannya itu, namun dengan proses belajar yang adaptif, mereka bisa tidak gagal lagi dalam melewati pintu gerbang kehidupan yang selanjutnya. Dan juga sebaliknya. Keberhasilan mereka dalam mencapai kelulusan ujian akhir nasional itu juga tidak lantas menjamin masa depan mereka sangat cerah dan terjamin, hanya saja jalan mereka menuju kesuksesan tidak terhambat di pintu gerbang awal itu, namun bisa juga terhambat di pintu gerbang kehidupan yang lain. Semua itu kembali pada individu yang melaksanakan hal itu dan bagaimana orang-orang menyikapi kejadian tersebut.
Banyak orang yang berpersepsi salah mengenai fenomena ujian akhir nasional sehingga jiga kegagalan menimpa mereka, mereka bisa sangat frustasi, sampai depresi, orang tua marah besar, dan bahkan ironisnya ada di antara mereka yang tidak lulus ujian akhir nasional kemudian bunuh diri. Kejadian semacam itu sangat perlu dihindari untuk mencegah efek negatif yang lain yang bisa lebih merugikan pihak-pihak tersebut.
Masa depan tidak ditentukan oleh ujian akhir nasional. Masa depan seseorang hanyalah ditentukan oleh Tuhan dan orang itu sendiri. Meskipun sudah digariskan takdirnya oleh Tuhan, manusia harus tetap berusaha untuk mencapai masa depan mereka yang cerah. Selain itu, masa depan ditentukan oleh faktor kepemimpinan diri terhadap lingkungan dan orang lain, seperti itulah kata Anies Baswedan – Rektor Universitas Paramadina tahun 2010.
Banyak orang yang berhasil meraih masa depan yang cerah dan memuaskan padahal mereka tidak bersekolah sampai tingkat sarjana. Namun sebaliknya, banyak orang yang bersekolah sampai tingkat atas namun masa depan mereka tidak secerah yang diharapkan. Sehingga semuanya itu lebih pada faktor individual dan kelengkapan serta kematangan sumber daya manusia. Selain itu, masa depan juga ditentukan oleh keterampilan seseorang dalam mengatasi setiap permasalahan kehidupan dan kreatifitas seseorang dalam menemukan sebuah solusi untuk berbagai permasalahan kehidupan.
Kedua orang tuaku dan juga keluargaku menginginkan sesuatu yang ideal. Mereka menginginkan setiap anaknya sekolah sampai tingkat tinggi – semisal kuliah dan harus perguruan tinggi negeri (PTN) –, dan kemudian lulus dengan nilai yang sangat baik – cumlaude –, untuk selanjutnya bekerja secara mapan sehingga masa depan terjamin dan cerah. Ya, itu sangat ideal dan itu sangat diinginkan oleh kedua orang tuaku terhadap semua putra dan putrinya, terutama aku yang menjadi harapan terakhir dari keluargaku. Kedua orang tuaku menginginkan aku mengikuti jejak kedua kakakku yang sukses dalam kuliah dan kerja. Sehingga aku tidak boleh mengecewakan mereka dan harus berusaha keras untuk mewujudkan hal itu. Itu adalah tanggung jawabku sebagai anak, yaitu membahagiakan kedua orang tuaku dengan menuruti keinginan mereka yang baik.
Selain itu, aku juga memikirkan bagaimana nanti aku mekanjutkan sekolah (kuliah). Aku ingin sampai tingkat strata dua (S II) tetapi sekolah sampai tingkat itu membutuhkan dana yang tidak sedikit dan tentu sangat besar, apalagi di jamanku yang sangat modern. Kedua orang tuaku sudah tua dan renta untuk bekerja keras demi aku. Aku dari keluarga yang cukup sederhana. Meskipun aku mempunyai sedikit barang mewah, tetapi itu semua karena aku menabung dari uang saku yang selalu aku sisakan. Sering juga aku menabung untuk keperluan sekolah semisal membeli buku. Tetapi, aku sangat bersyukur karena waktu itu, kedua kakakku sudah bekerja dan mempunyai keinginan untuk membiayai sekolahku dan memenuhi perlengkapan yang aku butuhkan dalam menuntut ilmu.
Waktu itu, aku juga berpikir mengenai orang-orang yang suka berjanji terhadap sesuatu. Mereka selaku dengan mudah dan sangat enteng mengatakannya tanpa memperhitungkan hambatan dalam mengabulkan dan memenuhi janji itu. Bahkan banyak dari mereka yang sudah tidak berniat memenuhi janji itu sejak mereka mengatakan janji itu. Mungkin saja, mereka tidak mengetahui sebesar apa dosa meninggalkan janji. Atau mungkin juga meereka menyerah di tengah usahanya memnuhi janji karena hambatan mereka sangat besar. Atau mungkin juga mereka tidak melaksanakan janji itu.
Oleh karena itu, pepatah jawa mengatakan,”ngomong nganggo waton, ojo mung waton ngomong.” Dalam bahasa indonesia berarti “jangan asal bicara tetapi bicara memakai aturan.” Kalimat yang sederhana namun berefek sangat luar biasa. Ketika akan berbicara, termasuk juga berjanji, sebaiknya dipikirkan terlebih dahulu sebelum mengatakannya. Apakah keadaan ketika dia akan melakukan sesuatu itu sama dengan keadaan ketika dia mengatakan sesuatu itu? Apakah hambatan yang datang bisa dia atasi dengan baik sehingga dia bisa melakukan sesuatu yang dia katakan? Apakah yang ida katakan tidak menyinggung perasaan orang lain, tidak menyakiti perasaan orang lain, dan tidak merugikan orang lain? Jadi, jangan asal berkata dan berjanji meskipun ketika berkata dan berjanji itu mereka bnear-benar berniat untuk berjanji melakukan sesuatu, namun pikirkan terlebih dahulu apakah dapat memenuhinya atau tidak, jangan asal niat, rasa, dan berkata apa yang dia rasakan. Seperti diketahui, manusia mempunyai otak. Fungsi otak adalah salah satunya untuk berpikir. Salah satu berpikir itu adalah berpikir sebelum berkata dan bertindak. Itu sangat penting walaupun sangat sederhana.
Selan mempunyai permasalahan-permasalahan tersebut, ada satu hal yang ku rasakan berbeda dari diriku waktu itu. Aku merasa lebih nyaman waktu itu, tepatnya waktu saat-saat UNAS, baik sebelum UNAS maupun sesudah UNAS. Anehnya, aku sendiri tidak mengetahui penyebab kenyamanan dalam diriku itu. Aku mencoba untuk mencari penyebabnya itu, tetapi tidak aku temukan. Lalu, aku tanyakan kepada salah seorang temanku namun dia menjawab bahwa aku lebih baik, hanya itu dan jawaban itu membuatku masih belum puas atas kejadian yang menimpa diriku itu. Aku masih menuntut jawaban yang lebih spesifik dan detail. Tetapi, dia tetap tidak memberikan jawaban untuk lebih menjelaskan jawabannya yang masih umum itu. Sejak saat itu, aku berusaha untuk dapat menjadi lebih baik lagi, setiap saat, karena aku tidak dapat menjadi yang terbaik karena memang aku bukan orang yang sempurna.
Waktu itu, ada hal aneh lagi yang aku alami. Aku mengkritik beberapa orang yang tidak menghargaiku, padahal mereka itu guruku. Salah satu kejadiannya, yaitu ketika ujian praktek mata pelajaran biologi. Awalnya, aku sudah mempelajari materi yang akan diujikan. Tetapi, keadaan berubah ketika sampai mata uji keanekaragaman hayati. Waktu itu, materi keanekaragaman hayati adalah materi yang tidak begitu aku kuasasi karena salah satunya adalah memberikan nama ilmiah – binomial nomenclature yang dicetuskan oleh Caerolus Linneaus. Itu materi yang tidak aku kuasai. Ketika itu, pengawas ujian praktek berkata dengan perkataan yang mengadung penekanan bagi mental dan pikiranku. Terus terang, aku semakin tidak bisa berpikir dalam keadaan seperti itu. Aku adalah tipe orang yang sensitif dan tidak bisa bekerja di bawah tekanan. Akhirnya, aku tidak bisa mengerjakan ujian praktek keanekaragaman hayati sehingga aku harus melakukan remidiasi. Selang beberapa hari, ada pengulangan dan pelatihan soal biologi. Sebelum dimulai, guru mata pelajaran biologi yang juga kebetulan memberikan penekanan terhadapku ketika ujian praktek itu, memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menyampaikan kritik, saran, dan masukan terhadap beliau. Dan, aku melakukannya dengan sangat terbuka dan tajam. Tetapi, akibatnya fatal juga, salah satu temanku menjadi beranggapan bahwa aku berprasangka buruk terhadap guruku itu. Aku tidak dapat menerima persepsi semacam itu karena dia tidak mengetahui hal yang sebenarnya terjadi padaku. Dan, aku sangat tidak suka dengan orang yang mmeberikan komentar tetapi dia tidak begitu mengetahui dan menguasai informasi yang akan dia beri komentar. Aku tidak berprasangka buruk terhadap guruku, tetapi hanyas aja aku tidak menyukai cara penekanan yang beliau lakukan padaku. Di satu sisi, penekanan dapat membuat seseorang yang awalnya tidak bisa menjadi bisa, tetapi di sisi lain juga bisa menenggelamkan dan melemahkan konsentrasi serta fokus seseorang dalam berpikir dan bertindak. Aku adalah tipe orang membutuhkan suasana yang tenang dalam bekerja dan bertindak.
Masa-masa sulitku terus berlanjut sampai pada bulan Juli tahun 2008. sebelum itu, aku juga harus menjalankan masa-masa yang mengecewakan. Aku berusaha untuk memasuki perguruan tinggi negeri dengan jalur yang disediakan oleh perguruan tingi negeri tersebut. Jadi, aku berusaha untuk memasuki perguruan tinggi negeri tanpa melewati ujian masuk, namun dengan mengandalkan nilai setiap semester dari kelas X sampai kelas XII.
Diantaranya. Yang pertama adalah jalur Penelusuran Minat dan Keterampilan yang disingkat dengan PMDK yang diadakan oleh Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Jalur ini hanya mengandalkan nilai setiap semester dari semester pertama sampai semester terakhir selama duduk di bangku SMA. Namun, tidak boleh sekedar nilai, tetapi hanya yang mempunyai nilai di atas tujuh atau selalu konsisten berada di ranking sepuluh besar kelas. Nilaiku masih termasuk dalam kategori itu sehingga aku mengikutinya meskipun aku tidak pernah juara kelas karena peringkatku berkisar peringkat tiga pada kelas sepuluh semester pertama, peringkat dua pada kelas sepuluh semester kedua, peringkat tiga pada kelas sebelas semester ketiga, peringkat lima pada kelas sebelas semester keempat, peringkat tiga pada kelas dua belas semester kelima, dan peringkat dua pada kelas dua belas semester keenam. Waktu itu, aku mendaftar PMDK dengan mengambil dua jurusan, yaitu Pendidikan Biologi pada pilihan pertama dan Biologi pada pilihan kedua. Kedua jurusan yang aku pilih tersebut ternyata mempunyai tingkat persaingan yang cukup tinggi namun aku tidak mengubah pilihanku tersebut. Itulah kesalahan pertamaku, yaitu tidak mengubah pilihan meskipun peluang diterima cukup sempit dan kecil.
Jika ingin mendapatkan perguruan tinggi negeri terlebih dahulu tanpa mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri nasional, seharusnya aku memilih jurusan yang peluang diterima cukup tinggi, tingkat persaingan rendah, dan juga aku sukai. Tetapi bukan seperti itu yang aku lakukan. Aku terlalu terpancang pada jurusan yang sangat aku sukai namun peringkat persaingannya sangat tinggi dan tidak mengubah pada jurusan yang tetap aku sukai namun peringkat persaingannya cukup rendah. Apalagi kata guruku Bimbingan Konseling (BK) SMA, PMDK UNS terkenal sulit karena peminatnya sangat banyak tetapi kuota yang disedikan bagi para pendaftar hanya sedikit.
Hasil akhirnya, pengumuman PMDK UNS pada tanggal 19 Mei 2008 dan setelah aku SMS dan melihat pada situs UNS, aku tidak diterima. Waktu itu, aku tidak terlalu kecewa karena aku masih mempunyai cadangan, yaitu Ujian Masuk (UM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Seleksi Mandiri (SM) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang baru akan dilaksanakan.
Lain halnya Ujian Masuk (UM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di situ aku tidak terlalu ngotot untuk lulus. Ada beberapa hal penyebabnya, diantaranya aku tidak diijinkan secara penuh oleh keluargaku karena lingkungan di sana yang tidak bagus untukku, biaya yang cukup mahal, juga jurusan yang aku pilih tidak terlalu aku suka karena hanya ada jurusan itu. Alhasil, aku tidak belajar dan hanya ingin menambah pengalaman untuk bekal ikut Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) karena aku juga ingin mengikuti itu yang waktunya sekitar tiga bulan sesudah UM UGM itu. Sehari sebelum UM UGM dilaksanakan, aku pergi ke UGM untuk melihat lokasi tempat dudukku waktu ujian keesokan harinya agar pada waktu pagi datang akan ujian tidak bingung mencari tempat duduk yang sudah disediakan lewat nomor tempat duduk dan ruang kelas serta fakultas dan jurusan. Aku juga melihat-lihat Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) Yogyakarta, aku diantar oleh kakak iparku, Kak Isnan Rosyid. Setelah melihat denah tempat duduk di UGM, aku ke rumah kakak iparku karena kakakku adalah istrinya. Aku menginap selama satu malam agar jarak berngkat ujian tidak jauh dan lama sehingga tidak menguras banyak energi. Maklum, jarak rumahku ke UGM sekitar satu jam perjalanan motor, sedangkan jarak rumah kakakku ke UGM hanya beberapa menit saja.
Ketika malam, aku tidak berharap banyak karena beberapa hal di atas tadi. Pagi pun tiba dan siap atau tidak siap, harus siap mengahadapi ujian yang sudah di depan mata. Perkiraanklu tidak meleset. Soal-soal ujian UM UGM cukup sulit. Beberapa hari kemudian, kepala SMAku yang sekaligus mantan guru fisika di SMA Negeri I Polanharjojuga menyebut bahwa soal-soal ujian UM UGM tidak selesai dengan hanya lima langkah dan lima menit! Alhasil, aku tidak dapat mengerjakannya walaupun hanya satu langkah saja dan aku pesimis untuk lolos dan lulus ujian.
Pengumuman jatuh pada tanggal 7 Juni 2008. aku pun tidak terima, sesuai dengan prediksi sebelumnya. Ada beberapa hal yang menyebabkan aku tidak diterima. Yang pasti aku tidak bisa mengerjakan soal itu. Tetapi, teman-temanku dan adik sepupuku yang berasal dari blora yang bernama Ratna Kusumasari Purbaningrum (mereka termasuk anak yang pintar), juga tidak diterima di UM UGM itu. Apa yang menyebabkan mereka tidak lolos dan tidak lulus? Terus terang, aku tidak mencari kambing hitam kegagalan karena hal itu sama sekali bukan tindakan yang bijaksana, apalagi aku sendiri tidak bias mengerjakan soal-soal ujian itu. Banyak roang yang menyoroti kegagalan kami itu adalah karena jurusan yang kami pilih memiliki tingkat persaingan yang sangat tinggi. Tetapi, bukan itu yang menjadi sorotan utama. Alasan utama adalah karena kami tidak mengisi uang pembangunan yang sangat banyak, bahkan aku tidak mengisi sama sekali alias nol rupiah. Waktu itu, aku hanya mengisi beasiswa atau nol rupiah karena kategori keluargaku termasuk pada keluarga yang boleh mendapatkan beasiswa jika nantinya aku diterima, sehingga jika nantinya aku diterima di UGM, aku tidak dipungut biaya pembangunan sepeser pun.
Namun, kata orang-orang, itu hanya kedok. Sudah hampir dipastikan bahwa orang yang mengisi beasiswa itu tidak akan diterima di UGM karena mereka tidak memberi uang sama sekali (waktu itu, UGM dikenal sebagai perguruan tinggi negeri yang sangat mahal karena sudah menerapkan sistem Badan Hukum Milik Negara yang sierahi otonomi dan kemandirian dalam mengembangkan perguruan tinggi negeri tersebut sehingga otonomi tersebut menjadi kewenangan perguruan tinggi secara mandiri dan perguruan tinggi negeri tersebut tidal lagi diberi subsidi oleh negara yang menyebabkan mahalnya biaya kuliah di tempat itu).
Di perguruan tinggi negeri yang termasuk dalam Badan Hukum Milik Negara tersebut, ada batas minimal sumbangan untuk setiap jurusan atau program studi. Sehngga, terkesan sangat mahal dan siapa yang tidak mengisi bisa dipastikan tidak diterima dan sebaliknya, siapa yang mengisi dengan sumbangan yang sangat banyak maka bisa menjadi bahan pertimbangan perguruan tinggi negeri tersebut untuk menerima calon mahasiswa tersebut si samping pertimbangan lain semisal nilai dan lulusnya dalam ujian masuk. Waktu itu, bisa dikatakan bahwa uang menjadi raja yang baru dalam dunia pendidikan yang seharusnya yang menjadi raja dalam dunia pendidikan adalah etika, kognisi, kreativitas, dan implementasi pengetahuan.
Waktu itu, sampai terkuak suatu skandal di UGM. Ada seorang calon mahasiswa baru yang akan mengikuti ujian masuk UGM dengan membayar uang sebesar dua ratus juta rupiah (Rp 200.000.000,00). Uang itu adalah uang suap agar diterima di UGM. Selain itu, untuk upah “orang dalam” dalam membantu mulusnya perjalanan mahasiswa baru itu. Untuk kedok, “orang dalam” itu tidak sekedar memberikan kunci jawaban saja, namun memberikan soal dan pelatihan khusus yang dirahasiakan tempat dan waktunya – tentunya hanya mereka yang mengetahui tempat dan waktunya. Secara otomatis, calon mahasiswa UGM yang akan mengikuti ujian masuk itu dipastikan dapat menjawab soal-soal dalam ujian masuk tersebut. Lebih ironis lagi, praktek semacam itu dibantu oleh “orang dalam”! namun, sepandai-pandai tupai melompat, akan jatuh juga. Sekecil apapun dan serapi apapun dalam menyembunyikan keburukan, pasti akan terkuak. Istilah dalam bahasa Jawa adalah “Becik ketitik, Ala Ketara” yang artinya, perbuatan baik dan buruk pasti diketahui orang lain. Skandal tersebut jsutru aku ketahui dari buletin-buletin yang dibuat oleh para mahasiswa UGM sendiri dalam usahanya membersihkan dan mengkritik sistem.
Waktu itu, Badan Hukum Milik Negara tersebut menjadi permasalahan serius, sampai menimbulkan berbagai polemik di kalangan mahasiswa, salah satunya demonstrasi yang disertai dengan kerusuhan yang terjadi di kompleks UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan di berbagai perguruan tinggi lain.
Tetpai, yang sudah berlalu biarlah berlalu, namun tidak berlalu begitu saja tanpa meninggalkan bekas, karena kenangan dan pengalaman harus meninggalkan bekas untuk perbaikan diri. Aku tidak diterima, dan aku tidak begitu kecewa. Aku berkata seperti di atas bukan berarti juga menuduh para mahasiswa UGM bukan orang pandai dan hanya mengandalkan uang semata. Aku hanya berpikir mereka yang diterima di UGM memang sudah menjadi takdir mereka dan sebagai upah atas belajar keras mereka. Jadi, selamat saja untuk mereka.
Ketika aku mencoba di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang dulu bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (IKIP), aku membutuhkan perjuangan yang lebih banyak daripada ketika aku mendaftar UNS dan UGM. Waktu verifikasi pada tanggal 26 Mei 2008 yang bertepatan pada hari Senin, bertempat di Pusat Komunikasi UNY (lokasinya dekat dengan Koperasi Mahasiswa UNY), aku harus antri lama sekali. Aku datang pada pukul 08.00 WIB dan sudah mendapatkan nomor antrian 274. hari itu, antrian dijatah sampai dengan 500 pendaftar. Itu berarti, pendaftar sangat banyak dan harus dilayani meskipun sampai sore atau bahkan malam hari.
Ketika menunggu lama, badanku jadi sakit. Kepalaku terasa pusing dan perutku terasa mual. Tetapi, aku agak beruntung. Aku bertemu dengan temanku SMA dan sebenarnya dia juga tetanggaku bahkan saudaraku, dan dia membawa nomor antrian 240, namun dia lupa tidak membawa salah satu syarat verifikasi Seleksi Mandiri UNY. Sehingga, dia menelepon ayahnya untuk mengambilkannya. Tetapi, mungkin ayahnya sampai di UNY siang atau malah sore hari. Akhirnya, dia menukar nomor antriannya kepada nomor antrianku supaya dia bisa lebih lama menunggu dan antriannya tepat dengan kedatangan ayahnya yang mengambilkan persyaratan verifikasi Seleksi Mandiri tersebut. Jadilah aku bertukar nomor dengannya, aku menjadi nomor 240, sementara dia menjadi nomor 274. Setelah setengah hari menunggu – ketika itu sekitar pukul dua belas lebih sedikit, akhirnya nomor 240 dipanggil dan aku masuk ruangan untuk melakukan verifikasi data Seleksi Mandiri UNY.
Jumat, 30 Mei 2008, siang hari aku ke UNY lagi untuk melihat tempat duduk dan lokasi ujian seleksi mandiri UNY untuk mempermudah keesokan harinya waktu ujian dan agar tidak bingung mencari lokasi tempat duduk ketika ujian tiba. Aku bertempat di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMK N) II Depok yang beralamatkan di Mrican, Caturtunggal, Depok, Sleman. Rencananya, setelah melihat lokasi tempat duduk seleksi mandiri UNY, aku menginap di rumah kakakku yang berada di Bantul sehingga aku tidak perlu berangkat jauh-jauh dari rumahku di Klaten ketika hari ujian tiba, yaitu tanggal 31 Mei 2008, sekaligus menghemat energi yang digunakan. Teapi, rencana mendadak berubah karena aku merasa agak sakit ketika setelah menengok lokasi ujian seleksi mandiri UNY dan akan berangkat ke rumah kakakku. Aku memutuskan untuk pulang saja karena ketika sakit, aku lebih suka di rumah karena merasa nyaman.
Keesokan harinya, Sabtu 31 Mei 2008, aku berangkat seleksi mandiri UNY dengan bekal yang minim (karena malam harinya aku sulit belajar) dan kurang fit (karena hari sebelumnya aku agak sakit). Aku berangkat sekitar pukul 05.00 WIB pagi. Apa boleh buat? Aku hanya mengerjakan soal-soal ujian seleksi mandiri sesuai kemampuanku saja. Meskipun aku yakin bisa, tetapi hasilnya mengecewakan lagi. Lagi-lagi aku gagal dan tidak diterima di UNY. Waktu itu, aku mengambil program studi Pendidikan Matematika di pilihan pertama dan Matematika di pilihan kedua.
Setelah gagal di tiga tempat itu – yaitu UNS, UGM, dan UNY, aku berencana mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau disingkat dengan SNMPTN, yang dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 2008 sampai dengan 2 Juli 2008. aku mengambil di wilayah Surakarta karena dekat dengan rumahku. Sehingga aku mendaftar di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta karena UNS merupakan satu-satunya perguruan tinggi negeri di wilayah Surakarta.
Aku mengambil program studi Pendidikan Matematika UNS untuk pilihan pertama dan program studi Psikologi UNS untuk pilihan kedua. Tetpai, Tuhan belum menghendaki aku berhasil. Pengumuman SNMPTN jatuh pada tanggal 1 Agustus 2008 yang bertepatan dengan hari Jumat, tepat satu hari sebelum hari lahirku yang ke delapan belas.
Aku sangat berharap bisa diterima di UNS itu sehingga dapat mejadi kado spesial di hari lahirku. Tetapi, Tuhan berkehendak lain. Nama dan nomor ujianku tidak tercantum dalam daftar pendaftar SNMPTN yang diterima di perguruan tinggi negeri. Ada satu nama pendaftar yang mirip dengan namaku sehingga teman-temanku mengiraaku diterima di UNS. Aku sangat kecewa dan hampir putus asa karena sudah empat jalan yang aku lewati dan tempuh ternyata gagal semua.
Jalan yang selanjutnya aku tempuh adalah mendaftar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN SUKA) Yogyakarta. Aku terlalu bernafsu dan marah karena terlalu banyak kegagalan yang aku hadapi sehingga aku menembpuh dua jalur ketika mendaftar di UIN SUKA, yaitu jalur Penelusuran Calon Mahasiswa Berprestasi (PCMB) – tanpa ujian dan hanya berdasarkan nilai setiap semester dari semester satu sampai semester enam selama SMA – dan Ujian Tulis (Utul) – dengan ujian yang bermaterikan tes potensi akademik (TPA). Pada PCMB aku mengambil tiga pilihan program studi, yaitu Program Studi Psikologi untuk pilihan pertama, Program Studi Aqidah dan Filsafat untuk pilihan kedua, dan Program Studi Pendidikan Agama Islam untuk pilihan ketiga. Sedangkan untuk jalur Ujian Tulis, aku juga mengambil tiga pilihan program studi, yaitu Program Studi Psikologi untuk pilihan pertama, Program Studi Pendidikan Matematika untuk pilihan kedua, dan Program Studi Teknik Industri untuk pilihan ketiga.
Ketika pendaftaran di UIN SUKA, aku harus menjalani beberapa hambatan, mulai dari persyaratanku yang ditolak karena kurang lengkap, sampai kesulitan menemui Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri I Karanganom untuk menandatangani beberapa surat keterangan sebagai persyaratan pendaftaran UIN SUKA jalur PCMB tersebut.
Ketika aku sudah berada di dalam ruang pendaftaran, aku menyerahkan semua persyaratan, baik jalur UTUL maupun jalur PCMB. Namun, ketika panitia pendaftaran melihat dan mengecek serta meneliti persyaratan PCMB, yaitu pada surat keterangan yang berisi bahwa aku selalu masuk dalam ranking lima besar kelas dari semester pertama sampai semester enam, panitia menanyakan mengapa hanya sampai semester lima saja. Aku terkejut. Lalu, aku berusaha membujuknya agar tetap menerima persyaratanku itu. Aku berkata bahwa nilaiku di semester enam meningkat dari semester lima. Padahal di semester lima, aku mendapatkan ranking lima kelas – yaitu ranking tiga kelas, sehingga rankingku di semester enam pasti meningkat atau minimal tetap ranking tiga kelas karena nilaiku di semester enam meningkat dari semester lima. Namun, panitia pendaftaran tetap tidak bisa menerima alasanku itu. Katanya harus tetap ada keterangannya meskipun faktanya seperti itu. Hal itu membuatku cukup kesal dan kecewa karena sudah jauh-jauh perjalanan dai rumah ke UIN SUKA Yogyakarta namun persyaratanku ditolak mentah-mentah hanya karena kurang sedikit. Hasilnya, hari itu aku gagal mendaftar.
Keesokan harinya, aku pergi ke SMA untuk menemui Bapak Basuki (yang membuatkan surat keterangan tersebut) untuk melengkapi keterangan peringkat kelasku sampai semester enam, dan kemudian meminta tandatangan Bapak Agus Sukamto selaku Kepala Sekolah. Setelah selesai dibuatkan surat keterangan yang baru, aku pergi menemui Bapak Agus Sukamto, namun kata Bapak Basuki, beliau sedang ada keperluan di luar kota selama beberapa hari, dan hari itu baru hari terakhir, jadi beliau baru berkantor keesokan harinya. Aku menjadi sangat frustasi. Aku ingin segera menyelesaikan persyaratan itu namun selalu saja ada hambatan. Aku duduk di teras toko fotokopi langgananku yang lokasinya tepat berada di depan SMA Negeri I Karanganom. Lalu, aku bertemu dengan salah seorang temanku, Yogi Yanuar. Dia menanyakan keperluanku, lalu aku bercerita mengenai hambatanku. Lantas, dia menjawab, minta arsip tandatangan kepala sekolah di tempat fotokopi itu, lalu ditempel di surat keterangan, untuk selanjutnya difotokopi agar tidak terlihat bahwa itu tempelan dan bukan tandatangan asli. Pemilik toko fotokopi itu mendengarnya, lalu juga mengiyakan kata Yogi. Baiklah, agar cepat selesai, aku sedikit melanggar saja meskipun aku sedikit takut. Lalu, aku minta potongan kertas yang bertandatangankan tandatangan bapak Agus Sukamto, lalu aku menempelnya di surat keterangan dan kemudian memfotokopinya. Setelah itu, aku kembali lagi ke SMA untuk meminta surat keteranganku itu distempel. Setelah itu, aku langsung pergi ke UIN SUKA untuk menyerahkan semua persyaratanku yang sudah lengkap. Setelah sampai di UIN SUKA, aku langsung menuju di tempat pendaftaran untuk segera menyerahkan semua persyaratanku untuk Ujian Tulis dan PCMB. Setelah dicek dan diteliti, persyaratanku lengkap, dan aku mengisi data di komputer UIN SUKA. Setelah selesai, data itu disimpan dan kemudian dapat print out kartu ujian. Setelah selesai, aku pulang. Ketika ke UIN SUKA, aku naik bus dari terminal Penggung, Klaten dan turun di terminal Giwangan, Yogyakarta yang kemudian aku dijemput oleh Kak Isnan Rosyid – suami kakakku, untuk diantar ke UIN SUKA.
Ketika memikirkan hambatan-hambatan itu, aku sampai heran, mengapa menjadi serba sangat sulit dan melelahkan? Aku juga marah dan iri hati kepada teman-temanku. Mereka tidak pernah bersusah payah, mereka tidak pandai dan pintar, mereka selalu bersenang-senang, mereka juga tidak beribadah dan berdoa dengan benar dan rajin. Tetapi, mengapa mereka dapat berhasil tanpa suatu kerja keras? Sedangkan aku yang selalu bersusah payah harus menemui jalan buntu dan harus beberapa kali gagal. Waktu itu, pikiranku selalu diisi dan dipenuhi dengan prasangka-prasangka buruk. Tuhan tidak adil, omong kosong yang menyebut kegagalan itu ujian karena mereka belum pernah merasakannya. Faktanya, Tuhan tidak adil. Aku ingin marah dengan Tuhan. Seperti itulah yang aku pikirkan waktu itu.
Aku juga berprasangka bahwa ayahku tidak menginginkan aku berhasil. Itu karena hati ayahku sering sakit dengan sikap dan pendapatku yang sering berbeda dan bertolak belakang dengan beliau. Sampai pada suatu ketika, Ayahku sampai menangis ketika aku membantah perkataannya. Hubungan antara aku dengan beliau sampai renggang dan sempat tidak berkomunikasi.
Pada suatu hari, tanggal 4 Agustus 2008, temanku yang bernama Robiah Uswatun Hasanah memberikan informasi bahwa dirinya sudah diterima di program studi Psikologi UIN SUKA berdasarkan pengumuman Ujian Tulis dan PCMB di Surat Kabar Haian Kedaulatan Rakyat tanggal 4 Agustus 2008. aku bingung, karena yang aku ketahui pengumuman Ujian Tulis dan PCMB UIN SUKA baru diumumkan pada tanggal 8 Agustus 2008, tetapi mengapa tanggal 4 Agustus 2008 sudah diumumkan lewat surat kabar? Setelah mendapatkan informasi itu, aku langsung bergegas mandi pagi dan kemudian pergi ke warung internet (warnet) untuk melihat pengumuman Ujian Tulis dan PCMB UIN SUKA secara online. Dam kejutan pagi bagiku, aku diterima di dua jalur itu, yaitu jalur Ujian Tulis dan PCMB, dan juga di kedua jalur itu aku diterima di Program Studi Psikologi semua. Aku sangat bersyukur waktu itu. Tentu saja aku sangat senang. Setelah sekian banyak gagal, akhirnya aku diterima di perguruan tinggi negeri, yaitu di Psikologi UIN SUKA Yogyakarta. Padahal, aku juga sudah bersiap diri dan mental jika aku nantinya gagal lagi di UIN SUKA dan berencana menunggu tahun depan untuk kembali mencoba mendaftar di perguruan tinggi negeri. Aku tidak menempuh di perguruan tinggi swasta karena factor biaya perguruan tinggi swasta yang umumnya mahal padahal keluargaku termasuk keluarga sederhana.
Tetapi, ada satu pertanyaan yang membuatku sangat penasaran dan ingin aku ketahui. Pertanyaan itu adalah mengapa aku ditempatkan oleh Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa di UIN SUKA Yogyakarta? Apakah karena aku hanya mampu di UIN SUKA Yogyakarta? Atau mungkin karena Tuhan merasa kasihan pada orang tuaku dalam membiayai aku kuliah nantinya – karena waktu itu, UIN SUKA Yogyakarta merupakan perguran tinggi negeri yang paling murah? Atau karena aku akan dihadapkan tantangan yang besar di UIN SUKA Yogyakarta? Atau karena aku akan memulai keberhasilanku di UIN SUKA Yogyakarta? Atau karena jawaban yang lain? Mungkin semua benar, mungkin juga salah, karena itu hasil yang diberikan oleh Tuhan padaku sehingga secara pasti hanya Dia yang mengetahui dan aku baru mengetahuinya setelah aku berada di UIN SUKA Yogyakarta, entah dalam jangka waktu yang dekat, atau dalam jangka waktu yang lama. Waktu itu, belum terjawab secara pasti. Yang pasti, aku mencoba menggunakan “Anger Management”, yaitu menggunakan pengalaman kesalahan dan kemarahan kegagalan untuk belajar lebih baik dan memotivasi diri untuk meraih keberhasilan, khususnya ketika aku kuliah nantinya.