Kamis, 16 September 2010

SEPENGGAL KISAH KECIL YANG KESEPULUH : Perjuanganku Menuntut Ilmu dan Masa-Masa Sulitku

Bulan Maret sampai April tahun 2008, bulan terberat dalam hidupku ketika itu. Saat itu, aku harus berjuang untuk tidak mengecewakan keluargaku, terutama kedua orang tuaku, karena waktu itu adalah saat-saat terakhirku di bangku SMA dan akan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, tentunya yang aku dan keluargaku inginku, yaitu di universitas yang bagus kualitasnya. Sebelum itu, aku harus melewati ujian akhir di SMA yang disebut Ujian Akhir Nasional (UNAS). Saat-saat itu merupakan saat anak-anak seusiaku membuka gerbang kehidupan yang selanjutnya dan yang sebenarnya. Gambaran seperti itu membuat orang-orang berpersepsi bahwa dari ujian akhir itu dapat dilihat awal dari masa depan seorang anak. Apabila gagal mengikuti ujian akhir nasional itu, maka mereka banyak disimpulkan bahwa mereka akan mempunyai masa depan yang kurang cerah. Begitu juga sebaliknya, jika mereka berhasil dalam melewati ujian akhir nasional itu, mereka banyak disimpulkan oleh orang-orang bahwa masa depan mereka cerah. Persepsi seperti itu sudah sangat akrab dalam pikiran banyak orang, terlepas apakah persepsi seperti itu benar atau salah.
Memang, ujian akhir nasional itu adalah bisa dikatakan sebagai semacam pintu gerbang kehidupan, namun hanya salah satu pintu gerbang kehidupan saja, dan itu pun terletak di awal kehidupan. Sehingga, jika seorang anak gagal dalam ujian akhir nasional, belum tentu masa depan mereka sesuram yang dipersepsi oleh banyak orang, hanya saja jalan mereka menuju kesuksesan sedikit atau banyak terhambat oleh kegagalannya itu, namun dengan proses belajar yang adaptif, mereka bisa tidak gagal lagi dalam melewati pintu gerbang kehidupan yang selanjutnya. Dan juga sebaliknya. Keberhasilan mereka dalam mencapai kelulusan ujian akhir nasional itu juga tidak lantas menjamin masa depan mereka sangat cerah dan terjamin, hanya saja jalan mereka menuju kesuksesan tidak terhambat di pintu gerbang awal itu, namun bisa juga terhambat di pintu gerbang kehidupan yang lain. Semua itu kembali pada individu yang melaksanakan hal itu dan bagaimana orang-orang menyikapi kejadian tersebut.
Banyak orang yang berpersepsi salah mengenai fenomena ujian akhir nasional sehingga jiga kegagalan menimpa mereka, mereka bisa sangat frustasi, sampai depresi, orang tua marah besar, dan bahkan ironisnya ada di antara mereka yang tidak lulus ujian akhir nasional kemudian bunuh diri. Kejadian semacam itu sangat perlu dihindari untuk mencegah efek negatif yang lain yang bisa lebih merugikan pihak-pihak tersebut.
Masa depan tidak ditentukan oleh ujian akhir nasional. Masa depan seseorang hanyalah ditentukan oleh Tuhan dan orang itu sendiri. Meskipun sudah digariskan takdirnya oleh Tuhan, manusia harus tetap berusaha untuk mencapai masa depan mereka yang cerah. Selain itu, masa depan ditentukan oleh faktor kepemimpinan diri terhadap lingkungan dan orang lain, seperti itulah kata Anies Baswedan – Rektor Universitas Paramadina tahun 2010.
Banyak orang yang berhasil meraih masa depan yang cerah dan memuaskan padahal mereka tidak bersekolah sampai tingkat sarjana. Namun sebaliknya, banyak orang yang bersekolah sampai tingkat atas namun masa depan mereka tidak secerah yang diharapkan. Sehingga semuanya itu lebih pada faktor individual dan kelengkapan serta kematangan sumber daya manusia. Selain itu, masa depan juga ditentukan oleh keterampilan seseorang dalam mengatasi setiap permasalahan kehidupan dan kreatifitas seseorang dalam menemukan sebuah solusi untuk berbagai permasalahan kehidupan.
Kedua orang tuaku dan juga keluargaku menginginkan sesuatu yang ideal. Mereka menginginkan setiap anaknya sekolah sampai tingkat tinggi – semisal kuliah dan harus perguruan tinggi negeri (PTN) –, dan kemudian lulus dengan nilai yang sangat baik – cumlaude –, untuk selanjutnya bekerja secara mapan sehingga masa depan terjamin dan cerah. Ya, itu sangat ideal dan itu sangat diinginkan oleh kedua orang tuaku terhadap semua putra dan putrinya, terutama aku yang menjadi harapan terakhir dari keluargaku. Kedua orang tuaku menginginkan aku mengikuti jejak kedua kakakku yang sukses dalam kuliah dan kerja. Sehingga aku tidak boleh mengecewakan mereka dan harus berusaha keras untuk mewujudkan hal itu. Itu adalah tanggung jawabku sebagai anak, yaitu membahagiakan kedua orang tuaku dengan menuruti keinginan mereka yang baik.
Selain itu, aku juga memikirkan bagaimana nanti aku mekanjutkan sekolah (kuliah). Aku ingin sampai tingkat strata dua (S II) tetapi sekolah sampai tingkat itu membutuhkan dana yang tidak sedikit dan tentu sangat besar, apalagi di jamanku yang sangat modern. Kedua orang tuaku sudah tua dan renta untuk bekerja keras demi aku. Aku dari keluarga yang cukup sederhana. Meskipun aku mempunyai sedikit barang mewah, tetapi itu semua karena aku menabung dari uang saku yang selalu aku sisakan. Sering juga aku menabung untuk keperluan sekolah semisal membeli buku. Tetapi, aku sangat bersyukur karena waktu itu, kedua kakakku sudah bekerja dan mempunyai keinginan untuk membiayai sekolahku dan memenuhi perlengkapan yang aku butuhkan dalam menuntut ilmu.
Waktu itu, aku juga berpikir mengenai orang-orang yang suka berjanji terhadap sesuatu. Mereka selaku dengan mudah dan sangat enteng mengatakannya tanpa memperhitungkan hambatan dalam mengabulkan dan memenuhi janji itu. Bahkan banyak dari mereka yang sudah tidak berniat memenuhi janji itu sejak mereka mengatakan janji itu. Mungkin saja, mereka tidak mengetahui sebesar apa dosa meninggalkan janji. Atau mungkin juga meereka menyerah di tengah usahanya memnuhi janji karena hambatan mereka sangat besar. Atau mungkin juga mereka tidak melaksanakan janji itu.
Oleh karena itu, pepatah jawa mengatakan,”ngomong nganggo waton, ojo mung waton ngomong.” Dalam bahasa indonesia berarti “jangan asal bicara tetapi bicara memakai aturan.” Kalimat yang sederhana namun berefek sangat luar biasa. Ketika akan berbicara, termasuk juga berjanji, sebaiknya dipikirkan terlebih dahulu sebelum mengatakannya. Apakah keadaan ketika dia akan melakukan sesuatu itu sama dengan keadaan ketika dia mengatakan sesuatu itu? Apakah hambatan yang datang bisa dia atasi dengan baik sehingga dia bisa melakukan sesuatu yang dia katakan? Apakah yang ida katakan tidak menyinggung perasaan orang lain, tidak menyakiti perasaan orang lain, dan tidak merugikan orang lain? Jadi, jangan asal berkata dan berjanji meskipun ketika berkata dan berjanji itu mereka bnear-benar berniat untuk berjanji melakukan sesuatu, namun pikirkan terlebih dahulu apakah dapat memenuhinya atau tidak, jangan asal niat, rasa, dan berkata apa yang dia rasakan. Seperti diketahui, manusia mempunyai otak. Fungsi otak adalah salah satunya untuk berpikir. Salah satu berpikir itu adalah berpikir sebelum berkata dan bertindak. Itu sangat penting walaupun sangat sederhana.
Selan mempunyai permasalahan-permasalahan tersebut, ada satu hal yang ku rasakan berbeda dari diriku waktu itu. Aku merasa lebih nyaman waktu itu, tepatnya waktu saat-saat UNAS, baik sebelum UNAS maupun sesudah UNAS. Anehnya, aku sendiri tidak mengetahui penyebab kenyamanan dalam diriku itu. Aku mencoba untuk mencari penyebabnya itu, tetapi tidak aku temukan. Lalu, aku tanyakan kepada salah seorang temanku namun dia menjawab bahwa aku lebih baik, hanya itu dan jawaban itu membuatku masih belum puas atas kejadian yang menimpa diriku itu. Aku masih menuntut jawaban yang lebih spesifik dan detail. Tetapi, dia tetap tidak memberikan jawaban untuk lebih menjelaskan jawabannya yang masih umum itu. Sejak saat itu, aku berusaha untuk dapat menjadi lebih baik lagi, setiap saat, karena aku tidak dapat menjadi yang terbaik karena memang aku bukan orang yang sempurna.
Waktu itu, ada hal aneh lagi yang aku alami. Aku mengkritik beberapa orang yang tidak menghargaiku, padahal mereka itu guruku. Salah satu kejadiannya, yaitu ketika ujian praktek mata pelajaran biologi. Awalnya, aku sudah mempelajari materi yang akan diujikan. Tetapi, keadaan berubah ketika sampai mata uji keanekaragaman hayati. Waktu itu, materi keanekaragaman hayati adalah materi yang tidak begitu aku kuasasi karena salah satunya adalah memberikan nama ilmiah – binomial nomenclature yang dicetuskan oleh Caerolus Linneaus. Itu materi yang tidak aku kuasai. Ketika itu, pengawas ujian praktek berkata dengan perkataan yang mengadung penekanan bagi mental dan pikiranku. Terus terang, aku semakin tidak bisa berpikir dalam keadaan seperti itu. Aku adalah tipe orang yang sensitif dan tidak bisa bekerja di bawah tekanan. Akhirnya, aku tidak bisa mengerjakan ujian praktek keanekaragaman hayati sehingga aku harus melakukan remidiasi. Selang beberapa hari, ada pengulangan dan pelatihan soal biologi. Sebelum dimulai, guru mata pelajaran biologi yang juga kebetulan memberikan penekanan terhadapku ketika ujian praktek itu, memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menyampaikan kritik, saran, dan masukan terhadap beliau. Dan, aku melakukannya dengan sangat terbuka dan tajam. Tetapi, akibatnya fatal juga, salah satu temanku menjadi beranggapan bahwa aku berprasangka buruk terhadap guruku itu. Aku tidak dapat menerima persepsi semacam itu karena dia tidak mengetahui hal yang sebenarnya terjadi padaku. Dan, aku sangat tidak suka dengan orang yang mmeberikan komentar tetapi dia tidak begitu mengetahui dan menguasai informasi yang akan dia beri komentar. Aku tidak berprasangka buruk terhadap guruku, tetapi hanyas aja aku tidak menyukai cara penekanan yang beliau lakukan padaku. Di satu sisi, penekanan dapat membuat seseorang yang awalnya tidak bisa menjadi bisa, tetapi di sisi lain juga bisa menenggelamkan dan melemahkan konsentrasi serta fokus seseorang dalam berpikir dan bertindak. Aku adalah tipe orang membutuhkan suasana yang tenang dalam bekerja dan bertindak.
Masa-masa sulitku terus berlanjut sampai pada bulan Juli tahun 2008. sebelum itu, aku juga harus menjalankan masa-masa yang mengecewakan. Aku berusaha untuk memasuki perguruan tinggi negeri dengan jalur yang disediakan oleh perguruan tingi negeri tersebut. Jadi, aku berusaha untuk memasuki perguruan tinggi negeri tanpa melewati ujian masuk, namun dengan mengandalkan nilai setiap semester dari kelas X sampai kelas XII.
Diantaranya. Yang pertama adalah jalur Penelusuran Minat dan Keterampilan yang disingkat dengan PMDK yang diadakan oleh Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Jalur ini hanya mengandalkan nilai setiap semester dari semester pertama sampai semester terakhir selama duduk di bangku SMA. Namun, tidak boleh sekedar nilai, tetapi hanya yang mempunyai nilai di atas tujuh atau selalu konsisten berada di ranking sepuluh besar kelas. Nilaiku masih termasuk dalam kategori itu sehingga aku mengikutinya meskipun aku tidak pernah juara kelas karena peringkatku berkisar peringkat tiga pada kelas sepuluh semester pertama, peringkat dua pada kelas sepuluh semester kedua, peringkat tiga pada kelas sebelas semester ketiga, peringkat lima pada kelas sebelas semester keempat, peringkat tiga pada kelas dua belas semester kelima, dan peringkat dua pada kelas dua belas semester keenam. Waktu itu, aku mendaftar PMDK dengan mengambil dua jurusan, yaitu Pendidikan Biologi pada pilihan pertama dan Biologi pada pilihan kedua. Kedua jurusan yang aku pilih tersebut ternyata mempunyai tingkat persaingan yang cukup tinggi namun aku tidak mengubah pilihanku tersebut. Itulah kesalahan pertamaku, yaitu tidak mengubah pilihan meskipun peluang diterima cukup sempit dan kecil.
Jika ingin mendapatkan perguruan tinggi negeri terlebih dahulu tanpa mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri nasional, seharusnya aku memilih jurusan yang peluang diterima cukup tinggi, tingkat persaingan rendah, dan juga aku sukai. Tetapi bukan seperti itu yang aku lakukan. Aku terlalu terpancang pada jurusan yang sangat aku sukai namun peringkat persaingannya sangat tinggi dan tidak mengubah pada jurusan yang tetap aku sukai namun peringkat persaingannya cukup rendah. Apalagi kata guruku Bimbingan Konseling (BK) SMA, PMDK UNS terkenal sulit karena peminatnya sangat banyak tetapi kuota yang disedikan bagi para pendaftar hanya sedikit.
Hasil akhirnya, pengumuman PMDK UNS pada tanggal 19 Mei 2008 dan setelah aku SMS dan melihat pada situs UNS, aku tidak diterima. Waktu itu, aku tidak terlalu kecewa karena aku masih mempunyai cadangan, yaitu Ujian Masuk (UM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan Seleksi Mandiri (SM) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang baru akan dilaksanakan.
Lain halnya Ujian Masuk (UM) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di situ aku tidak terlalu ngotot untuk lulus. Ada beberapa hal penyebabnya, diantaranya aku tidak diijinkan secara penuh oleh keluargaku karena lingkungan di sana yang tidak bagus untukku, biaya yang cukup mahal, juga jurusan yang aku pilih tidak terlalu aku suka karena hanya ada jurusan itu. Alhasil, aku tidak belajar dan hanya ingin menambah pengalaman untuk bekal ikut Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) karena aku juga ingin mengikuti itu yang waktunya sekitar tiga bulan sesudah UM UGM itu. Sehari sebelum UM UGM dilaksanakan, aku pergi ke UGM untuk melihat lokasi tempat dudukku waktu ujian keesokan harinya agar pada waktu pagi datang akan ujian tidak bingung mencari tempat duduk yang sudah disediakan lewat nomor tempat duduk dan ruang kelas serta fakultas dan jurusan. Aku juga melihat-lihat Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN SUKA) Yogyakarta, aku diantar oleh kakak iparku, Kak Isnan Rosyid. Setelah melihat denah tempat duduk di UGM, aku ke rumah kakak iparku karena kakakku adalah istrinya. Aku menginap selama satu malam agar jarak berngkat ujian tidak jauh dan lama sehingga tidak menguras banyak energi. Maklum, jarak rumahku ke UGM sekitar satu jam perjalanan motor, sedangkan jarak rumah kakakku ke UGM hanya beberapa menit saja.
Ketika malam, aku tidak berharap banyak karena beberapa hal di atas tadi. Pagi pun tiba dan siap atau tidak siap, harus siap mengahadapi ujian yang sudah di depan mata. Perkiraanklu tidak meleset. Soal-soal ujian UM UGM cukup sulit. Beberapa hari kemudian, kepala SMAku yang sekaligus mantan guru fisika di SMA Negeri I Polanharjojuga menyebut bahwa soal-soal ujian UM UGM tidak selesai dengan hanya lima langkah dan lima menit! Alhasil, aku tidak dapat mengerjakannya walaupun hanya satu langkah saja dan aku pesimis untuk lolos dan lulus ujian.
Pengumuman jatuh pada tanggal 7 Juni 2008. aku pun tidak terima, sesuai dengan prediksi sebelumnya. Ada beberapa hal yang menyebabkan aku tidak diterima. Yang pasti aku tidak bisa mengerjakan soal itu. Tetapi, teman-temanku dan adik sepupuku yang berasal dari blora yang bernama Ratna Kusumasari Purbaningrum (mereka termasuk anak yang pintar), juga tidak diterima di UM UGM itu. Apa yang menyebabkan mereka tidak lolos dan tidak lulus? Terus terang, aku tidak mencari kambing hitam kegagalan karena hal itu sama sekali bukan tindakan yang bijaksana, apalagi aku sendiri tidak bias mengerjakan soal-soal ujian itu. Banyak roang yang menyoroti kegagalan kami itu adalah karena jurusan yang kami pilih memiliki tingkat persaingan yang sangat tinggi. Tetapi, bukan itu yang menjadi sorotan utama. Alasan utama adalah karena kami tidak mengisi uang pembangunan yang sangat banyak, bahkan aku tidak mengisi sama sekali alias nol rupiah. Waktu itu, aku hanya mengisi beasiswa atau nol rupiah karena kategori keluargaku termasuk pada keluarga yang boleh mendapatkan beasiswa jika nantinya aku diterima, sehingga jika nantinya aku diterima di UGM, aku tidak dipungut biaya pembangunan sepeser pun.
Namun, kata orang-orang, itu hanya kedok. Sudah hampir dipastikan bahwa orang yang mengisi beasiswa itu tidak akan diterima di UGM karena mereka tidak memberi uang sama sekali (waktu itu, UGM dikenal sebagai perguruan tinggi negeri yang sangat mahal karena sudah menerapkan sistem Badan Hukum Milik Negara yang sierahi otonomi dan kemandirian dalam mengembangkan perguruan tinggi negeri tersebut sehingga otonomi tersebut menjadi kewenangan perguruan tinggi secara mandiri dan perguruan tinggi negeri tersebut tidal lagi diberi subsidi oleh negara yang menyebabkan mahalnya biaya kuliah di tempat itu).
Di perguruan tinggi negeri yang termasuk dalam Badan Hukum Milik Negara tersebut, ada batas minimal sumbangan untuk setiap jurusan atau program studi. Sehngga, terkesan sangat mahal dan siapa yang tidak mengisi bisa dipastikan tidak diterima dan sebaliknya, siapa yang mengisi dengan sumbangan yang sangat banyak maka bisa menjadi bahan pertimbangan perguruan tinggi negeri tersebut untuk menerima calon mahasiswa tersebut si samping pertimbangan lain semisal nilai dan lulusnya dalam ujian masuk. Waktu itu, bisa dikatakan bahwa uang menjadi raja yang baru dalam dunia pendidikan yang seharusnya yang menjadi raja dalam dunia pendidikan adalah etika, kognisi, kreativitas, dan implementasi pengetahuan.
Waktu itu, sampai terkuak suatu skandal di UGM. Ada seorang calon mahasiswa baru yang akan mengikuti ujian masuk UGM dengan membayar uang sebesar dua ratus juta rupiah (Rp 200.000.000,00). Uang itu adalah uang suap agar diterima di UGM. Selain itu, untuk upah “orang dalam” dalam membantu mulusnya perjalanan mahasiswa baru itu. Untuk kedok, “orang dalam” itu tidak sekedar memberikan kunci jawaban saja, namun memberikan soal dan pelatihan khusus yang dirahasiakan tempat dan waktunya – tentunya hanya mereka yang mengetahui tempat dan waktunya. Secara otomatis, calon mahasiswa UGM yang akan mengikuti ujian masuk itu dipastikan dapat menjawab soal-soal dalam ujian masuk tersebut. Lebih ironis lagi, praktek semacam itu dibantu oleh “orang dalam”! namun, sepandai-pandai tupai melompat, akan jatuh juga. Sekecil apapun dan serapi apapun dalam menyembunyikan keburukan, pasti akan terkuak. Istilah dalam bahasa Jawa adalah “Becik ketitik, Ala Ketara” yang artinya, perbuatan baik dan buruk pasti diketahui orang lain. Skandal tersebut jsutru aku ketahui dari buletin-buletin yang dibuat oleh para mahasiswa UGM sendiri dalam usahanya membersihkan dan mengkritik sistem.
Waktu itu, Badan Hukum Milik Negara tersebut menjadi permasalahan serius, sampai menimbulkan berbagai polemik di kalangan mahasiswa, salah satunya demonstrasi yang disertai dengan kerusuhan yang terjadi di kompleks UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan di berbagai perguruan tinggi lain.
Tetpai, yang sudah berlalu biarlah berlalu, namun tidak berlalu begitu saja tanpa meninggalkan bekas, karena kenangan dan pengalaman harus meninggalkan bekas untuk perbaikan diri. Aku tidak diterima, dan aku tidak begitu kecewa. Aku berkata seperti di atas bukan berarti juga menuduh para mahasiswa UGM bukan orang pandai dan hanya mengandalkan uang semata. Aku hanya berpikir mereka yang diterima di UGM memang sudah menjadi takdir mereka dan sebagai upah atas belajar keras mereka. Jadi, selamat saja untuk mereka.
Ketika aku mencoba di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang dulu bernama Institut Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (IKIP), aku membutuhkan perjuangan yang lebih banyak daripada ketika aku mendaftar UNS dan UGM. Waktu verifikasi pada tanggal 26 Mei 2008 yang bertepatan pada hari Senin, bertempat di Pusat Komunikasi UNY (lokasinya dekat dengan Koperasi Mahasiswa UNY), aku harus antri lama sekali. Aku datang pada pukul 08.00 WIB dan sudah mendapatkan nomor antrian 274. hari itu, antrian dijatah sampai dengan 500 pendaftar. Itu berarti, pendaftar sangat banyak dan harus dilayani meskipun sampai sore atau bahkan malam hari.
Ketika menunggu lama, badanku jadi sakit. Kepalaku terasa pusing dan perutku terasa mual. Tetapi, aku agak beruntung. Aku bertemu dengan temanku SMA dan sebenarnya dia juga tetanggaku bahkan saudaraku, dan dia membawa nomor antrian 240, namun dia lupa tidak membawa salah satu syarat verifikasi Seleksi Mandiri UNY. Sehingga, dia menelepon ayahnya untuk mengambilkannya. Tetapi, mungkin ayahnya sampai di UNY siang atau malah sore hari. Akhirnya, dia menukar nomor antriannya kepada nomor antrianku supaya dia bisa lebih lama menunggu dan antriannya tepat dengan kedatangan ayahnya yang mengambilkan persyaratan verifikasi Seleksi Mandiri tersebut. Jadilah aku bertukar nomor dengannya, aku menjadi nomor 240, sementara dia menjadi nomor 274. Setelah setengah hari menunggu – ketika itu sekitar pukul dua belas lebih sedikit, akhirnya nomor 240 dipanggil dan aku masuk ruangan untuk melakukan verifikasi data Seleksi Mandiri UNY.
Jumat, 30 Mei 2008, siang hari aku ke UNY lagi untuk melihat tempat duduk dan lokasi ujian seleksi mandiri UNY untuk mempermudah keesokan harinya waktu ujian dan agar tidak bingung mencari lokasi tempat duduk ketika ujian tiba. Aku bertempat di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMK N) II Depok yang beralamatkan di Mrican, Caturtunggal, Depok, Sleman. Rencananya, setelah melihat lokasi tempat duduk seleksi mandiri UNY, aku menginap di rumah kakakku yang berada di Bantul sehingga aku tidak perlu berangkat jauh-jauh dari rumahku di Klaten ketika hari ujian tiba, yaitu tanggal 31 Mei 2008, sekaligus menghemat energi yang digunakan. Teapi, rencana mendadak berubah karena aku merasa agak sakit ketika setelah menengok lokasi ujian seleksi mandiri UNY dan akan berangkat ke rumah kakakku. Aku memutuskan untuk pulang saja karena ketika sakit, aku lebih suka di rumah karena merasa nyaman.
Keesokan harinya, Sabtu 31 Mei 2008, aku berangkat seleksi mandiri UNY dengan bekal yang minim (karena malam harinya aku sulit belajar) dan kurang fit (karena hari sebelumnya aku agak sakit). Aku berangkat sekitar pukul 05.00 WIB pagi. Apa boleh buat? Aku hanya mengerjakan soal-soal ujian seleksi mandiri sesuai kemampuanku saja. Meskipun aku yakin bisa, tetapi hasilnya mengecewakan lagi. Lagi-lagi aku gagal dan tidak diterima di UNY. Waktu itu, aku mengambil program studi Pendidikan Matematika di pilihan pertama dan Matematika di pilihan kedua.
Setelah gagal di tiga tempat itu – yaitu UNS, UGM, dan UNY, aku berencana mengikuti Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri atau disingkat dengan SNMPTN, yang dilaksanakan pada tanggal 1 Juli 2008 sampai dengan 2 Juli 2008. aku mengambil di wilayah Surakarta karena dekat dengan rumahku. Sehingga aku mendaftar di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta karena UNS merupakan satu-satunya perguruan tinggi negeri di wilayah Surakarta.
Aku mengambil program studi Pendidikan Matematika UNS untuk pilihan pertama dan program studi Psikologi UNS untuk pilihan kedua. Tetpai, Tuhan belum menghendaki aku berhasil. Pengumuman SNMPTN jatuh pada tanggal 1 Agustus 2008 yang bertepatan dengan hari Jumat, tepat satu hari sebelum hari lahirku yang ke delapan belas.
Aku sangat berharap bisa diterima di UNS itu sehingga dapat mejadi kado spesial di hari lahirku. Tetapi, Tuhan berkehendak lain. Nama dan nomor ujianku tidak tercantum dalam daftar pendaftar SNMPTN yang diterima di perguruan tinggi negeri. Ada satu nama pendaftar yang mirip dengan namaku sehingga teman-temanku mengiraaku diterima di UNS. Aku sangat kecewa dan hampir putus asa karena sudah empat jalan yang aku lewati dan tempuh ternyata gagal semua.
Jalan yang selanjutnya aku tempuh adalah mendaftar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN SUKA) Yogyakarta. Aku terlalu bernafsu dan marah karena terlalu banyak kegagalan yang aku hadapi sehingga aku menembpuh dua jalur ketika mendaftar di UIN SUKA, yaitu jalur Penelusuran Calon Mahasiswa Berprestasi (PCMB) – tanpa ujian dan hanya berdasarkan nilai setiap semester dari semester satu sampai semester enam selama SMA – dan Ujian Tulis (Utul) – dengan ujian yang bermaterikan tes potensi akademik (TPA). Pada PCMB aku mengambil tiga pilihan program studi, yaitu Program Studi Psikologi untuk pilihan pertama, Program Studi Aqidah dan Filsafat untuk pilihan kedua, dan Program Studi Pendidikan Agama Islam untuk pilihan ketiga. Sedangkan untuk jalur Ujian Tulis, aku juga mengambil tiga pilihan program studi, yaitu Program Studi Psikologi untuk pilihan pertama, Program Studi Pendidikan Matematika untuk pilihan kedua, dan Program Studi Teknik Industri untuk pilihan ketiga.
Ketika pendaftaran di UIN SUKA, aku harus menjalani beberapa hambatan, mulai dari persyaratanku yang ditolak karena kurang lengkap, sampai kesulitan menemui Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri I Karanganom untuk menandatangani beberapa surat keterangan sebagai persyaratan pendaftaran UIN SUKA jalur PCMB tersebut.
Ketika aku sudah berada di dalam ruang pendaftaran, aku menyerahkan semua persyaratan, baik jalur UTUL maupun jalur PCMB. Namun, ketika panitia pendaftaran melihat dan mengecek serta meneliti persyaratan PCMB, yaitu pada surat keterangan yang berisi bahwa aku selalu masuk dalam ranking lima besar kelas dari semester pertama sampai semester enam, panitia menanyakan mengapa hanya sampai semester lima saja. Aku terkejut. Lalu, aku berusaha membujuknya agar tetap menerima persyaratanku itu. Aku berkata bahwa nilaiku di semester enam meningkat dari semester lima. Padahal di semester lima, aku mendapatkan ranking lima kelas – yaitu ranking tiga kelas, sehingga rankingku di semester enam pasti meningkat atau minimal tetap ranking tiga kelas karena nilaiku di semester enam meningkat dari semester lima. Namun, panitia pendaftaran tetap tidak bisa menerima alasanku itu. Katanya harus tetap ada keterangannya meskipun faktanya seperti itu. Hal itu membuatku cukup kesal dan kecewa karena sudah jauh-jauh perjalanan dai rumah ke UIN SUKA Yogyakarta namun persyaratanku ditolak mentah-mentah hanya karena kurang sedikit. Hasilnya, hari itu aku gagal mendaftar.
Keesokan harinya, aku pergi ke SMA untuk menemui Bapak Basuki (yang membuatkan surat keterangan tersebut) untuk melengkapi keterangan peringkat kelasku sampai semester enam, dan kemudian meminta tandatangan Bapak Agus Sukamto selaku Kepala Sekolah. Setelah selesai dibuatkan surat keterangan yang baru, aku pergi menemui Bapak Agus Sukamto, namun kata Bapak Basuki, beliau sedang ada keperluan di luar kota selama beberapa hari, dan hari itu baru hari terakhir, jadi beliau baru berkantor keesokan harinya. Aku menjadi sangat frustasi. Aku ingin segera menyelesaikan persyaratan itu namun selalu saja ada hambatan. Aku duduk di teras toko fotokopi langgananku yang lokasinya tepat berada di depan SMA Negeri I Karanganom. Lalu, aku bertemu dengan salah seorang temanku, Yogi Yanuar. Dia menanyakan keperluanku, lalu aku bercerita mengenai hambatanku. Lantas, dia menjawab, minta arsip tandatangan kepala sekolah di tempat fotokopi itu, lalu ditempel di surat keterangan, untuk selanjutnya difotokopi agar tidak terlihat bahwa itu tempelan dan bukan tandatangan asli. Pemilik toko fotokopi itu mendengarnya, lalu juga mengiyakan kata Yogi. Baiklah, agar cepat selesai, aku sedikit melanggar saja meskipun aku sedikit takut. Lalu, aku minta potongan kertas yang bertandatangankan tandatangan bapak Agus Sukamto, lalu aku menempelnya di surat keterangan dan kemudian memfotokopinya. Setelah itu, aku kembali lagi ke SMA untuk meminta surat keteranganku itu distempel. Setelah itu, aku langsung pergi ke UIN SUKA untuk menyerahkan semua persyaratanku yang sudah lengkap. Setelah sampai di UIN SUKA, aku langsung menuju di tempat pendaftaran untuk segera menyerahkan semua persyaratanku untuk Ujian Tulis dan PCMB. Setelah dicek dan diteliti, persyaratanku lengkap, dan aku mengisi data di komputer UIN SUKA. Setelah selesai, data itu disimpan dan kemudian dapat print out kartu ujian. Setelah selesai, aku pulang. Ketika ke UIN SUKA, aku naik bus dari terminal Penggung, Klaten dan turun di terminal Giwangan, Yogyakarta yang kemudian aku dijemput oleh Kak Isnan Rosyid – suami kakakku, untuk diantar ke UIN SUKA.
Ketika memikirkan hambatan-hambatan itu, aku sampai heran, mengapa menjadi serba sangat sulit dan melelahkan? Aku juga marah dan iri hati kepada teman-temanku. Mereka tidak pernah bersusah payah, mereka tidak pandai dan pintar, mereka selalu bersenang-senang, mereka juga tidak beribadah dan berdoa dengan benar dan rajin. Tetapi, mengapa mereka dapat berhasil tanpa suatu kerja keras? Sedangkan aku yang selalu bersusah payah harus menemui jalan buntu dan harus beberapa kali gagal. Waktu itu, pikiranku selalu diisi dan dipenuhi dengan prasangka-prasangka buruk. Tuhan tidak adil, omong kosong yang menyebut kegagalan itu ujian karena mereka belum pernah merasakannya. Faktanya, Tuhan tidak adil. Aku ingin marah dengan Tuhan. Seperti itulah yang aku pikirkan waktu itu.
Aku juga berprasangka bahwa ayahku tidak menginginkan aku berhasil. Itu karena hati ayahku sering sakit dengan sikap dan pendapatku yang sering berbeda dan bertolak belakang dengan beliau. Sampai pada suatu ketika, Ayahku sampai menangis ketika aku membantah perkataannya. Hubungan antara aku dengan beliau sampai renggang dan sempat tidak berkomunikasi.
Pada suatu hari, tanggal 4 Agustus 2008, temanku yang bernama Robiah Uswatun Hasanah memberikan informasi bahwa dirinya sudah diterima di program studi Psikologi UIN SUKA berdasarkan pengumuman Ujian Tulis dan PCMB di Surat Kabar Haian Kedaulatan Rakyat tanggal 4 Agustus 2008. aku bingung, karena yang aku ketahui pengumuman Ujian Tulis dan PCMB UIN SUKA baru diumumkan pada tanggal 8 Agustus 2008, tetapi mengapa tanggal 4 Agustus 2008 sudah diumumkan lewat surat kabar? Setelah mendapatkan informasi itu, aku langsung bergegas mandi pagi dan kemudian pergi ke warung internet (warnet) untuk melihat pengumuman Ujian Tulis dan PCMB UIN SUKA secara online. Dam kejutan pagi bagiku, aku diterima di dua jalur itu, yaitu jalur Ujian Tulis dan PCMB, dan juga di kedua jalur itu aku diterima di Program Studi Psikologi semua. Aku sangat bersyukur waktu itu. Tentu saja aku sangat senang. Setelah sekian banyak gagal, akhirnya aku diterima di perguruan tinggi negeri, yaitu di Psikologi UIN SUKA Yogyakarta. Padahal, aku juga sudah bersiap diri dan mental jika aku nantinya gagal lagi di UIN SUKA dan berencana menunggu tahun depan untuk kembali mencoba mendaftar di perguruan tinggi negeri. Aku tidak menempuh di perguruan tinggi swasta karena factor biaya perguruan tinggi swasta yang umumnya mahal padahal keluargaku termasuk keluarga sederhana.
Tetapi, ada satu pertanyaan yang membuatku sangat penasaran dan ingin aku ketahui. Pertanyaan itu adalah mengapa aku ditempatkan oleh Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa di UIN SUKA Yogyakarta? Apakah karena aku hanya mampu di UIN SUKA Yogyakarta? Atau mungkin karena Tuhan merasa kasihan pada orang tuaku dalam membiayai aku kuliah nantinya – karena waktu itu, UIN SUKA Yogyakarta merupakan perguran tinggi negeri yang paling murah? Atau karena aku akan dihadapkan tantangan yang besar di UIN SUKA Yogyakarta? Atau karena aku akan memulai keberhasilanku di UIN SUKA Yogyakarta? Atau karena jawaban yang lain? Mungkin semua benar, mungkin juga salah, karena itu hasil yang diberikan oleh Tuhan padaku sehingga secara pasti hanya Dia yang mengetahui dan aku baru mengetahuinya setelah aku berada di UIN SUKA Yogyakarta, entah dalam jangka waktu yang dekat, atau dalam jangka waktu yang lama. Waktu itu, belum terjawab secara pasti. Yang pasti, aku mencoba menggunakan “Anger Management”, yaitu menggunakan pengalaman kesalahan dan kemarahan kegagalan untuk belajar lebih baik dan memotivasi diri untuk meraih keberhasilan, khususnya ketika aku kuliah nantinya.

3 komentar:

  1. Kasusnya sama persis kayak aku kak, sekarang aku di psikologi uin suka juga angkatan 2016. Kemarin
    .
    Aku juga frustasi, syarat pendaftaranya emang panjangggggggg banget

    BalasHapus
  2. Kak tahun ini UIN Suka masih ada jalur prestasi tidak ya ?

    BalasHapus
  3. Kak tahun ini UIN Suka masih ada jalur prestasi tidak ya ?

    BalasHapus