Kamis, 26 Agustus 2010

SEPENGGAL KISAH KECIL YANG KETUJUH : Kegagalan dalam Hidup

Kesuksesan dan kegagalan diciptakan secara berpasangan, seperti halnya siang dan malam, hitam dan putih, baik dan buruk, besar dan kecil, panjang dan pendek, laki-laki dan perempuan, suka dan duka. Berbicara tentang kesuksesan, pasti tidak akan meninggalkan kegagalan. Aku belum pernah mendengar cerita orang sukses yang selalu enak dari awal tanpa berusaha dan tanpa gagal. Manusia yang berusaha keras (ikhtiar), Tuhan yang menentukan karena Dia Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Meskipun Tuhan yang menentukan antara berhasil dan gagal, namun manusia tetap wajib berusaha untuk sesuatu yang menjadi tujuannya tersebut. Bila manusia gagal, Tuhan pasti mempunyai tempat dan rencana lain untuk dia karena bagaimana pun juga, Tuhan Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Kesalahan manusia adalah bila mendapatkan kegagalan, dia sering memvonis dirinya bahwa dia bodoh dan tidak berguna. Bahkan, tidak jarang dia para orang yang gagal, mengatakan bahawa Tuhan tidak adil dan tidak sayang pada diri mereka. Selain ituk dia akan putus asa dalam berjuang lebih lagi. Kegagalan itu telah mengurung dirinya sehingga dia hanya bisa diam di dalam tempurung kegagalannya itu, yang gelap dan tak berguna.
Banyak pepatah yang mengatakan tentang kesuksesan. Di antaranya adalah “kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda”. Terus terang, aku hanya mengetahui sedikit maksud dari arti pepatah tersebut. Jadi, maaf kalau pemahamanku berbeda dengan pemahamanmu. Sebelum kesuksesan, manuisa merasakan kegagalan. Ada beberapa alasan.
Pertama, sudah akau sebutkan tadi, bahwa manuisa yang berusaha dan Tuhan yang menentukan. Ada sebuah cerita bagus tentang hal ini. Suatu hari, salah satu sahabat Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam pergi untuk menemui beliau untuk suatu kepentingan dan dia naik unta. Kemudian, Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam menanyakan kepadanya apakah sudah menambatkan dan mengikatkan tali tambatan unta ke pohon atau tiang. Sahabat itu lantas menjawab bahwa dia tidak mengikatkan tali tersebut. Mendengar jawaban seperti itu, Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam kembali bertanya, mengapa dia tidak mengikatkan tali itu padahal tali tersebut penting untuk menjaga unta tidak lari dan diambil orang lain. Sahabat itu menjawab lagi, bahwa dia sudah pasrah jika unta itu lari atau diambil oleh orang lain. Dia menjawab bahwa dia bertawakkal saja pada Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Mengetahui jawaban tersebut, Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam menjelaskan tentang arti pasrah dan tawakkal tersebut. Pasrah bukan berarti tanpa usaha sama sekali. Pasrah bukan berarti hanya berharap pada Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Pasrah bukan berarti tanpa bekerja terlebih dahulu. Pasrah adalah suatu perilaku yang dilakukan sebagai tindak lanjut dari usaha. Manusia berusaha terlebih dahulu dan kemudian pasrah menerima keputusan dari Tuhan. Jadi, pasrah adalah suatu tindakan yang juga disertai usaha sebelum kepasrahan itu dilakukan. Setelah menjelaskan arti kepasrahan yang sebenarnya itu, beliau lantas memerintahkan sahabatnya itu untuk menambatkan unta dan mengikat tali unta tersebut agar tidak hilang dan lari.
Kedua, kesuksesan ditentukan oleh waktu yang tepat dan kesempatan yang cepat. Bila kita menggunakan seluruh kekuatan kita dalam waktu yang tidak tepat, mungkin kita tidak akan mendapatkan kesuksesan yang diharapkan. Sebaliknya, bila kita tidak menggunakan seluruh kemampuan kita untuk berusaha di waktu yang tepat, kesuksesan juga tidak akan bisa diraih.
Ketiga, kegagalan adalah sebuah batu loncatan untuk menuju pada keuksesan. Ketika seseorang gagal, dia kan mengetahui kekurangan dan kekuatan serta kemampuan dia dalam berusaha. Dari titik tersebut dia akan mengevaluasi untuk berusaha lebih keras dalam tahapan berikutnya. Finalnya, kesuksesan akan dapat diraih. Ketika seseorang gagal, sebenarnya dia bisa saja sukses waktu itu, namun karena beberapa kemungkinan, dia gagal, seperti kurang maksimal dalam berusaha, waktunya kurang tepat, atau karena Tuhan belum menghendaki kesuksesan untuk dia.
Salah seorang temanku pernah mengatakan bahwa kesuksesan yang setiap hari datang tidak menjamin kebahahagian juga akan datang setiap hari. Selain itu, temanku yang bernama Robiah Uswatun Hasanah tersebut mengatakan bahwa kegagalan tidak pernah diciptakan oleh sekali tindakan yang sifatnya sekali jadi. Masih ada lagi, pada setiap kemalangan, setaip keadaan yang tidak menyenagkan, setiap kegagalan, dan setiap rasa sakit yang dibawanya adalah benih yang seharga dengan manfaat.
Setiap manusia pernah mengalami kegagalan tersebut. Seperti halnya aku. Mungkin, bagimu hal ini tidak berarti, tetapi bagiku, hal ini sangat berarti dan tak akan pernah terlupakan dan ku lupakan. Aku alami dan aku rasakan ketika aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Selama dua setengah tahun, aku termasuk anak yang cukup konsisten. Semua nilaiku rata, tidak pernah turun drastis. Aku cukup bersyukur meskipun aku tidak pernah mendapatkan gelar juara kelas, apalagi juara umum.
Ketika kelas satu SMP, aku pernah membuat kehebohan. Nilai ujian tengah semesterku pada mata pelajaran pendidikan agama Islam adalah sepuluh (10)! Itu nilai sempurna dan tertinggi! Lebih isitmewa lagi karena hanya aku lah satu-satunya siswa yang mendapatkan nilai tersebut. Tetapi, nilaiku yang istimewa itu tidak bisa membuat peringkat kelasku juga bagus, karena aku hanya menduduki peringkat kelas sembilan dari empat puluh siswa. Namun, sayang sekali karena prestasi nilai istimewa dan sempurna tersebut tidak bisa aku ulangi kembali bahkan sampai aku lulus dari SMP.
Seperti biasanya, aku jarang serius pada ujian tengah semester karena ujian tersebut hanyalah sebatas ajang persiapan sebelum ujian semester dilaksanakan, selain itu jga nilai ujian tengah semester tersebut juga tidak masuk dalam rapor pembelajaran, hanya saja ketika semester, nilai tersebut digabung dan dirata-rata dengan nilai ujian semester.
Lain halnya dengan ujian tengah semester itu,. Ketika ujian semester, aku selalu serius. Semester pertama pada kelas satu SMP, aku mendapatkan peringkat empat dari empat puluh siswa. Setelah sekian lama aku berada pada tiga besar, bahkan menjadi juara kelas ketika Sekolah Dasar, aku tersingkir dari tiga besar ketika pertama kali masuk SMP. Aku tidak terkejut karena di Sekolah Dasar (SD) tingkat persaingannya tidak seketat di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Teman-temanku ketika SMP adlah orang-orang yang pintar karena kebanyakan dari mereka adalah juara ketika mereka SD. Maklum, SMP yang aku sekolah di tempat itu adalah salah satu SMP favorit di Kabupaten Klaten dan merupakan SMP Sekolah Standart Nasional (SSN) pertama di Kabupaten Klaten bersama dengan SMP Negeri II Klaten.
Pada ujian tengah semester dua, aku malah tersingkir dari sepuluh besar dan menduduki peringkat tiga belas dari empat puluh siswa. Namun, ketika ujian semester dua, hasil yang aku dapatkan adalah peringkat empat dari empat puluh siswa. Anehnya, nilaiku setiap mata pelajaran adalah sama persis dengan nilai semester pertama. Ya, nilaiki semester dua kongruen dengan nilaiku semester pertama.
Memasuki kelas dua SMP, aku mengalami penurunan, tetai tidak lah begitu drastis. Semester tiga kelas dua SMP aku mendapatkan peringkat empat dan pada semester empat kelas dua SMP aku memperoleh peringkat lima di kelas. Asal tahu saja, peringkat ujian tengah semester lebih parah, yaitu peringkat tiga belas dari empat puluh siswa selama dua kali ujian tengah semester.
Di kelas tiga SMP, pengalaman berartiku terjadi. Sebelumnya, tentu aku tidak mengetahui bahwa hal itu akan terjadi pada diriku. Di semester lima kelas tiga SMP, aku memperoleh peringkat empat dan nilaiku setiap mata pelajaran meningkat. Sebelumnya, ketika ujian tengah semester, aku mendapatkan hasil peringkat dua. Namun, ketika ujian tengah semester enam kelas tiga SMP, peringkatku turun menjadi peringkat delapan. Terdapat beberapa keanehan di situ, beberapa temanku yang sebelumnya selalu berada di bawahku, ketika semester enam kelas tiga SMP tersebut mendadak menjadi di atas peringkatku. Waktu itu, tentu aku sangat heran, ada pada yang terjadi? Aku juga sempat berprasangka buruk kepada mereka. Selain itu, aku juga mulai khawatir tentang bgagaimana nanti ketika Ujian Akhir Sekolah (UAS) dan Ujian Akhir Nasional (UAN) yang menentukan lulus atau tidaknya seorang siswa sekaligus nilai yang didapat sangat menentukan peluang diterimanya di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri favorit atau tidak. Jika keadaanya seperti itu, aku akan tamat, pikirku. Sejak itu, aku selalu khawatir dan gelisah sehingga membuatku tidak konsentrasi belajar dan hasilnya aku menurun. Sebenarnya, aku sudah berusaha untuk tetap fokus dan konsentrasi namun aku tidak bisa. Semuanya sudah terlanjur menjadi beban.
Mimpi buruku terjadi. UAS tiba dan aku dapat melaluinya. Tetapi, tidak untuk satu hal ini, yaitu UAN. Terus terang, soal-soal UAN tahun itu tergolong pada soal yang standart sehingga siapapun yang mengerjakannya tidak akan kesulitan meskipun dia bukan juara asal belajar. Bodohnya aku, aku tidak bisa mengerjakannya dengan baik. Aku tidak mengetahui penyebab tersebut, tetapi mungkin saja aku terlalu terbebani pikiran kekhawatiranku tersebut. Aku berpikir aku takut kalau nanti nilai sangat buruk dan di bawah standart. Mungkin juga aku memang tidak bisa mengerjakannya karena aku tidak boleh mencari kambing hitam atas kegagalanku.
Beberapa minggu kemudian, pengumuman nilai UAS dan UAN diumumkan. Dan, nilaiku di UAN (Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam – IPA, Ilmu Pengetahuan Sosial – IPS) buruk sekali, hanya sekitar dua puluh lima, atau lebih tepatnya adalah dua puluh lima koma enam puluh tujuh (25,67). Nilai itu sangat buruk karena aku berada pada peringkat seratus dua puluh (120) dari sekitar dua ratus siswa. Keadaan seperti itu tidak seperti biasanya yang biasanya aku selalu berada di atas rata-rata. Dan, ketakutan terjadi. Teman-temanku yang dulu sering di bawah nilaiku, waktu nilai mereka berada jauh di atas nilaiku dan bahwa beberapa dari mereka mendapatkan nilai sempurna di salah satu mata pelajaran. Jika nilaiku buruk, aku tidak bisa masuk di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMA N) favorit yang aku inginkan, yaitu SMA Negeri I Klaten. Kedua kakakku dulu sekolah di sana, karena itu aku ingin mengikuti jejak mereka.
Waktu mengetahui nilaiku sangat jelek, aku sangat bersedih sampai aku menangis dan merasa sakit hati terhadap teman-temanku. Terus terang, aku sangat iri hari dengan mereka. Mengapa mereka yang dulu selalu di bawahku dan sekarang tiba-tiba menjadi peringkat atas jauh di atasku? Aku sempat berprasangka buruk terhadap mereka, maafkan aku. Tetapi, yang tidak bia aku maafkan adalah merka membiarkanku sendirian ketika kau sedih dan menangis. Aku rasa, dulu aku selalu berada di antara mereka, aku membantu mreka di saat ulangan (ulanganku fisika pernah dicoret hanya karena kau ketahuan memberi tahu mereka jawaban dan mereka tidak dicoret padahal nilaiku waktu itu adalah sembilan!), menghibur mereka ketika nilai mereka jelek. Ternyata, itu semua tidak berarti bagi mereka. Dan waktu itu, ketika kau membutuhkan orang dan teman untuk sekdar menghibur, mereka tidak ada dan justru bersenang-senang atas hasil yang mereka raih, entah mereka tidak tahu atau tidak mau tahu. Yang jelas, keadaanku ketika sangat tidak bagus. Aku menangis lama sekali. Namun, ternyata ada dua orang temanku yang mengetahuinya dan merka menghiburku. Mereka adalah Nanik Novida dan Nanik Ismiyati. Ketika itu, aku benar-benar merasa sedih dan sepi dalam hatiku.
Selain itu, aku menjadi pesimis untuk dapat masuk dan diterima di SMA Negeri I Klaten karena nilaiku UAN jelek sekali. Berbeda ketika aku masuk SMP dulu yang tidak hanya berdasrkan nilai UAN tetapi juga berdasarkan nilai ujian masuk dan prestasi lomba, sehingga ketika aku masuk SMP Negeri I Delanggu, meskipun nilaiku UAN waktu SD jelek, aku masih dapat diterima di peringkat dua puluh satu dari sekitar empat ratus pendaftar.
Ya, aku berpikir sangat pesimis tetapi aku tetap mencoba mendaftarkan diriku ke SMA Negeri I Klaten untuk menuruti keinginan ibuku. Jurnal hari pertama, aku masih masuk dalam daftar siswa yang diterima, tetapi pada hari kedua, aku tergeser oleh pendaftar lain yang nilainya lebih baik dariku. Hasilnya, aku tidak diterima di SMA tersebut.
Usahaku sia-sia. Kemudian, aku mencoba untuk mendaftar di SMA Negeri I Karanganom yang juga masih cukup bagus dan konsisten dalam segala prestasi. Alhamdulillaah, aku diterima meskipun peringkatku diterima tergolong peringkat akhir. Sebenarnya, aku sangat kecewa dengan keadaan-keadaan seperti itu. Tetapi, Tuhan mempunyai rencana lain untukku di tempat lain. Di SMA Negeri I Karanganom, aku mendapatkan banyak hal. Beberapa di antaranya adalah aku menjadi pasukan empat lima (45) pada pasukan pembawa bendera tanah air (paskibrata) angkatan tahun 2005 pada Upacara Kemerdekaan republik Indonesia yang ke Enam Puluh (60), menjadi Pradana II Dewan Ambalan Diponegoro perode 2006 – 2007, menjabat sebagai Ketua Bidang Kajian dan Syiar Islam (salah satu bidang di SKI) periode 2006 – 2007, dan selalu konsisten dengan nilai pelajaran. Meskipun semua itu hal yang kecil, tetapi aku cukup senang sebagai pengobat lara dan kecewa. Mungkin itu semua, tidak akan bisa ku raih andai aku diterima di SMA Negeri I Klaten.
Selain itu semua, aku bertemu dengan seseorang yang bernama Robiah Uswatun Hasanah, yang selanjutnya aku cintai dan aku belum pernah mencintai seseorang seperti aku mencintai dia. Aku belum pernah bertemu dengan seorang wanita seindah dan seanggun dia. Tuhan punya rencana lain untukku dan itu aku dapatkan setelah aku gagal diterima di SMA Negeri I Klaten dan setelah aku diterima di SMA Negeri I Karanganom.
Kegagalan memang menyakitkan, menyedihkan, dan mengecewakan. Terlebih lagi bagi seseorang yang belum pernah merasakan kegagalan itu. Aku pernah mengalami hal yang aneh, yaitu terbayang oleh kegagalan masa lalu. Sebenarnya, kegagalan masa lalu dapat dijadikan motivasi untuk menjadi lebih semangat dalam meraih kesuksesan dan keberhasilan serta sarana evaluasi diri. Tetapi, yang aku alami justru aku semakin takut dengan kegagalan itu, bagaimana jika nanti aku gagal lagi? Dan, ketika aku melihat kegagalan itu, aku seolah-olah tertarik ke masa kegagalan itu sehingga membuatku pesimis untuk meraih sukses dan juga takut akan kegagalan yang mungkin terjadi.
Dan, ada lagi satu virus yang membahayakan lagi dari kegagalan itu, yaitu virus menyalahkan pihak lain, entah pihak hidup seperti orang lain atau pihak mati seperti soal yang sulit, medan yang sulit, waktu yang tidak tepat, dan sebagainya. Mayoritas orang mencari kambing hitam atas kegagalan tersebut, dan akhirnya mereka hanya berkutat pada kegagalan tersebut, bukan malah maju berusaha lebih baik lagi. Selain itu, ada juga orang yang berandai-andai tentang masa lalunya. Seperti halnya, “Andaikan aku sedikit serius, aku pasti tidak akan gagal.” Semacam itu. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur, gagal sudah terjadi. Orang mengatakan itu biasanya sambil merasakan kekecewaannya karena itu adalah luapan kekecewaan dia. Seharusnya orang gagal harus segera berbenah, evaluasi, dan menyiapkan strategi baru untuk kembali bertarung demi keberhasilan dan cita-cita yang mulia.
Ada satu hal lagi tentang pengalaman kegagalanku itu. Bersekolah di SMA Negeri I Klaten adalah cita-citaku sejak aku masih kecil karena aku ingin meniru jejak kedua kakakku. Tetapi, ketika itu aku belum mengerti dan memahami sulitnya jalan yang dilewatunya. Dan, ketika kau gagal, aku sangat kecewa. Ketika, ada sebuah lagu yang berjudul “Boulevard of Broken Dreams” yang diciptakan dan dinyanyikan oleh sebuah band punk rock asal Kanada, yaitu Green Day. Mereka adalah band favoritku dan secara kebetulan lagu mereka itu seperti menggambarkan pengalaman gagal tersebut. Aku sendirian dan kesepian ketika aku butuh orang sebagai teman penghibur, yang hanya ada adalah bayanganku yang berjalan dengan kegagalanku, sambil berharap ada seorang penolong untukku.
Kegagalan bukan akhir dunia. Masih ada kesempatan lain dan akan ada kesempatan lain untuk terus berusaha lebih baik. Karena ada berbagai cara Tuhan memberikan dan menentukan. Pertama, Dia mengabulkan permintaan hamba-Nya dengan segera. Kedua, Dia mengabulkan permintaan hamba-Nya dengan ditukar sesuatu yang berbeda dari yang diminta oleh hamba-Nya. Ketiga, Dia mengabulkan permintaan hamba-Nya dengan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya. Keempat, Dia mengabulkan doa hamba-Nya dengan menunda pemberiannya kelak di akhirat dengan sesuatu yang dikehendaki oleh Tuhan sendiri.

Sabtu, 21 Agustus 2010

SEPENGGAL KISAH KECIL YANG KEENAM : Untuk Apa Khilafiyyah?

Seperti yang ku katakan di depan, ada penyebab lain aku ingin keluar dari SKI yang membuatku semakin tidak nyaman berada di SKI selain karena kau tidak bias bekerja sama dengan orang-orang Ski dan tidak suka cara kerja Pamulak. Hal itu membuatku merasa kesepian di organisasi itu dan itu terasa sangat berat untuk dijalani.
Penyebab lain tiu datang dari para Pembina SKI, di antaranya Bapak Rosyid Ridlo, S.Ag., Bapak Yulianto, S.Ag., Bapak Aris Yunanto, S.Pd. Sebelumnya aku berpikir bahwa mereka adalah Pembina yang cukup baik toleran, moderat, dan bijak dalam memandang persoalan keagamaan, termasuk persoalan perbedaan (khilafiyyah). Tetapi, pandanganku tersebut berubah dalam sekejap.
Dimulai ketika pada suatu hari, SKI mengadakan kajian rutin dan ketika itu membahas mengenai persoalan keagamaan yang mengandung perbedaan (khilafiyyah) antar golongan atau madzhab. Sebelumnya, aku ingin mengatakan sesuatu terlebih dahulu. Suatu perbedaan bukan untuk diperdebatkan dan dicari kebenarannya karena masing-masing pihak tentu mempunyai argumentasi dan dalil yang diyakini cukup kuat dan benar. Sering terjadi banyak pihak yang mengatakan bahwa pendapat pihak lain tidak salah, tetapi hanya kurang benar dan yang lebih benar adalah argumentasi dan dalil miliknya. Bagiku, itu sama saja dengan menyalahkan, hanya saja dengan perkataan yang lembut dan tidak vulgar. Perbedaan untuk dipelajari dan dihormati. Khususnya adalah dalam suatu agama Islam, yang secara jelas menyatakan bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Tetapi, ada sebuah catatan penting juga. Yang terpenting adalah tidak melanggar tiga hal, yaitu Al Quran, Sunnah atau Hadits Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam, dan Ijtihad (pendapat ahli hukum Islam). Dan, untuk saat ini, menganut salah satu madzhab dari empat madzhab yang ada (Madzhab Hanafiyyah, Madzhab Malikiyyah, Madzhab Syafi’iyyah, Madzhab Hanbaliyyah) adalah wajib, boleh dikatakan begitu karena jaman sekarang sudah sangat jauh dan berbeda dengan jaman Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam hidup sehingga memerlukan perantara untuk memahami Al Quran dan Hadits atau Sunnah Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam. Dasar dari kewajiban tersebut diambil dari sebuah kitab yang berjudul Al Mizan asy Sya’roni fatawi kubra dan Nihayatussul. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa untuk masa sekarang, wajib mengikuti salah satu madzhab dari empat madzhab yang ada, yaitu:
1. Madzhab Hanafi : adalah madzhab yang imamnya adalah Imam Abu Hanifah an Nu’man ibn Tsabit yang lahir di Kufah (Baghdad) pada tahun 80 HIjriyyah dan wafat pada tahun 150 Hijriyyah.
2. Madzhab Malik : adalah madzhab yang imamnya Imam Malik ibn Anas ibn Malik yang lahir di Madinah pada tahun 90 Hijriyyah dan wafat apda tahun 179 Hijriyyah.
3. Madzhab Syafi’i : adalah madzhab yang imamnya Imam Abu Abdullah Muhammad ibn Idris asy Syafi’i yang lahir di Gaza (Palestina) pada tahun 150 Hijriyyah dan wafat pada tahun 204 Hijriyyah.
4. Madzhab Hanbali : adalah madzhab yang imamnya Imam Ahmad ibn Hanbal yang lahir di Marwaz (Mekkah) pada tahun 164 Hijriyyah dan wafat pada tahun 241 Hijriyyah.
Kembali ke permasalahanku. Para Pembina itu mengaku bahwa mereka seratus persen ibadahnya meniru dan persisi dengan Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam, tidak menambahi maupun mengurangi ibadah. Mereka hanya mengandalkan Al Quran dan Hadits atau Sunnah Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam padahal permasalahan ibadah jaman sekarang sangat kompleks. Sehingga diperlukan metode untuk memahami kedua sumber hukum Islam tersebut, yaitu dengan ijtihad (dua yang disepakati yaitu ijma’ – kesepakatan para ‘ulama, dan qiyas – menentukan hukum berdasarkan kesamaan ‘illat atau sifat. Serta yang lainnya yang masih diperdebatkan para ahli ijtihad, seperti mashlahah wal mursalah – kemashlahatan yang tidak dilakukan pada jaman Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam, madzhab shahabi – madzhab para shahabat, istihsan – berpalingnya hukum dari qiyas jelas kepada qiyas samar, istishab – penetapan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut), ‘urf – kebiasaan orang-orang Madinah yang dianggap baik). Tetapi, mereka tidak mengakui hukum-hukum Islam yang dihasilkan dari istinbath dan ijtihad tersebut. Padahal ibadah dan persoalan agama jaman sekarang semakin kompleks sehingga diperlukan metode ijtihad tersebut untuk menggali hukum-hukum Islam yang tersirat dan tersembunyi serta yang belum digali. Jika tidak memakai metode tersebut, maka bisa dipastikan pandangan dan pendapat orang tersebut akan picik dan sangat sempit dalam menyikapi persoalan dan perbedaan.
Mereka juga mengaku bahwa mereka tidak bermadzhab karena mereka menganggap sikap bermadzhab itu bukanlah sikap yang benar. Sikap yang benar adalah sikap meniru Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam atau ittiba’ Niba Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam. Perlu diketahui bahwa sikap bermadzhab bukan berarti sikap mengesampingkan Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam dan mendahulukan para Imam Madzhab. Sikap bermadzhab juga bukan berarti sikap taqlid buta tanpa tahu apa-apa tentang Islam. Justru sikap bermadzhab adalah sikap yang bijaksana karena para Imam Madzhab merupakan mediator (perantara) untuk memahami semua tentang Al Quran dan Hadits karena mereka yang mencapai taraf Mujtahid Muthlaq (Mujtahid Individu) sedangkan taraf mujtahid sangat sulit untuk digapai, apa lagi untuk jaman sekarang. Dari titik tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap bermadzhab merupakan suatu sikap kehati-hatian dalam memahami Islam karena orang yang tidak mencapai taraf mujtahid tersebut mengetahui bahwa dirinya tidak mampu menafsirkan Al Quran dan Hadits dengan benar sehingga mereka mengikuti pedoman madzhab para Imam Madzhab.
Contoh dari semua yang ku katakan tentang para Pembina SKI yang terhormat adalah sebaai berikut. Suatu ketika mereka menyinggung perasaanku sewaktu mereka mengatakan amalan yang ku lakukan merupakan bid’ah dlalalah (bid’ah adalah amalan yang arbu yang belum dilakukan oleh Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam) yang sesat dan tidak akan diterima di sisi Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa bahkan akan masuk neraka. Mereka beralasan bahwa amalan yang aku lakukan tidak berdasarkan dalil Al Quran dan Hadits serta tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam. Mereka memakai hadits shahih yang intinya Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda bahwa amalan baru dalam agama akan tertolak dan sesat serta masuk neraka (potongan matannya adalah kullu bid’atun dlalalah).
Selanjutnya, aku berusaha mengkaji mebih dalam komprehensif, kontekstual, menyeluruh dengan diajari oleh Ayahku. Aku membaca beberapa buku Ayahku seperti buku 40 Masalah Agama karangan K.H. Siradjuddin Abbas, Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, dan sebagainya.
Dalam buku 40 Masalah Agama tersebut dijelaskan bahwa hadits yang diajukan dalil menentang amalan yang ku lakukan adalah benar dan shahih. Tetapi, masih harus dikaji secara menyeluruh, bukan sepotong dan tekstual. Setelah dikaji lebih lanjut, ternyata Imam Syafi’i membagi bid’ah itu menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah (sesuatu amalan baru dalam agama yang tidak melenceng dari Al Quran dan Hadits) dan bid’ah dlalalah (bid’ah yang melenceng dari Al Quran dan Hadits). Bahkan, lebih lanjut, Imam Jalaluddin al Suyuthi (penulis kitab Tafsir Jalalayn) membagi bid’ah menjadi lima macam sesuai dengan hukum fiqih karena bid’ah termasuk pada bidang fiqh sehingga menentukan bid’ah juga harus sesuai dengan hukum fiqh. Yaitu bid’ah wajib (membukukan Al Quran oleh Abu Bakar ash Shiddiq dan Hadits oleh ‘Utsman ibn ‘Affan, memberikan harakat dan menyamakan dialek Al Quran oleh ‘Utsman ibn ‘Affan, membuat ilmu Nahwu dan Sharraf oleh ‘Ali ibn Abi Thalib), bid’ah sunnah (berkhutbah dengan bahasa daerah setempat agar mudah dipahami kecuali rukun-rukun khutbah yang harus tetap bahasa Arab), bid’ah mubah (bersalaman setelah shalat), bid’ah makruh (membuat dekorasi pada masjid), dan bid’ah haram (menambah jumlah raka’at shalat, shalat dengan bahasa selain bahasa Arab).
Selain itu, kata “kullu” yang berarti “setiap” pada hadits “kullu bid’atun dlalalah” bukan berarti semua amalan yang baru dalam agama. Kata “setiap” atau “kullu” tersebut harus digali lagi maksud yang dikehendaki oleh Rasulullah Sayyidina Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam. Kata “kullu” atau “setiap” tersebut tidak bermaksud semua amalan baru dalam agama adalah sesat. Kata tersebut mengandung perkecualian. Seperti firman Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam Al Quran bahwa Dia berfirman “semua yang hidup tercipta dari air” (wa ja’alnaa minal maai kulla syay’in hayyin – Q.S. Al Anbiyaa’ : 30). Setelah dikaji faktanya, tidak semua barang hidup tercipta dari air karena seperti firman Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa bahwa manusia tercipta dari tanah (Q.S. Al Rahmaan : 15) dan jin tercipta dari api (Q.S. Al Kahfi : 79). Sehingga kata “kullu” tersebut berarti setiap bid’ah itu dlalalah (kecuali yang sesuai dengan Al Quran dan Hadits). Seperti itulah.
Para Pembina SKI itu mengatakan beberapa yang ku lakukan adalah haram karena termasuk pada bid’ah dlalalah, seperti memakai sayyidina di depan nama Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam, peringatan tujuh hari, tahlilan, doa qunut, tarawih dua puluh raka’at dengan witir tiga raka’at, dan permasalahan lainnya. Setelah membaca buku 40 Masalah Agama karya Kyai Haji Siradjuddin Abbas dan Fiqh Tradisionalis karya Kyai Haji Muhyiddin Abdushshomad, aku telah mengetahui secara luas.
Mengenai menggunakan kata ”sayyidina” yang berarti penghulu sebelum nama Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam sebenarnya itu justru berhukum sunnah. Mereka yang anti pada hal ini menyanggah dengan suatu hadits yang berbunyi “sayyidu allaahu tabaraka wa ta’alaa” yang artinya penghulu itu hanya Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Dari situ, tahulah bahwa mereka hanya mengartikan secara tekstual. Dalam bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Arab, terdapat dua makna, yaitu makna konotasi (yang tidak sebenarnya) dan makna denotasi (yang sebenarnya). Nah, penggunaan kata “sayyidina” dalam nama Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam berarti penghulu dalam makna konotasi, yaitu bukan sebenarnya yang bukan seperti hadits penghulu untuk Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Penghulu dalam nama Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam berarti yang terbaik di antara yang terbaik, bukan berarti Gusti dalam tingkatan sejajar dengan Tuhan Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Jadi, penggunaan kata “sayyidina” yang berarti penghulu kita dalam nama Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam bukan merupakan suatu kesyirikan, justru merupakan suatu kehormatan yang sangat besar kepada Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam yang merupakan manusia terbaik dan kekasih Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Golongan yang dituduhkan mereka berbuat syirik dan haram serta tersesat dalam menggunakan kata “sayyidina” bukan merupakan golongan yang bodoh dan buta dengan menyamakan kedudukan Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dan Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam. Mereka tahu bahwa tindakan tersebut dilarang sehingga mustahil jika perbuatan tersebut dilakukan. Selain itu, dengan para guru, para pejabat, dan orang penting lainnya saja kita sering menggunakan kata “yang terhormat” dan sangat menghormati dengan julukan bagus, apalagi dengan Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam yang seharusnya lebih kita hormati daripada mereka, karena sebenarnya beliau lah yang merupakan “yang terhormat”. Di sisi lain, beliau juga menggunakan “sayyid” yang berarti mulia untuk kata benda lainnya, seperti hari Jumat yang beliau sebut dengan “sayyid al ayyaam” yang berarti hari yang mulia.
Selain itu, dalam hadits lain, Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam memberikan contoh shalawat dengan tidak memakai kata “sayyidina”. Hal ini bukan merupakan larangan untuk menggunakan kata “sayyidina”, namun hal ini merupakan suatu bentuk kerendahan hati beliau sebagai orang yang berakhlak paling mulia. Jika pun hal ini merupakan suatu larangan, atau perintah untuk tidak ber”sayyidina”, maka yang didahulukan adalah adab sopan santun untuk menghormati beliau daripada larangan atau perintah untuk tidak ber”sayyidina”. Seperti pada suatu cerita, suatu ketika Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam hampir terlambat datang dalam shalat jama’ah. Ketika itu kemudian shahabat Abu Bakar ash Shiddiq Radliyallaahu ‘Anhu ditunjuk menjadi imam. Sebelum beliau takbiratul ihram, para ma’mum memberikan isyarat bahwa Rasulullaah Sayyidina Muhammad Shallallaahu “Alayhi wa Sallam datang. Namun, Rasulullaah mempersilakan dan memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam. Tetapi, Abu Bakar tidak bersedia dengan alasan adab sopan santun , tidak pantas seorang yang bukan Nabi menjadi imam di hadapan Nabi yang sangat mulia. Akhirnya, Rasulullaah menjadi imam dan beliau tidak memarahi Abu Bakar.
Ada kelompok lain yang memakai hadits yang berbunyi Rasulullaah Muhammad Shallallaahhu ‘Alayhi wa Sallam bersabda “laa tusayyiduunii fish shalaat” yang berarti jangan ber”sayyidina” untukku di dalam shalat. Hal ini jelas merupakan suatu larangan. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah itu benar hadits? Dalam kaidah tata bahasa atau ilmu Sharaf, kata “sayyid” berasal dari kata “sayuudatun” kemudian huruf wawu (yang menjadi mad thabi’i dari huruf “yu”) diganti menjadi huruf ya’ menjadi sayyiidatun, yang setelah itu diidghamkan menjadi “sayyidatun”. Sehingga, jika menjadi larangan, bukan “laa tusayyiduunii”, namun “laa tusawwiduunii”. Dari hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa jika ini memang benar hadits, maka termasuk hadits maudlu (menyesatkan) dan datangnya bukan dari Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam karena mustahil beliau salah berucap karena beliau sendiri orang Arab asli. Finalnya, hadits tersebut haram digunakan sebagai hujjah (alasan).
Dasar atau dalil kelompok yang menggunakan “sayyidina” sebelum nama Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam adalah hadits riwayat Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim halaman 4223 yang berbunyi dalam bahasa Indonesia: Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radliyalloohu ‘Anhu ia berkata, Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda, “Saya Penghulu (sayyid) anak Adam (manusia) pada hari kiamat, orang yang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafa’at, dan orang yang pertama kali yang diberikan hak memberikan syafa’at.” dan hadits riwayat Ibnu ‘Abbas. Sehingga, hal ini bukan termasuk bid’ah yang sesat dan menyesatkan.
Mengenai peringatan tujuh hari meninggalnya seseorang dan tahlilan, mereka yang kontra dengan hal ini mengatakan bahwa peringatan tersebut tidak ada pada Islam dan Masa Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam serta hanya kepunyaan Hindu dan Buddha. Dan jika hal ini dilakukan, berari sama halnya dengan melakukan ibadahnya orang Hindu dan Buddha. Serta mereka menyanggah mengapa hanya hari itu saja mendoakan mayyit, tidak setiap hari? Hal tersebut bisa dikaji lebih kontekstual dan menyeluruh.
Peringatan tersebut bukan dari Hindu dan Buddha, bahkan sebelum mereka masuk ke Indonesia, peringatan tersebut sudah ada. Namun, setelah Islam masuk ke Indonesia, peringatan tersebut tidak dihilangkan karena Islam bersifat moderat dan akomodatif yang dibawa oleh para wali sanga (sembilan wali) – sunan kalijaga, sunan ampel, sunan giri, sunan bonang, sunan drajat, sunan muria, sunan gunung jati, sunan gresik, sunan kudus. Meskipun tidak sesuai dengan ajaran Islam, mereka tidak serta merta menghilangkannya. Mereka tetap melestarikan peringatan tersebut, hanya saja esensi acaranya diubah sehingga tidak mengandung kesyirikan lagi (tidak menyekutukan Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa), yang dari sebelum diubah, para penduduk Jawa meminta kepada roh, namun wali sanga kemudian mengubah dengan doa kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa supaya orang yang meninggal diberi kelapangan kubur, nikmat kubur, diampuni dosanya, dan diterima amal ibadahnya, dengan bacaan-bacaan Al Quran yang dikirimkannya khusus untuk dia.
Selain itu, mengadakan peringatan tujuh hari dengan membaca tahlilan dan menyedekahkan makanan adalan sunnah, sesuai hadits dari ‘Amr ibn ‘Abbasah ia berkata, saya mendatangi Rasulullah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam kemudian saya bertanya, “Ya Rasulullah, apakah Islam itu?” Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (Musnad Ahmad 18617). Selain itu, dalam Shahih Muslim (1674) ada hadits dari Abu Dzar Radliyallaahu ‘Anhu, ada beberapa sahabat berkata kepada Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam, ”Ya Rasulullaah, orang-orang yang kaya (beruntung) mendapatkan banyak pahala. Padahal mereka shalat seperti kami shalat. Mereka berpuasa seperti kami puasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Nabi Muahmmad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam menjawab, ”Bukankah Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan? Sesungguhnya setiap satu tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah.” Pahala sedekah bacaan Al Quran yang berupa tahlilan tersebut sampai dan bermanfaat pada mayyit dengan diniatkan untuk mayyit.
Demikian pula menyedekahkan pahala harta untuk mayyit (orang yang sudah meninggal), hal itu sunnah dan pahalanya sampai pada mayyit tersebut, sesuai hadits dalam Sunan Tirmidzi (605) dari Ibn ‘Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam, “Wahai Rasulullaah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya?” Rasulullah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam menjawab, ”Iya.” Laki-laki itu berkata, ”Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa akan mensedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” Jika pahala sedekah tersebut tidak sampai dan tidak berguna di sisi mayyit, niscaya Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam akan melarang sahabat yang bersedekah sebidang kebun untuk ibunya yang telah meninggal tersebut. Pahala sedekah tersebut akan sampai jiika diniatkan untuk mayyit dan dengan membaca doa.
Terlebih lagi jika menyedekahkan dalam waktu tujuh hari kematian, hal tersebut sangat dianjurkan untuk meringankan siksa kubur, sesuai yang dikutip oleh Iamm Suyuthi dalam al Hawi li al Fatawi juz dua halaman 178, berkata Imam Ahmad ibn Hanbal, Hasyim ibn al Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, al Syaja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, Imam Thawus berkata, ”Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka. Maka kemudian kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari.”
Sebenarnya tidak hanya hari tertentu orang-orang tersebut mendoakan mayyit, seperti yang dituduhkan para Pembina SKI yang terhormat. Mereka mendoakan mayyit setiap hari, hanya saja pada hari tertentu mengundang orang-orang dan teteangga untuk mendoakan secara bersama-sama sekalian mengadakan sedekah yang pahalanya ditujukan untuk mayyit dan sedekah tersebut diambil dari harta mayyit, bukan dari harta orang lain. Jadi, bukanlah hal yang mubadzdzir dan percuma.
Mengenai membaca doa qunut dalam shalat shubuh, juga merupakan sunnah Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam, bukan termasuk bid’ah dlalalah yang sesat dan menyesatkan. Mereka yang kontra berpendapat bahwa qunut yang ada hanyalah qunut nazilah, yaitu ketika ada musibah, jadi jika tidak ada, maka tidak qunut. Ini memang benar, tetapi, selain qunut nazilah, ada juga qunut shubuh (dilakukan ketika raka’at kedua sebelum I’tidal) dan qunut witir (yang dilakukan ketika raka’at ketiga witir setelah malam kelima belas Ramadlan sampai malam Ramadlan berakhir). Hal ini sesuai hadits Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam dalam Musnad Ahmad ibn Manbal (12196) diriwayatkan dari Anas ibn Malik Radliyaalloohu ‘Anhu, beliau berkata, “Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam senantiasa membaca qunut ketika shalat shubuh sehinga beliau wafat.” Dari sini Imam Syafi’i menilai doa qunut shubuh berhukum sunnah ab’adl, yang jika lupa dilaksanakan, maka harus sujud sahwi (sujud karena lupa atau ragu-ragu menjalankan rukun atau tidak, yang dilakukan sesudah tasyahud akhir dan sebelum salam). Sementara redaksi doa qunut yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam adalah sesuai yang diriwayatkan oleh Sayyidina Hasan ibn ‘Ali ibn Abu Thalib dan diriwayatkan oleh Al Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah, dan lainnya.
Mengenai shalat tarawih dua puluh raka’at, juga perlu dikaji lebih dalam karena mengingat tidak adanya riwayat yang secara eksplisit mengatakan Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam tarawih sebanyak delapan raka’at dan tiga ra’at witir atau dua puluh raka’at tarawih dan tiga raka’at witir. Redaksi hadits yang ada hanya lah berbunyi seperti ini, dari Sayyidatuna ‘Aisyah Radliyalloohu ‘Anha berkata, “ Rasulullah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam tidak pernah shalat menambah shalat malam pada bulan Ramadlan atau bulan lain melebihi sebelas raka’at.” Hadits ini yang dijadikan kelompok yang kontra terhadap tarawih dengan dua puluh raka’at. Hal ini perlu dipahami, shalat yang dijelaskan oleh istri beliau tersebut dilaksanakan beliau ketika bulan Ramadlan maupun tidak, sehingga esensi shalat atau jenis shalat tersebut selalu sama baik di waktu maupun di luar waktu Ramadlan, sehingga shalat tersebut mungkin adalah shalat witir, karena bilangan yang disebutkan adalah ganjil, dan shalat yang bilangannya ganjil hanyalah shalat witir.
Sementara dasar shalat tarawih dua puluh raka’at dan tiga raka’at witir adalah kata Imam Malik ibn Anas dalam kitab Al Muwaththa’-nya, dari Yazid ibn Khusaifah, “Orang-orang (kaum muslimin) pada masa ‘Umar melakukan shalat tarawih di bulan Ramadlan dua puluh tiga raka’at.” Imam Malik ibn Anas memakai amalan ibadah penduduk Madinah sebagai hujjah karena di Madinah terhindar kesalahan, karena di Madinah Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam hidup selama dua puluh tahun, sehingga amalan yang dilakukannya tentu tidak akan berbeda dengan amalan Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam. Selain itu, menurut kesaksian Imam Syafi’i, penduduk Mekkah juga melaksanakan tarawih sebanyak dua puluh raka’at dan ditambah dengan tiga raka’at witir. Jika, amalan orang Madinah saja dianggap benar, maka apalagi amalan ‘Umar ibn Khaththab Radliyalloohu ‘Anhu yang merupakan orang terdekat kedua dengan Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam serta dijamin masuk surga sekaligus khalifah kedua setelah wafatnya Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam. Jadi, mustahil jika amalan yang dilakukannya berbeda dengan Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam dan dibuat-buat karena seperti hadits yang diambil dari Sunan Abu Dawud (2537), dari Abu Dzar ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa meletakkan kebenaran pada lisan ‘Umar terhadap apa yang dia katakan.”
Semuanya itu aku pelajari dari buku-buku Ayahku, seperti 40 Masalah Agama karya Kyai Haji Siradjuddin Abbas, Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, dan Fiqh Tradisionalis karya Kyai Haji Muhyiddin Abdushshomad.
Itulah sekian banyak permasalahan yang dituduhkan pada para Pembina SKI yang terhormat dan sebenarnya masih banyak lagi permasalahan yang mereka salahkan namun aku dapat menemukan jawaban untuk mematahkannya. Dalam permasalahan perbedaan (khilafiyyah) tersebut dituntut kedewasaan, kebijakan, keluasan berpikir, bukan sikap menghakimi. Aku sangat kecewa, ketika aku masih bersama mereka, aku belum cukup mampu untuk membela madzhabku, namun ketika aku sudah mempunyai kemampuan yang cukup untuk membela madzhabku, aku sudah lulus dan tidak lagi bersama mereka.
Bagiku, diterima atau ditolaknya amal ibadah seseorang tidak dilihat dari bentuknya yang belum atau pernah dilakukan pada Masa Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam dan oleh beliau sendiri, namun lebih kepada hak prerogative Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa sebagai satu-satunya tujuan ibadah, dengan catatan, ibadah yang dilakukan masih dalam garis Al Quran dan Hadits.
Aku heran, banyak orang-orang yang ahli agama “kemarin sore” sudah berani mengkafirkan dan mengeklaim sesat serta salah para pengikut imam madzhab yang sudah sangat ahli dan diakui kapasitasnya oleh kaum muslimin sedunia. Hal ini sangat jauh tidak seimbang. Aku sangat yakin dengan semua ibadah yang aku lakukan mempunyai dasar yang sangat kuat dan luas, sehingga tidak berhak orang lain mengeklaim sesat dan haram. Sebelum mengeklaim, alangkah baiknya bercermin apakah mereka sudah mencapai kapasitas orang yang ahli.
Dulu, aku juga pernah berdebat dengan kakak kelas yang jaraknya dua tahun di atasku, waktu tiu, aku sedang duduk di kelas X SMA dan dia sudah mencapai kelas XII SMA. Bahkan, tidak main-main, dia adalah ketua umum SKI periode 2005 – 2006 Masehi! Namanya adalah Kak Arif Setyawan. Dia cenderung menyalahkan sikap Imam al Ghazali yang mernciptakan tiga belas nama sifat Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa, yaitu wujud (ada), qidam (terdahulu), baqa’ (kekal), mukhalafatul lil hawadits (berbeda dengan makhluk), qiyamuhu bi nafsihi (berdiri sendiri atua tidak tergantung), wahdaniyyat (esa), qudrah (berkuasa), iradah ( berkehendak), ‘ilmun (maha mengetahui), hayyat (maha hidup), sama’ (maha melihat), basher (maha mendengar), kalam (berfirman). Kak Arif mengatakan mengapa menciptakan nama-nama tersebut padahal sudah ada asma’ul husna (nama yang baik untuk Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa yang berjumlah sembilan puluh sembilan).
Kedua hal tersebut memang mirip, namun terdapat perbedaan di antara keduanya. Meskipun begitu, nama-nama sifat Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa yang diciptakan oleh Imam al Ghazali seperti suatu rangkuman dari asma’ul husna dan juga tidak mengotori sifat suci dan besar Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Sehingga, tidak ada masalah. Apalagi beliau adalah seorang ahli tasawuf dan ahli teologi atau ilmu tauhid (ilmu tentang keEsaan Tuhan dan semua rukun Iman) atau ilmu kalam. Di satu sisi, Kak Arif hanyalah seorang siswa SMA tingkat akhir waktu itu.
Terus terang, waktu itu sempat menganggap buruk tentang agamaku dan hidupku, mengapa harus terjadi perbedaan seperti itu. Tetapi, perlahan aku menyadarinya. Ternyata itu adalah sebuah pelajaran dan pengalaman yang sangat berharga dan bermanfaat untuk kemajuanku dalam bersikap dan berpikir. Aku menjadi lebih mengetahui mengenai permasalahan ibadah dalam Islam. Perbedaan dalam Islam sudah timbul pada Masa Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam, namun lebih tambah ketika beliau sudah wafat. Perbedaan adalah untuk memperkaya wawasan, belajar bersikap moderat seperti pada firman Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam Q.S. An Nahl ayat 125.
Contoh yang sangat indah adalah ketika Imam Syafi’i berziarah ke makam Imam Abu Hanifah. Ketika shalat, beliau tidak memakai doa qunut dengan tujuan menghormati penduduk setempat dan pendapat Imam Abu Hanifah. Perbedaan yang indah, yang harus ditiru.
Suatu perbedaan tidak akan habis dibahas bahkan sampai hari kiamat pun! Hal ini disebabkan masing-masing madzhab mempunyai dasar dan dalil masong-masing yang kuat juga. Tidak masalah asalkan masih dalam jalur kebenaran Al Quran dan Hadits. Jadi, perbedaan tidak perlu dibahas. Kalaupun perlu, hanya sebatas saling mengetahui dan memperkaya wawasan.
Semenjak itu, aku bersyukur pada Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Aku menjadi mempunyai pemikiran bahwa hanya orang bodoh yang membahas perbedaan dan saling menyalahkan. Padahal dia belum tentu benar. Ya, memang dia benar, tetapi menurut versinya, bukan menurut versi yang dia salahkan. Meskipun terasa sangat menyakitkan membingungkan waktu itu, aku juga berpikir bahwa aku akan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dan bermanfaat. Perbedaan memang kompleks, yang terpenting adalah bersikap moderat, menghormati perbedaan, dan melakukan hal yang dia yakini kebenarannya. Tidak perlu mengkoreksi dan mengevaluasi orang lain. Mereka yang mengaku ahlus sunnah wal jama’ah (orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah atau hadits Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam dan jalan para sahabatnya dalam masalah akidah, amal-amal lahiriyyah, serta akhlak hati – al kawakib al lammaa’ah halaman 8 – 9) seharusnya memiliki tiga sifat, yaitu al tawassuth (mengambil sikap tengah-tengah sesuai Q.S. Al Baqarah ayat 153), al tawazun (seimbang daalam segala hal sesuai Q.S. Al Hadid ayat 25), dan al I’tidal (tegak lurus sesuai Q.S. Al Maaidah ayat 9), serta moderat sesuai Q.S. An Nahl ayat 125. Seperti itulah yang aku kutip dari buku Fiqh Tradisonalis karya K.H. Muhyiddin Abdushshomad. Jadi, bukan merupakan sikap ahlus sunnah wal jama’ah jika saling menyalahkan, bersikap ekstrem, dan menganggap dirinya benar.
Aku dan guru-guruku agama tersebut sempat saling bersikap dingin satu sama lain. Tetapi tidak berlangsung lama. Karena bagaimana pun juga, mereka adalah guruku yang harus aku hormati meskipun mereka berbeda denganku.

SEPENGGAL KISAH KECIL YANG KELIMA : Ketika Bekerja dengan Orang yang Tidak Sejalan Denganku

Bekerja dengan orang yang tidak sejalan denganku, bagiku sangat tidak menyenangkan. Tetapi itulah masyarakat. Setiap orang mempunyai cara pandang yang berbeda satu dengan yang lainnya. Bahkan cara bekerja mereka juga berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam masyarakat, kita dituntut untuk saling menghargai. Perilaku tersebut harus kita lakukan dengan tujuan menciptkan masyarakat yang bersuasana harmonis, nyaman, dan hidup rukun. Setiap orang tidak bisa memaksakan kehendaknya dan pendapatnya terhadap orang lain.
Tetapi, lain halnya dengan suatu perkumpulan atau organisasi. Organisasi merupakan bentuk dari masyarakat yang lebih kecil. Tetapi, ini berbeda dengan masyarakat meskipun bila kita berada di dalam kedua tempat tersebut , kita harus tetap saling menghargai dan bersikap moderat.
Di dalam organisasi dan masyarakat, terdapat deskripsi kerja dan tugas untuk setiap elemennya. Namun, hal tersebut lebih terlihat jelas dalam organisasi, terlebih lagi organisasi formal. Mereka harus melakukan deskripsi kerja mereka masing-masing. Deskripsi kerja tersebut berfungsi untuk menegaskan kewajiban setiap elemen dalam bekerja sehingga setiap elemen tidak boleh melakukan deskripsi kerja elemen lain. Mereka harus bekerja secara benar dan spesifik untuk menjaga kesinambungan kerja karena meskiupun satu pekerjaan dilakukan oleh satu orang atau elemen, tetapi kerja mereka saling melengkapi.
Pengalaman yang sangat berharga ketika aku berada di Rohani Islam atau Rohis SMA Negeri I Karanganom yang bernama Syiar Kegiatan Islam (SKI) dan Dewan Ambalan Diponegoro Gugus Depan SMA Negeri I Karanganom, Klaten. Mau tidak mau, aku harus bekerja sama dengan orang yang tidak sependapat dan sejalan denganku. Aku masih menerima hal tersebut asal cara kerja mereka tidak melenceng dan teratur.tetapi, bukan seperti itu keadaaannya. Para pemimpin di kedua organisasi tersebut justru bekerja dengan tidak rapi. Berlainan dengan fakta tersebut, sebenarnya aku juga sedikit banyak mengagumi mereka.
Dalam SKI, aku harus bekerja sama dengan Ketua Umumnya, yang bernama Pamulak Holoan Sinaga. Nama yang aneh untuk orang Jawa, karena memang dia bukan orang Jawa, tetapi keturunan orang suku Batak. Tetapi, ras tidaklah begitu penting. Teman-teman tau, aku dan dia selalu berbeda dan sering perang dingin. Itu dimulai ketika akmi duduk di bangku kelas X SMA.
Ketika itu, bulan Ramadlan 1426 Hijriyyah. Tepatnya pertangahan bulan. SKI mengadakan acara pesantren kilat, mabit (malam bina iman dan taqwa – acaranya menginap satu malam di sekolah), dan reorganisasi pengurus SKI. Semua anggota SKI harus ikut serta dalam acara tersebut, itu artinya aku juga wajib mengikuti acara tersebut. Namun, ada sesuatu hal yang tidak aku sangka. Ibuku sakit kekurangan Haemoglobin (Hb) dan harus dirawat inap di Rumah Sakit Islam Klaten untuk beberapa hari.
Malam itu, Ibu diperiksakan Ayah ke Dokter Sulistiyowati Hilal, dia dalah dokter langganan kami. Beliau berpesan sebaiknya Ibu dirawat di Rumah Sakit dan setelah itu, Ayah dan Ibu pulang dengan membawa obat sementara. Tetapi, Ayah memilih untuk segera membawa Ibu ke Rumah Sakit. Ayah meminta tolong adiknya, Paman Bunyamin, untuk mengantarkan ayah dan ibu ke Rumah Sakit dengan naik mobilnya. Setelah Paman Bunyamin datang, ayah dan ibu langsung berangkat ke Rumah Sakit Islam Klaten. Sehingga, aku di rumah sendiri waktu itu. Sebelum bernagkat ke Rumah Sakit, ayah menuliskan surat ijin untuk tidak mengikuti pesantern kilat dan reorganisasi SKI serta mabit karena hari esoknya adalah hari pesantren kilat, mabit, dan reorganisasi dilaksanakan.
Keesokan harinya aku berangkat ke sekolah untuk memberikan suart ijin tersebut langsung kepada Pembina SKI agar tidak terjadi kesalahpahaman. Aku diantar oleh teman baikku, Farid Aji Prakosa. Ketika menyerahkan surat ijin, aku segera diberi sanksi oleh Pembina SKI, yaitu menulis seluruh bacaan shalat dalam tulisan arab dan artinya juga, dari niat sampai salam. Aku menerimanya tanpa protes dan tanpa pikir panjang. Setelah itu, aku pulang ke rumah untuk kemudian pergi ke Rumah Sakit Islam Klaten untuk menjenguk dan mnunggu ibu. Sampai di sana, ternyata jam besuk belum buka. Aku menggu sambil menanyakan letak kamar yang dipakai untuk merawat ibu di ruang administrasi. Ibu berada di kamar Marwah nomor sebelas. Kurang lebih tiga puluh menit aku menunggu, akhirnya jam besuk dibuka dan aku pun langsung mencari kamar tersebut. Setiap hari aku menunggu ibu, bahkan beberapa hari aku menginap di situ untuk menjaga ibu dan membantu ayah. Aku mempunyai waktu banyak karena ketika itu memang sedang libur akhir Ramadlan menyambut Hari Raya Idul Fitri 1426 Hijriyyah. Setelah sepuluh hari ibu rawat inap di Rumah Sakit Islam Klaten, ibu diijinkan untuk pulang meskipun belum sembuh total, namun kadar Haemoglobin ibu sudah mencapai kadar minimal, yaitu tujuh. Tinggal masa pemulihan di rumah. Alhamdulillaah, aku cukup senang. Itu berarti aku sekeluarga bisa berkumpul di Hari Raya Idul Fitri.
Setelah beberapa minggu libur, tiba waktu masuk sekolah. Di sekolah, aku bertemu dengan Pamulak, waktu itu dia belum menjabat sebagai Ketua Umum SKI karena kami masih duduk di bangku kelas X SMA. Syarat untuk menjadi pengurus harian SKI adalah salah satunya harus sudah kelas XI SMA. Dia menanyakan alasan aku tidak berangkat mabit, pesantren kilat, dan reorganisasi. Lantas, aku menjawab bahwa aku menunggu ibuku yang sedang sakit kekurangan Haemoglobin dan harus dirawat inap di Rumah Sakit Islam Klaten selama sepuluh hari. Dia menanggapi dengan perkataan sinis. Dan, dari situlah bermula kebencianku kepadanya. Jelas aku merasa sakit hati dengan perkataannya yang mengatakan mengapa tidak bapakku yang menunggu dan kemana saudara-saudaraku. Dia juga mengatakan bahwa mengapa ibuku harus ditunggu. Dari titik itulah aku menjadi tidak menyukainya sebagai teman. Asal dia tau, bapakku memang menunggu, tetapi beliau juga harus bekerj auntuk melunasi biaya rawat inap dan kamar ibuku. Tentang saudara-saudaraku, hanya kakak perempuanku saja yang menunggu karena domisilinya hanya di Yogyakarta (dekat dengan Klaten), sedangkan kakak laki-lakiku yang pertama bekerja di Jakarta, waktu itu dia juga selalu telepon setiap malam untuk meninjau kondisi ibu.
Ketidaksukaan itu sampai pada kelas XI SMA. Aku tidak menyangka kalau akhirnya aku berada dalam satu kelas dengan dia ketika kelas XI, yaitu di kelas XI Ilmu Alam II (XI IA2). Aku masih membencinya karena kau adalah orang yang sensitif dan mudah untuk membenci orang lain, bahkan dalam waktu yang lama.
Satu tahun berlalu, reorganisasi SKI diadakan lagi. Aku dan dia dijadikan calon ketua umum SKI periode 2006 Masehi – 2007 Masehi. Dalam pemilihan, aku kalah jauh dengan dia dan dia berhasil menjadi Ketua Umum SKI periode 2006 Masehi – 2007 Masehi. Dan, aku menjadi Ketua Bidang Kajian dan Syiar Islam. Masa itu, aku merasa tidak nyaman di SKI. Tetapi, itu bukan lagi soal sakit hatiku pada Pamulak. Ini lebih pada soal karakter perilaku dalam berorganisasi. Aku tidak suka dengan cara kerja dia yang terkesan tidak rapi. Berbeda denganku yang saat itu ingin bekerja dengan rapi dan teratur. Selain itu, teman-teman SKI yang lain seperti tidak bisa bekerja sama denganku. Emtah mereka yang tidak bisa bekerja sama denganku atau aku yang tidak bisa bekerja sama dengan mereka. Yang jelas, suasana semacam itu membuatku semakin tidak nyaman. Itu artinya, mau tidak mau, aku harus bekerja dengan mereka demi kebaikan organisasi dan tanggung jawab. Aku tidak setuju dengan cara kerja mereka, terutama dia. Dalam organisasi harus bekerja dengan benar, rapi, dan teratur. Tetapi dia bekerja sedikit tidak rapi meskipun banyak kegiatan yang sukses juga karena menurut dia, kerja tidak rapi tidak apa-apa asal kegiatan bisa berlangsung.
Di sisi lain, aku juga mengaguminya. Tetapi, tidak jarang juga aku menekan dia karena aku tidak setuju cara kerja dia. Sampai perbedaanku dengan dia tersebar luas. Ironisnya, mereka justru masih menganggap hubunganku dengan dia yang buruk masih disebabkan seputar soal sakit hatiku dan masalah pribadi, padahal bukan! Sekali lagi, aku tidak suka cara kerja dia! Ditambah lagi sikap toleransi para pembina SKI terhadap golongan islam lain yang tidak ada dan sikap picik mereka. Aku risih melihat itu semua. Oleh karena itu, aku sering menekan dan mengkritik dia.
Beberapa waktu kemudian, aku capek. Selain itu, aku sadar tidak bisa mengubah dia. Jadi, aku harus mengalah. Padahal, sebelum itu semua, aku sangat ingin keluar dari SKI. Aku berpikir cukup lama dengan pikiran yang tenang dan jernih serta bijak, selama beberapa bulan. Jika kau keluar, banyak pihak yang menganggap bahwa aku tidak bertanggung jawab. Selain itu, mereka juga akan menganggap bahwa aku tidak profesional karena mencampuradukkan masalah pribadi dengan masalah organisasi. Namun, jika aku tidak keluar, aku merasa tidak bisa bekerja dengan baik dengan mereka.
Dalam organisasi, kita dituntut untuk bisa bekerja sama dengan seluruh elemen, terutama Ketua Umum. Aku merasa, aku tidak bisa melakukan itu semua. Aku selalu bekerja dengan sedikit orang dalam SKI, dan bahkan beberapa kegiatan aku bekerja sendiri. Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk tidak keluar. Aku harus bersikap profesioanl. Aku harus menyelesaikan tanggung jawabku sampai akhir, apapun itu kondisinya. Aku harus membuat diriku nyaman meskipun faktanya berbeda seratus delapan puluh derajat. Aku tidak lagi menekan dia , meskipun aku masih tidak suka dengan cara kerja dia. Aku hanya berusaha bekerja serapi dan seteratur mungkin meskipun masih ada yang menganggapku bekerja dengan tidak bagus. Setidaknya, aku sudah mencoba semampuku.
Aku bisa memberikan beberapa cintoh cara kerja dia yang tidak rapi. Maaf, bukan bermaksud membuat citra orang lain buruk, tetapi ini adalah fakta. Dia bekerja dengan menjalankan deskripsi kerja beberapa elemen., sehingga satu orang menjalankan deskripsi kerja banyak orang. Jelas hal tersebut sangat tidak efektif dalam hasil dan proses. Selain itu, cara pembuatan proposalnya terdapat beberapa kesalahan setelah aku mempelajari format dan semuanya tentang proposal. Aku memberikan saran untuk perbaikan proposal tersebut namun satu jawaban yang selalu terlontar dari mulutnya, yaitu yang penting proposal diterima atau diACC dan acara bisa jalan. Itu jawaban yang tidak aku sukai. Padahal jika proposal yang salah diajukan ke pihak luar sekolah, hal itu bisa membuat citra sekolah buruk karena kualitas proposal juga buruk. Cukup itu saja. Itu mencerminkan cara kerja yang tidak sejalan denganku yang membuatku merasa tidak nyaman. Sekali lagi, aku tidak nyaman! Tetapi, aku bisa menyelesaikan sendiri masalah itu.
Ketika di pramuka Dewan Ambalan Diponegoro Gugus Depan SMA Negeri I Karanganom, aku menemui hal yang hampir sama. Aku menjadi Pradana II Dewan Ambalan Diponegoro yang harus bekerja sama dengan semua anggota, terutama Pradana I Dewan Ambalan Diponegoro yang dipegang oleh Anton Sulistyo. Tetapi, berbeda dengan SKI.
Pertama, meskipun Anton juga bekerja tidak rapi, namun masih sedikit lebih baik. Tidak jarang juga aku meniru cara kerja dia yang kadang inovatif dan kreatif. Kedua, teman-teman Dewan Ambalan dapat diajak bekerja sama semua sehingga membuatku nyaman bekerja di Dewan Ambalan.
Pernah, ada suatu masalah. Anton marah ketika mengikuti verifikasi kegiatan Comando Corps tahun 2006 (dalam SKI, tidak ada acra verifikasi sehingga kegiatan seperti berjalan apa adanya dan kurang maksimal). Verifikasi itu cukup menyenagkan, tetapi juga cukup menyebalkan. Dalam verifikasi dibahas mengenai format proposal, bahasa proposal, susunan panitia, deskripsi kerja, acara-acara yang dilakukan, hambatan yang diprediksi bisa datang, dan solusi hambatan tersebut. Apakah ada kesalahan atau tidak, jika ada, maka dijabarkan dan dijelaskan serta dibenarkan kesalahan-kesalahan itu semua secara detail. Dari verifikasi itu, aku dan teman-teman mendapatkan banyak sekali wawasan baru yang fungsional.
Tetapi, ada satu hal yang kurang aku sukai dalam verifikasi tersebut. Kakak-kakak Ikatan Keluarga Besar Alumni Dewan Ambalan SMA Negeri I Karanganom (Ikebana) dan Dewan Kerja Ranting Karanganom terkesan seperti menekan kami. Itu menyebabkan mereka terkesan campur tangan dan bahkan ada yang menganggap bahwa mereka mengendalikan acara kami, padahal kami yang punya acara dan mereka hanya dimintai tolong oleh kami. Tetapi, kesan seperti itu masih bisa kau maklumi. Lain halnya dengan Anton, dia sangat tidak suka dan dia suka bekerja tanpa campur tangan pihak luar. Di tengah verifikasi itu, dia langsung keluar dengan alaasan shalat ‘Ashar akrena memang waktu itu sudah tiba waktu shalat ‘Ashar.
Ketika mengurusi kegiatan, aku dan dia juga sering menemukan perbedaan yang tidak bisa membuat kami bekerja sama dengan baik. Aku mengahrgainya walaupun sering juga kau menentangnya. Tetapi, di luar organisasi Dewan Ambalan Diponegoro Gugus Depan SMA Negeri I Karanganom, kami bertema dengan baik. Kami sering bercanda dan dia sering membantuku semisal memboncengkanku pulang ke rumah ketika pulang sekolah. Tidak seperti aku dengan Pamulak, baik di dalam organisasi maupun di luar organisasi, kau tetap tidak menyukai dia.
Setidaknya, kedua organisasi itu membuatku mengetaui mengenai carta kerja yang baik dan benar serta bekerja sama dengan orang yang tidak sejalan denganku.
Ketika bekerja sama dengan orang yang tidak disukai atau tidak bisa bekerja sama, tidak harus menentangnya secara seratus persen. Kita tau, tidak semua yang dikerjakannya salah. Ada juga yang benar sehingga kita dapat menggunakannya seperti pengalamanku di atas. Dan, aku bukanlah orang yang pandai dan cerdas, tetapi aku hanyalah orang yang suka belajar dari pengalaman-pengalamannya sendiri.