Sabtu, 21 Agustus 2010

SEPENGGAL KISAH KECIL YANG KEENAM : Untuk Apa Khilafiyyah?

Seperti yang ku katakan di depan, ada penyebab lain aku ingin keluar dari SKI yang membuatku semakin tidak nyaman berada di SKI selain karena kau tidak bias bekerja sama dengan orang-orang Ski dan tidak suka cara kerja Pamulak. Hal itu membuatku merasa kesepian di organisasi itu dan itu terasa sangat berat untuk dijalani.
Penyebab lain tiu datang dari para Pembina SKI, di antaranya Bapak Rosyid Ridlo, S.Ag., Bapak Yulianto, S.Ag., Bapak Aris Yunanto, S.Pd. Sebelumnya aku berpikir bahwa mereka adalah Pembina yang cukup baik toleran, moderat, dan bijak dalam memandang persoalan keagamaan, termasuk persoalan perbedaan (khilafiyyah). Tetapi, pandanganku tersebut berubah dalam sekejap.
Dimulai ketika pada suatu hari, SKI mengadakan kajian rutin dan ketika itu membahas mengenai persoalan keagamaan yang mengandung perbedaan (khilafiyyah) antar golongan atau madzhab. Sebelumnya, aku ingin mengatakan sesuatu terlebih dahulu. Suatu perbedaan bukan untuk diperdebatkan dan dicari kebenarannya karena masing-masing pihak tentu mempunyai argumentasi dan dalil yang diyakini cukup kuat dan benar. Sering terjadi banyak pihak yang mengatakan bahwa pendapat pihak lain tidak salah, tetapi hanya kurang benar dan yang lebih benar adalah argumentasi dan dalil miliknya. Bagiku, itu sama saja dengan menyalahkan, hanya saja dengan perkataan yang lembut dan tidak vulgar. Perbedaan untuk dipelajari dan dihormati. Khususnya adalah dalam suatu agama Islam, yang secara jelas menyatakan bahwa perbedaan itu adalah rahmat. Tetapi, ada sebuah catatan penting juga. Yang terpenting adalah tidak melanggar tiga hal, yaitu Al Quran, Sunnah atau Hadits Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam, dan Ijtihad (pendapat ahli hukum Islam). Dan, untuk saat ini, menganut salah satu madzhab dari empat madzhab yang ada (Madzhab Hanafiyyah, Madzhab Malikiyyah, Madzhab Syafi’iyyah, Madzhab Hanbaliyyah) adalah wajib, boleh dikatakan begitu karena jaman sekarang sudah sangat jauh dan berbeda dengan jaman Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam hidup sehingga memerlukan perantara untuk memahami Al Quran dan Hadits atau Sunnah Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam. Dasar dari kewajiban tersebut diambil dari sebuah kitab yang berjudul Al Mizan asy Sya’roni fatawi kubra dan Nihayatussul. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa untuk masa sekarang, wajib mengikuti salah satu madzhab dari empat madzhab yang ada, yaitu:
1. Madzhab Hanafi : adalah madzhab yang imamnya adalah Imam Abu Hanifah an Nu’man ibn Tsabit yang lahir di Kufah (Baghdad) pada tahun 80 HIjriyyah dan wafat pada tahun 150 Hijriyyah.
2. Madzhab Malik : adalah madzhab yang imamnya Imam Malik ibn Anas ibn Malik yang lahir di Madinah pada tahun 90 Hijriyyah dan wafat apda tahun 179 Hijriyyah.
3. Madzhab Syafi’i : adalah madzhab yang imamnya Imam Abu Abdullah Muhammad ibn Idris asy Syafi’i yang lahir di Gaza (Palestina) pada tahun 150 Hijriyyah dan wafat pada tahun 204 Hijriyyah.
4. Madzhab Hanbali : adalah madzhab yang imamnya Imam Ahmad ibn Hanbal yang lahir di Marwaz (Mekkah) pada tahun 164 Hijriyyah dan wafat pada tahun 241 Hijriyyah.
Kembali ke permasalahanku. Para Pembina itu mengaku bahwa mereka seratus persen ibadahnya meniru dan persisi dengan Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam, tidak menambahi maupun mengurangi ibadah. Mereka hanya mengandalkan Al Quran dan Hadits atau Sunnah Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam padahal permasalahan ibadah jaman sekarang sangat kompleks. Sehingga diperlukan metode untuk memahami kedua sumber hukum Islam tersebut, yaitu dengan ijtihad (dua yang disepakati yaitu ijma’ – kesepakatan para ‘ulama, dan qiyas – menentukan hukum berdasarkan kesamaan ‘illat atau sifat. Serta yang lainnya yang masih diperdebatkan para ahli ijtihad, seperti mashlahah wal mursalah – kemashlahatan yang tidak dilakukan pada jaman Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam, madzhab shahabi – madzhab para shahabat, istihsan – berpalingnya hukum dari qiyas jelas kepada qiyas samar, istishab – penetapan hukum terhadap suatu perkara di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut), ‘urf – kebiasaan orang-orang Madinah yang dianggap baik). Tetapi, mereka tidak mengakui hukum-hukum Islam yang dihasilkan dari istinbath dan ijtihad tersebut. Padahal ibadah dan persoalan agama jaman sekarang semakin kompleks sehingga diperlukan metode ijtihad tersebut untuk menggali hukum-hukum Islam yang tersirat dan tersembunyi serta yang belum digali. Jika tidak memakai metode tersebut, maka bisa dipastikan pandangan dan pendapat orang tersebut akan picik dan sangat sempit dalam menyikapi persoalan dan perbedaan.
Mereka juga mengaku bahwa mereka tidak bermadzhab karena mereka menganggap sikap bermadzhab itu bukanlah sikap yang benar. Sikap yang benar adalah sikap meniru Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam atau ittiba’ Niba Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam. Perlu diketahui bahwa sikap bermadzhab bukan berarti sikap mengesampingkan Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam dan mendahulukan para Imam Madzhab. Sikap bermadzhab juga bukan berarti sikap taqlid buta tanpa tahu apa-apa tentang Islam. Justru sikap bermadzhab adalah sikap yang bijaksana karena para Imam Madzhab merupakan mediator (perantara) untuk memahami semua tentang Al Quran dan Hadits karena mereka yang mencapai taraf Mujtahid Muthlaq (Mujtahid Individu) sedangkan taraf mujtahid sangat sulit untuk digapai, apa lagi untuk jaman sekarang. Dari titik tersebut dapat disimpulkan bahwa sikap bermadzhab merupakan suatu sikap kehati-hatian dalam memahami Islam karena orang yang tidak mencapai taraf mujtahid tersebut mengetahui bahwa dirinya tidak mampu menafsirkan Al Quran dan Hadits dengan benar sehingga mereka mengikuti pedoman madzhab para Imam Madzhab.
Contoh dari semua yang ku katakan tentang para Pembina SKI yang terhormat adalah sebaai berikut. Suatu ketika mereka menyinggung perasaanku sewaktu mereka mengatakan amalan yang ku lakukan merupakan bid’ah dlalalah (bid’ah adalah amalan yang arbu yang belum dilakukan oleh Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam) yang sesat dan tidak akan diterima di sisi Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa bahkan akan masuk neraka. Mereka beralasan bahwa amalan yang aku lakukan tidak berdasarkan dalil Al Quran dan Hadits serta tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam. Mereka memakai hadits shahih yang intinya Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda bahwa amalan baru dalam agama akan tertolak dan sesat serta masuk neraka (potongan matannya adalah kullu bid’atun dlalalah).
Selanjutnya, aku berusaha mengkaji mebih dalam komprehensif, kontekstual, menyeluruh dengan diajari oleh Ayahku. Aku membaca beberapa buku Ayahku seperti buku 40 Masalah Agama karangan K.H. Siradjuddin Abbas, Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, dan sebagainya.
Dalam buku 40 Masalah Agama tersebut dijelaskan bahwa hadits yang diajukan dalil menentang amalan yang ku lakukan adalah benar dan shahih. Tetapi, masih harus dikaji secara menyeluruh, bukan sepotong dan tekstual. Setelah dikaji lebih lanjut, ternyata Imam Syafi’i membagi bid’ah itu menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah (sesuatu amalan baru dalam agama yang tidak melenceng dari Al Quran dan Hadits) dan bid’ah dlalalah (bid’ah yang melenceng dari Al Quran dan Hadits). Bahkan, lebih lanjut, Imam Jalaluddin al Suyuthi (penulis kitab Tafsir Jalalayn) membagi bid’ah menjadi lima macam sesuai dengan hukum fiqih karena bid’ah termasuk pada bidang fiqh sehingga menentukan bid’ah juga harus sesuai dengan hukum fiqh. Yaitu bid’ah wajib (membukukan Al Quran oleh Abu Bakar ash Shiddiq dan Hadits oleh ‘Utsman ibn ‘Affan, memberikan harakat dan menyamakan dialek Al Quran oleh ‘Utsman ibn ‘Affan, membuat ilmu Nahwu dan Sharraf oleh ‘Ali ibn Abi Thalib), bid’ah sunnah (berkhutbah dengan bahasa daerah setempat agar mudah dipahami kecuali rukun-rukun khutbah yang harus tetap bahasa Arab), bid’ah mubah (bersalaman setelah shalat), bid’ah makruh (membuat dekorasi pada masjid), dan bid’ah haram (menambah jumlah raka’at shalat, shalat dengan bahasa selain bahasa Arab).
Selain itu, kata “kullu” yang berarti “setiap” pada hadits “kullu bid’atun dlalalah” bukan berarti semua amalan yang baru dalam agama. Kata “setiap” atau “kullu” tersebut harus digali lagi maksud yang dikehendaki oleh Rasulullah Sayyidina Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam. Kata “kullu” atau “setiap” tersebut tidak bermaksud semua amalan baru dalam agama adalah sesat. Kata tersebut mengandung perkecualian. Seperti firman Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam Al Quran bahwa Dia berfirman “semua yang hidup tercipta dari air” (wa ja’alnaa minal maai kulla syay’in hayyin – Q.S. Al Anbiyaa’ : 30). Setelah dikaji faktanya, tidak semua barang hidup tercipta dari air karena seperti firman Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa bahwa manusia tercipta dari tanah (Q.S. Al Rahmaan : 15) dan jin tercipta dari api (Q.S. Al Kahfi : 79). Sehingga kata “kullu” tersebut berarti setiap bid’ah itu dlalalah (kecuali yang sesuai dengan Al Quran dan Hadits). Seperti itulah.
Para Pembina SKI itu mengatakan beberapa yang ku lakukan adalah haram karena termasuk pada bid’ah dlalalah, seperti memakai sayyidina di depan nama Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam, peringatan tujuh hari, tahlilan, doa qunut, tarawih dua puluh raka’at dengan witir tiga raka’at, dan permasalahan lainnya. Setelah membaca buku 40 Masalah Agama karya Kyai Haji Siradjuddin Abbas dan Fiqh Tradisionalis karya Kyai Haji Muhyiddin Abdushshomad, aku telah mengetahui secara luas.
Mengenai menggunakan kata ”sayyidina” yang berarti penghulu sebelum nama Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam sebenarnya itu justru berhukum sunnah. Mereka yang anti pada hal ini menyanggah dengan suatu hadits yang berbunyi “sayyidu allaahu tabaraka wa ta’alaa” yang artinya penghulu itu hanya Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Dari situ, tahulah bahwa mereka hanya mengartikan secara tekstual. Dalam bahasa, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Arab, terdapat dua makna, yaitu makna konotasi (yang tidak sebenarnya) dan makna denotasi (yang sebenarnya). Nah, penggunaan kata “sayyidina” dalam nama Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam berarti penghulu dalam makna konotasi, yaitu bukan sebenarnya yang bukan seperti hadits penghulu untuk Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Penghulu dalam nama Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam berarti yang terbaik di antara yang terbaik, bukan berarti Gusti dalam tingkatan sejajar dengan Tuhan Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Jadi, penggunaan kata “sayyidina” yang berarti penghulu kita dalam nama Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam bukan merupakan suatu kesyirikan, justru merupakan suatu kehormatan yang sangat besar kepada Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam yang merupakan manusia terbaik dan kekasih Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Golongan yang dituduhkan mereka berbuat syirik dan haram serta tersesat dalam menggunakan kata “sayyidina” bukan merupakan golongan yang bodoh dan buta dengan menyamakan kedudukan Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dan Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam. Mereka tahu bahwa tindakan tersebut dilarang sehingga mustahil jika perbuatan tersebut dilakukan. Selain itu, dengan para guru, para pejabat, dan orang penting lainnya saja kita sering menggunakan kata “yang terhormat” dan sangat menghormati dengan julukan bagus, apalagi dengan Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam yang seharusnya lebih kita hormati daripada mereka, karena sebenarnya beliau lah yang merupakan “yang terhormat”. Di sisi lain, beliau juga menggunakan “sayyid” yang berarti mulia untuk kata benda lainnya, seperti hari Jumat yang beliau sebut dengan “sayyid al ayyaam” yang berarti hari yang mulia.
Selain itu, dalam hadits lain, Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam memberikan contoh shalawat dengan tidak memakai kata “sayyidina”. Hal ini bukan merupakan larangan untuk menggunakan kata “sayyidina”, namun hal ini merupakan suatu bentuk kerendahan hati beliau sebagai orang yang berakhlak paling mulia. Jika pun hal ini merupakan suatu larangan, atau perintah untuk tidak ber”sayyidina”, maka yang didahulukan adalah adab sopan santun untuk menghormati beliau daripada larangan atau perintah untuk tidak ber”sayyidina”. Seperti pada suatu cerita, suatu ketika Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam hampir terlambat datang dalam shalat jama’ah. Ketika itu kemudian shahabat Abu Bakar ash Shiddiq Radliyallaahu ‘Anhu ditunjuk menjadi imam. Sebelum beliau takbiratul ihram, para ma’mum memberikan isyarat bahwa Rasulullaah Sayyidina Muhammad Shallallaahu “Alayhi wa Sallam datang. Namun, Rasulullaah mempersilakan dan memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam. Tetapi, Abu Bakar tidak bersedia dengan alasan adab sopan santun , tidak pantas seorang yang bukan Nabi menjadi imam di hadapan Nabi yang sangat mulia. Akhirnya, Rasulullaah menjadi imam dan beliau tidak memarahi Abu Bakar.
Ada kelompok lain yang memakai hadits yang berbunyi Rasulullaah Muhammad Shallallaahhu ‘Alayhi wa Sallam bersabda “laa tusayyiduunii fish shalaat” yang berarti jangan ber”sayyidina” untukku di dalam shalat. Hal ini jelas merupakan suatu larangan. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah itu benar hadits? Dalam kaidah tata bahasa atau ilmu Sharaf, kata “sayyid” berasal dari kata “sayuudatun” kemudian huruf wawu (yang menjadi mad thabi’i dari huruf “yu”) diganti menjadi huruf ya’ menjadi sayyiidatun, yang setelah itu diidghamkan menjadi “sayyidatun”. Sehingga, jika menjadi larangan, bukan “laa tusayyiduunii”, namun “laa tusawwiduunii”. Dari hal ini dapat diambil kesimpulan bahwa jika ini memang benar hadits, maka termasuk hadits maudlu (menyesatkan) dan datangnya bukan dari Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam karena mustahil beliau salah berucap karena beliau sendiri orang Arab asli. Finalnya, hadits tersebut haram digunakan sebagai hujjah (alasan).
Dasar atau dalil kelompok yang menggunakan “sayyidina” sebelum nama Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam adalah hadits riwayat Muslim dalam kitabnya Shahih Muslim halaman 4223 yang berbunyi dalam bahasa Indonesia: Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radliyalloohu ‘Anhu ia berkata, Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda, “Saya Penghulu (sayyid) anak Adam (manusia) pada hari kiamat, orang yang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafa’at, dan orang yang pertama kali yang diberikan hak memberikan syafa’at.” dan hadits riwayat Ibnu ‘Abbas. Sehingga, hal ini bukan termasuk bid’ah yang sesat dan menyesatkan.
Mengenai peringatan tujuh hari meninggalnya seseorang dan tahlilan, mereka yang kontra dengan hal ini mengatakan bahwa peringatan tersebut tidak ada pada Islam dan Masa Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam serta hanya kepunyaan Hindu dan Buddha. Dan jika hal ini dilakukan, berari sama halnya dengan melakukan ibadahnya orang Hindu dan Buddha. Serta mereka menyanggah mengapa hanya hari itu saja mendoakan mayyit, tidak setiap hari? Hal tersebut bisa dikaji lebih kontekstual dan menyeluruh.
Peringatan tersebut bukan dari Hindu dan Buddha, bahkan sebelum mereka masuk ke Indonesia, peringatan tersebut sudah ada. Namun, setelah Islam masuk ke Indonesia, peringatan tersebut tidak dihilangkan karena Islam bersifat moderat dan akomodatif yang dibawa oleh para wali sanga (sembilan wali) – sunan kalijaga, sunan ampel, sunan giri, sunan bonang, sunan drajat, sunan muria, sunan gunung jati, sunan gresik, sunan kudus. Meskipun tidak sesuai dengan ajaran Islam, mereka tidak serta merta menghilangkannya. Mereka tetap melestarikan peringatan tersebut, hanya saja esensi acaranya diubah sehingga tidak mengandung kesyirikan lagi (tidak menyekutukan Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa), yang dari sebelum diubah, para penduduk Jawa meminta kepada roh, namun wali sanga kemudian mengubah dengan doa kepada Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa supaya orang yang meninggal diberi kelapangan kubur, nikmat kubur, diampuni dosanya, dan diterima amal ibadahnya, dengan bacaan-bacaan Al Quran yang dikirimkannya khusus untuk dia.
Selain itu, mengadakan peringatan tujuh hari dengan membaca tahlilan dan menyedekahkan makanan adalan sunnah, sesuai hadits dari ‘Amr ibn ‘Abbasah ia berkata, saya mendatangi Rasulullah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam kemudian saya bertanya, “Ya Rasulullah, apakah Islam itu?” Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam menjawab, “Bertutur kata yang baik dan menyuguhkan makanan.” (Musnad Ahmad 18617). Selain itu, dalam Shahih Muslim (1674) ada hadits dari Abu Dzar Radliyallaahu ‘Anhu, ada beberapa sahabat berkata kepada Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam, ”Ya Rasulullaah, orang-orang yang kaya (beruntung) mendapatkan banyak pahala. Padahal mereka shalat seperti kami shalat. Mereka berpuasa seperti kami puasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.” Nabi Muahmmad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam menjawab, ”Bukankah Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan? Sesungguhnya setiap satu tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah.” Pahala sedekah bacaan Al Quran yang berupa tahlilan tersebut sampai dan bermanfaat pada mayyit dengan diniatkan untuk mayyit.
Demikian pula menyedekahkan pahala harta untuk mayyit (orang yang sudah meninggal), hal itu sunnah dan pahalanya sampai pada mayyit tersebut, sesuai hadits dalam Sunan Tirmidzi (605) dari Ibn ‘Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam, “Wahai Rasulullaah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya?” Rasulullah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam menjawab, ”Iya.” Laki-laki itu berkata, ”Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa akan mensedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” Jika pahala sedekah tersebut tidak sampai dan tidak berguna di sisi mayyit, niscaya Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam akan melarang sahabat yang bersedekah sebidang kebun untuk ibunya yang telah meninggal tersebut. Pahala sedekah tersebut akan sampai jiika diniatkan untuk mayyit dan dengan membaca doa.
Terlebih lagi jika menyedekahkan dalam waktu tujuh hari kematian, hal tersebut sangat dianjurkan untuk meringankan siksa kubur, sesuai yang dikutip oleh Iamm Suyuthi dalam al Hawi li al Fatawi juz dua halaman 178, berkata Imam Ahmad ibn Hanbal, Hasyim ibn al Qasim meriwayatkan kepada kami, ia berkata, al Syaja’i meriwayatkan kepada kami dari Sufyan, Imam Thawus berkata, ”Orang yang meninggal dunia diuji selama tujuh hari di dalam kubur mereka. Maka kemudian kalangan salaf mensunnahkan bersedekah makanan untuk orang yang meninggal dunia selama tujuh hari.”
Sebenarnya tidak hanya hari tertentu orang-orang tersebut mendoakan mayyit, seperti yang dituduhkan para Pembina SKI yang terhormat. Mereka mendoakan mayyit setiap hari, hanya saja pada hari tertentu mengundang orang-orang dan teteangga untuk mendoakan secara bersama-sama sekalian mengadakan sedekah yang pahalanya ditujukan untuk mayyit dan sedekah tersebut diambil dari harta mayyit, bukan dari harta orang lain. Jadi, bukanlah hal yang mubadzdzir dan percuma.
Mengenai membaca doa qunut dalam shalat shubuh, juga merupakan sunnah Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam, bukan termasuk bid’ah dlalalah yang sesat dan menyesatkan. Mereka yang kontra berpendapat bahwa qunut yang ada hanyalah qunut nazilah, yaitu ketika ada musibah, jadi jika tidak ada, maka tidak qunut. Ini memang benar, tetapi, selain qunut nazilah, ada juga qunut shubuh (dilakukan ketika raka’at kedua sebelum I’tidal) dan qunut witir (yang dilakukan ketika raka’at ketiga witir setelah malam kelima belas Ramadlan sampai malam Ramadlan berakhir). Hal ini sesuai hadits Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam dalam Musnad Ahmad ibn Manbal (12196) diriwayatkan dari Anas ibn Malik Radliyaalloohu ‘Anhu, beliau berkata, “Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam senantiasa membaca qunut ketika shalat shubuh sehinga beliau wafat.” Dari sini Imam Syafi’i menilai doa qunut shubuh berhukum sunnah ab’adl, yang jika lupa dilaksanakan, maka harus sujud sahwi (sujud karena lupa atau ragu-ragu menjalankan rukun atau tidak, yang dilakukan sesudah tasyahud akhir dan sebelum salam). Sementara redaksi doa qunut yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam adalah sesuai yang diriwayatkan oleh Sayyidina Hasan ibn ‘Ali ibn Abu Thalib dan diriwayatkan oleh Al Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah, dan lainnya.
Mengenai shalat tarawih dua puluh raka’at, juga perlu dikaji lebih dalam karena mengingat tidak adanya riwayat yang secara eksplisit mengatakan Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam tarawih sebanyak delapan raka’at dan tiga ra’at witir atau dua puluh raka’at tarawih dan tiga raka’at witir. Redaksi hadits yang ada hanya lah berbunyi seperti ini, dari Sayyidatuna ‘Aisyah Radliyalloohu ‘Anha berkata, “ Rasulullah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam tidak pernah shalat menambah shalat malam pada bulan Ramadlan atau bulan lain melebihi sebelas raka’at.” Hadits ini yang dijadikan kelompok yang kontra terhadap tarawih dengan dua puluh raka’at. Hal ini perlu dipahami, shalat yang dijelaskan oleh istri beliau tersebut dilaksanakan beliau ketika bulan Ramadlan maupun tidak, sehingga esensi shalat atau jenis shalat tersebut selalu sama baik di waktu maupun di luar waktu Ramadlan, sehingga shalat tersebut mungkin adalah shalat witir, karena bilangan yang disebutkan adalah ganjil, dan shalat yang bilangannya ganjil hanyalah shalat witir.
Sementara dasar shalat tarawih dua puluh raka’at dan tiga raka’at witir adalah kata Imam Malik ibn Anas dalam kitab Al Muwaththa’-nya, dari Yazid ibn Khusaifah, “Orang-orang (kaum muslimin) pada masa ‘Umar melakukan shalat tarawih di bulan Ramadlan dua puluh tiga raka’at.” Imam Malik ibn Anas memakai amalan ibadah penduduk Madinah sebagai hujjah karena di Madinah terhindar kesalahan, karena di Madinah Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam hidup selama dua puluh tahun, sehingga amalan yang dilakukannya tentu tidak akan berbeda dengan amalan Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam. Selain itu, menurut kesaksian Imam Syafi’i, penduduk Mekkah juga melaksanakan tarawih sebanyak dua puluh raka’at dan ditambah dengan tiga raka’at witir. Jika, amalan orang Madinah saja dianggap benar, maka apalagi amalan ‘Umar ibn Khaththab Radliyalloohu ‘Anhu yang merupakan orang terdekat kedua dengan Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam serta dijamin masuk surga sekaligus khalifah kedua setelah wafatnya Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam. Jadi, mustahil jika amalan yang dilakukannya berbeda dengan Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam dan dibuat-buat karena seperti hadits yang diambil dari Sunan Abu Dawud (2537), dari Abu Dzar ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa meletakkan kebenaran pada lisan ‘Umar terhadap apa yang dia katakan.”
Semuanya itu aku pelajari dari buku-buku Ayahku, seperti 40 Masalah Agama karya Kyai Haji Siradjuddin Abbas, Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, dan Fiqh Tradisionalis karya Kyai Haji Muhyiddin Abdushshomad.
Itulah sekian banyak permasalahan yang dituduhkan pada para Pembina SKI yang terhormat dan sebenarnya masih banyak lagi permasalahan yang mereka salahkan namun aku dapat menemukan jawaban untuk mematahkannya. Dalam permasalahan perbedaan (khilafiyyah) tersebut dituntut kedewasaan, kebijakan, keluasan berpikir, bukan sikap menghakimi. Aku sangat kecewa, ketika aku masih bersama mereka, aku belum cukup mampu untuk membela madzhabku, namun ketika aku sudah mempunyai kemampuan yang cukup untuk membela madzhabku, aku sudah lulus dan tidak lagi bersama mereka.
Bagiku, diterima atau ditolaknya amal ibadah seseorang tidak dilihat dari bentuknya yang belum atau pernah dilakukan pada Masa Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam dan oleh beliau sendiri, namun lebih kepada hak prerogative Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa sebagai satu-satunya tujuan ibadah, dengan catatan, ibadah yang dilakukan masih dalam garis Al Quran dan Hadits.
Aku heran, banyak orang-orang yang ahli agama “kemarin sore” sudah berani mengkafirkan dan mengeklaim sesat serta salah para pengikut imam madzhab yang sudah sangat ahli dan diakui kapasitasnya oleh kaum muslimin sedunia. Hal ini sangat jauh tidak seimbang. Aku sangat yakin dengan semua ibadah yang aku lakukan mempunyai dasar yang sangat kuat dan luas, sehingga tidak berhak orang lain mengeklaim sesat dan haram. Sebelum mengeklaim, alangkah baiknya bercermin apakah mereka sudah mencapai kapasitas orang yang ahli.
Dulu, aku juga pernah berdebat dengan kakak kelas yang jaraknya dua tahun di atasku, waktu tiu, aku sedang duduk di kelas X SMA dan dia sudah mencapai kelas XII SMA. Bahkan, tidak main-main, dia adalah ketua umum SKI periode 2005 – 2006 Masehi! Namanya adalah Kak Arif Setyawan. Dia cenderung menyalahkan sikap Imam al Ghazali yang mernciptakan tiga belas nama sifat Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa, yaitu wujud (ada), qidam (terdahulu), baqa’ (kekal), mukhalafatul lil hawadits (berbeda dengan makhluk), qiyamuhu bi nafsihi (berdiri sendiri atua tidak tergantung), wahdaniyyat (esa), qudrah (berkuasa), iradah ( berkehendak), ‘ilmun (maha mengetahui), hayyat (maha hidup), sama’ (maha melihat), basher (maha mendengar), kalam (berfirman). Kak Arif mengatakan mengapa menciptakan nama-nama tersebut padahal sudah ada asma’ul husna (nama yang baik untuk Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa yang berjumlah sembilan puluh sembilan).
Kedua hal tersebut memang mirip, namun terdapat perbedaan di antara keduanya. Meskipun begitu, nama-nama sifat Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa yang diciptakan oleh Imam al Ghazali seperti suatu rangkuman dari asma’ul husna dan juga tidak mengotori sifat suci dan besar Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Sehingga, tidak ada masalah. Apalagi beliau adalah seorang ahli tasawuf dan ahli teologi atau ilmu tauhid (ilmu tentang keEsaan Tuhan dan semua rukun Iman) atau ilmu kalam. Di satu sisi, Kak Arif hanyalah seorang siswa SMA tingkat akhir waktu itu.
Terus terang, waktu itu sempat menganggap buruk tentang agamaku dan hidupku, mengapa harus terjadi perbedaan seperti itu. Tetapi, perlahan aku menyadarinya. Ternyata itu adalah sebuah pelajaran dan pengalaman yang sangat berharga dan bermanfaat untuk kemajuanku dalam bersikap dan berpikir. Aku menjadi lebih mengetahui mengenai permasalahan ibadah dalam Islam. Perbedaan dalam Islam sudah timbul pada Masa Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam, namun lebih tambah ketika beliau sudah wafat. Perbedaan adalah untuk memperkaya wawasan, belajar bersikap moderat seperti pada firman Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa dalam Q.S. An Nahl ayat 125.
Contoh yang sangat indah adalah ketika Imam Syafi’i berziarah ke makam Imam Abu Hanifah. Ketika shalat, beliau tidak memakai doa qunut dengan tujuan menghormati penduduk setempat dan pendapat Imam Abu Hanifah. Perbedaan yang indah, yang harus ditiru.
Suatu perbedaan tidak akan habis dibahas bahkan sampai hari kiamat pun! Hal ini disebabkan masing-masing madzhab mempunyai dasar dan dalil masong-masing yang kuat juga. Tidak masalah asalkan masih dalam jalur kebenaran Al Quran dan Hadits. Jadi, perbedaan tidak perlu dibahas. Kalaupun perlu, hanya sebatas saling mengetahui dan memperkaya wawasan.
Semenjak itu, aku bersyukur pada Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Aku menjadi mempunyai pemikiran bahwa hanya orang bodoh yang membahas perbedaan dan saling menyalahkan. Padahal dia belum tentu benar. Ya, memang dia benar, tetapi menurut versinya, bukan menurut versi yang dia salahkan. Meskipun terasa sangat menyakitkan membingungkan waktu itu, aku juga berpikir bahwa aku akan mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dan bermanfaat. Perbedaan memang kompleks, yang terpenting adalah bersikap moderat, menghormati perbedaan, dan melakukan hal yang dia yakini kebenarannya. Tidak perlu mengkoreksi dan mengevaluasi orang lain. Mereka yang mengaku ahlus sunnah wal jama’ah (orang-orang yang selalu berpedoman pada sunnah atau hadits Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam dan jalan para sahabatnya dalam masalah akidah, amal-amal lahiriyyah, serta akhlak hati – al kawakib al lammaa’ah halaman 8 – 9) seharusnya memiliki tiga sifat, yaitu al tawassuth (mengambil sikap tengah-tengah sesuai Q.S. Al Baqarah ayat 153), al tawazun (seimbang daalam segala hal sesuai Q.S. Al Hadid ayat 25), dan al I’tidal (tegak lurus sesuai Q.S. Al Maaidah ayat 9), serta moderat sesuai Q.S. An Nahl ayat 125. Seperti itulah yang aku kutip dari buku Fiqh Tradisonalis karya K.H. Muhyiddin Abdushshomad. Jadi, bukan merupakan sikap ahlus sunnah wal jama’ah jika saling menyalahkan, bersikap ekstrem, dan menganggap dirinya benar.
Aku dan guru-guruku agama tersebut sempat saling bersikap dingin satu sama lain. Tetapi tidak berlangsung lama. Karena bagaimana pun juga, mereka adalah guruku yang harus aku hormati meskipun mereka berbeda denganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar