Sabtu, 23 Oktober 2010

SEPENGGAL KISAH KECIL YANG KESEBELAS: Ketika Semester Satu

Banyak hal yang aku pikirkan, termasuk alasan di balik diterimanya aku di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jujur, aku kurang puas, tetapi aku harus menerimanya dengan ikhlas dan tabah karena itu adalah sebuah hasil yang diberikan oleh Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa untuk aku. Selain itu, aku yakin ada sesuatu yang berarti di balik takdirku itu. Permasalahannya, adalah aku harus menunggu waktu kapan aku menemukan alasan Tuhan itu, entah dalam jangka waktu yang cepat, atau dalam jangka waktu yang lambat. Jadi, aku harus bersabar dan teliti membaca setiap kejadian dalam hidupku, termasuk peristiwa-peristiwa di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta secara khusus dan dunia secara umum. Padahal, karakterku adalah orang yang kurang sabar dalam menanti seuatu dan cepat ingin mengetahui sesuatu. Jadi, itulah ujian pertamaku, yaitu aku harus sabar.
Selain itu, aku juga harus peka dan pandai menemukan sesuatu yang berharga untuk diriku sendiri dan orang lain. Aku harus belajar tentang sesuatu, apa saja, yang dapat aku ambil di setiap waktu dan kejadian dalam kehidupanku. Bagiku, mengambil palajaran di dalam hidup itu sangat penting untuk diriku sendiri secara khusus, sangat penting untuk membuat diriku lebih baik, untuk sebuah proses, aku menyadari bahwa aku bukanlah manusia sempurna. Belajar sesuatu adalah sulit bila itu dilakukan pertama kali dan harus pandai menemukan sesuatu yang baik itu. Setelah itu, akan lebih mudah bila dilakukan dengan rutin.
Permasalahannya adalah bagaimana meletakkan sesuatu hasil belajar itu ke dalam diriku, apalagi bila aku tidak dapat menjangkaunya. Aku harus berusaha lebih keras lagi untuk mencapainya dan akan percuma jika tidak dapat mencapainya karena hal itu sangat berharga, yaitu hasil pembelajaran dari kehidupanku. Akan sangat menyenangkan dan memuaskan jika aku bisa mendapatkan hasil yang sangat baik di dalam diriku, dan itu bukan hanya satu atau dua kali, tetapi berulang kali. Tetapi, kemampuanku terbatas dan tidak semua hal yang menjadi hasil belajarku dapat kulakukan dengan baik dan berhasil.
Minimal, bila aku belajar dari sesuatu hal yang buruk, aku tidak mengikutinya. Bila aku melakukan kesalahan, aku tidak mengulanginya. Bila tidak ada hal yang bisa aku capai, minimal aku mempertahankan seuatu yang baik yang sudah aku punya. Dan, tidak jarang pula aku tenggelam mengikuti arus yang tidak baik dalam kehidupanku. Dari kejadian itu, dapat terlihat bahwa sangat sulit untuk keluar dari sesuatu yang bersifat buruk padahal sangat mudah untuk terjerumus ke dalamnya. Itu pelajaran dari kehidupan yang sangat penting yang tidak semua orang dapat mengambil pelajaran kehidupan tersebut dan memahaminya serta melakukannya.
Aku juga belajar dari kegagalanku masuk ke perguruan tinggi negeri yang aku inginkan. Setelah empat kali gagal, aku berprasangka buruk kepada Tuhan. Waktu itu, aku ingin marah kepada Tuhan. Mengapa aku gagal?! Aku sudah berusaha semampuku, berdoa kepada Tuhan untuk menunjang usahaku, tetapi mengapa aku gagal?! Sementara teman-temanku yang tidak berusaha sekeras itu dan tidak beroda serajin itu, mereka semua berhasil! Sangat sulit untuk menerima keadaan seperti itu. Banyak orang yang mengatakan bahwa yang terbaik menurut Tuhan belum tentu terbaik menurut umat manusia, tetapi yang terbaik menurut umat manusia belum tentu juga yang terbaik menurut Tuhannya. Segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan karena Dia Yang Maha Bijaksana dan Yang Maha Mengetahui baik yang tersembunyi maupun tidak manusia hanya wajib berusaha dan banyak juga yang tidak puas dan kurang menerima hasil yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, termasuk aku sendiri. Anggapan itu muncul karena menurut manusia, hasil yang yang diterima tidak setimpal dengan usaha yang dilakukan sehingga menimbulkan banyak kekecewaan. Tetapi, semua harus dikembalikan kepada Tuhan, apapun keadaanya itu. Sudah banyak fakta historis masa lalu bagaimana akhirnya akibat yang diterima oleh para manusia yang melawan dan kecewa kepada Tuhan.
Setelah masuk masa pra kuliah, universitas mengadakan OPAK (Orientasi Pengenalan Akademik dan Kemahasiswaan) – nama ospek dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di masa-masa itu, aku juga sempat belajar beberapa hal. Salah satunya adalah NATO (No Action Talk Only), yang artinya sikap yang hanya banyak bicara namun tidak mengimplementasikannya. Hal itu sangat aku benci. Bahkan, banyak mahasiswa yang menjadi kakak angkatanku yang menjadi panitia OPAK, yang selalu menggebu-gebu dalam meneriakkan slogan itu, justru bersikap seperti itu. Hal itu sungguh sangat ironis. Memang sangat sulit untuk tidak menjadi NATO, namun bukan berarti tidak bisa.
Memasuki masa perkuliahan, aku dihadapkan lagi pada suatu masalah yang membuatku bingung tetapi tidak terlalu berat. Aku ingin mengikuti salah satu organisasi di UIN SUKA untuk membuatku lebih mengetahui hal-hal baru lagi dengan organisasi serta belajar mengembangkan kemampuanku dalam berorganisasi. Aku baru ikut organisasi ketika SMP dan baru belajar secara sungguh-sungguh tentang organisasi ketika aku mengikuti organisasi Dewan Ambalan dan Syiar Kegiatan Islam. Oleh karena itu, aku ingin lebih mengetahui lagi dan belajar organisasi yang lebih tinggi karena organisasi di perguruan tinggi sama sekali berbeda dengan pranisasi sekolah. Salah satunya, di organisasi, dapat belajar kritis dalam menghadapi dan menyelesaikan suatu permasalahan. Aku sangat menyukai hal itu. Tetapi, orang tuaku sudah mengingatkan bahwa aku harus fokus dan konsentrasi pada perkuliahanku dan tidak boleh mengikuti organisasi, atau kalaupun boleh, hanya sebatas mengikuti dan tidak terjun terlalu dalam dan jauh karena kedua orang tuaku menganggap aku adalah seorang anak yang fisiknya tidak terlalu kuat sehingga jika terlalu capek, akan sakit dan pikirannya kacau. Orang tuaku tidak ingin organisasi menggangguku dan membuyarkan konsentrasiku pada perkuliahan. Tetapi, aku sudah menngatakan bahwa hal semcam itu tidak akan terjadi, aku akan berusaha untuk bisa membagi waktu dan tetap fokus pada perkuliahan meskipun nantinya aku mengikuti organisasi. Aku dapat mengaturnya sesuai kemampuanku. Apa boleh buat, usahaku untuk meyakinkan orang tuaku percuma saja. Waktu itu, aku masih sangat ingin menentang keputusan mereka karena aku sangat ingin berorganisasi. Pada awalnya, banyak orang yang mengingatkanku tentang organisasi yang akan aku ikuti. Mereka takut bila pemikiranku berubah dan terkontaminasi setelah aku mengikuti organisasi itu karena di organisasi, para anggotanya sudah dikenal dengan keburukan pemikiran dan perilakunya. Bila aku jadi ikut organisasi itu, aku akan menganggapnya sebagai tantangan yang harus aku kalahkan dan aku taklukkan.
Tetapi, keputusanku adalah aku tidak jadi ikut organisasi itu. Bukan karena aku tidak berani dengan tantangan itu, tetapi aku sudah berpikir bahwa aku harus menuruti kemauan kedua orang tuaku untuk tidak berorganisasi karena waktu SMP dan SMA, aku sudah melanggar kemauan mereka tersebut, sehingga di beberapa kesempatan, aku mendapatkan hasil belajar yang menurun. Aku harus tidak boleh mengecewakan mereka lagi. Aku juga harus bisa fokus pada perkuliahanku dan belajarku agar dapat menegjar waktu lulus yang lebih cepat dari waktu lulus yang standart untuk lulus pada tingkat Strata Satu (S I). Aku mempunyai rencana untuk lulus Strata Satu (S I) sekitar tiga setengah tahun dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) berpredikat Cumlaude, itu berarti harus setinggi-tingginya yang aku mampu, yaitu lebih dari 3,5 (tertinggi adalah 4). Hal itu cukup berat dan sulit. Tetapi aku harus bisa. Selain itu, waktu itu aku ingin kuliah sambil bekerja, tidak peduli besar penghasilannya, yang penting aku bisa membantu meringankan beban kedua orang tuaku dan belajar mandiri serta belajar merasakan kehidupan yang sebenarnya sangat ganas.
Setelah masa kuliah berjalan selama satu semester (enam bulan), aku mendapatkan beberapa pelajaran yang sangat berarti lagi, di dalam kehidupanku. Aku tertantang oleh perkataan dosenku mata kuliah Statiska Program Studi Psikologi Faultas Ilmu Sosial Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, namanya adalah Unggul Hutomo N, S.Psi., M.Si. banyak sekali hal yang sangat seusia – termasuk cara pandang mengenai suatu permasalahan – antara aku dengan beliau. Hal itulah yang membuatku menyukainya sebagai pengajar. Salah satu yang aku merasa tertantang adalah tentang apa yang bisa aku lakukan untuk kedua orang tuaku. Kedua orang tuaku sudah bersuaha sangat keras, dengan melakukan semua hal yang mereka mampu untuk masa depanku dan telah memberikan beberapa yang aku perlukan meskipun tidak semua. Semua yang mereka lakukan adalah yang terbaik untukku. Usaha mereka sangat keras untuk putra dan putrinya. Aku harus bisa memberikan imbalan kepada mereka meskipun kedua orang tuaku tidak ingin imbalan itu dan yang pasti, imbalanku tidak akan pernah bisa membalas semua hal yang mereka berikan padaku dan lakukan untukku, karena yang mereka berikan padaku dan lakukan untukku sangat besar dan banyak, atau kalau boleh dikatakan tidak terhingga. Dosenku tersebut juga mengajarkan bahwa aku harus dapat meneruskan semangat dan cita-cita kedua orang tuaku meskipun hal itu sangat susah, sulit, dan berat, sehingga membutuhkan perjuangan yang sangat besar dan keras, apalagi jika semangat dan cita-cita kedua orang tuaku tidak sama dengan semangat dan cita-citaku. Hal itu sangat dilematis bagiku karena kau dihadapkan pada dua pilihan, berjalan menurut yang aku inginkan atau berjalan menurut yang diinginkan kedua orang tuaku. Karakter kedua orang tuaku tidak pernah memaksa, meskipun kadang mereka memaksa untuk kebaikanku. Kedua orang tuaku hanya membimbing dan memberikan pandangan dan pendapatnya terhadap berbagai pilihan, selanjutnya aku sendiri yang memilihnya. Aku ingin kedua orang tuaku bangga kepadaku agar semua yang mereka berikan padaku dan semua yang mereka lakukan untukku tidak sia-sia.
Selain pelajaran di atas, dosenku tersebut juga mengajarkan bahwa kapasitas kepandaian dan kepintaran serta kecerdasan otakku harus sesuai dengan fasilitas yang aku miliki. Jika aku memiliki fasilitas yang sangat lengkap dan mewah, transportasi pribadi yang mewah, pakaian yang sangat bermodel, uang saku yang sangat banyak, aku juga harus pandai dan pintar. Tetapi, bukan berarti jika aku tidak memiliki apapun, hal itu menjadi sebuah ijin aku boleh menjadi orang yang tidak pintar dan pandai. Meskipun aku tidak memiliki apapun dan minim fasilitas, aku juga harus tetap bisa bersaing dengan yang lain dan bisa menajdi yang terdepan dan yang terbaik. Sehingga, akan menjadi seimbang antara apa yang aku miliki dengan apa yang aku dapatkan dan apa yang aku bsia. Akan malu rasanya jika tidak bisa melakukan apa-apa padahal dibekali fasilitas yang sangat lengkap dan modern. Fasilitas yang menunjang seharusnya menjamin keberhasilan seseorang, tetapi faktanya banyak orang yang tergiur dengan kemewahan fasilitas tersebut dan menyebabkan tidak konsentrasi dan fokus pada kewajiban yang harus mereka lakukan, dan hal itu menyebabkan mereka tidak atau kurang sukses dan berhasi. Hal itu memang sangat ironis. Namun, banyak orang yang sukses mengawalinya dengan fasilitas yang minimal dan dengan hidup yang susah dan prihatin.
Pelajaran selanjutnya beliau dapatkan dari seorang temannya. Suatu hari, ketika dosenku mengajar di kelasku, beliau diberi kabar bahwa istri dari temannya itu meninggal setelah melahirkan bayi prematur. Padahal, sudah diatur dan dipersiapkan dengan sebaik-baiknya bahkan dilaksanakan dengan prosedur yang benar. Tetapi, hasilnya di luar keinginan. Intinya, meskipun perencanaan sudah matang, yang kita lakukan sudah sesuai dengan prosedur dan usaha kita sudah maksimal, hasilnya bisa saja “Back to Zero”, artinya nihil. Hasil tidak berada di tangan kita sebagai manusia yang hanya wajib berusaha tanpa bisa menentukan sendiri keberhasilan dan kesuksesan. Hasil merupakan hak mutlak dari Tuhan sedangkan kita sebagai manusia hanya wajib berusaha untuk bahan pertimbangan Tuhan dalam memberikan keputusan pada kita nantinya. Hal itu mengingatkan aku pada kegagalan-kegagalanku pada masa lalu.
Aku temui pelajaran penting lainnya lagi. Namun kali ini datang dari orang yang berbeda. Yang pertama, datang dari Dosenku Mata Kuliah Bahasa Arab yang menjadi Ketua Pusat Budaya dan Bahasa Asing Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta waktu itu, dan datang dari Dosenku Mata Kuliah Filsafat yang bernama Andi Dermawan, S.Ag., M.Ag. beliau berdua mengajarkan dua hal yang sama. Orang harus unggul di antara orang lain dalam kehidupannya dan jangan hanya mengikuti arus. Orang harus dapat berkompetisi (secara sehat) untuk menunjukkan dirinya dan mempunyai target yang jelas sehingga waktu untuk hidup tidak terbuang dengan sia-sia dan percuma. Tuhan menciptakan sesuatu yang Dia ciptakan, termasuk manusia, bukanlah tanpa arti dan hikmah. “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Quran Surat Ali ‘Imraan ayat 191). Semua manusia pada dasarnya berguna, hanya saja sedikit beberapa di antara mereka yang benar-benar menyadari keberguanaan itu dan melakukan hal yang berguna dalam hidup mereka, sangat sedikit. Sehingga, justru manusia itu sendiri yang membuat dirinya sendiri tidak berguna dan tidak bermanfaat karena mereka tidak menyadari kebergunaan itu, jadi bukan salah Tuhan.
Yang kedua, datang dari salah seorang temanku, yang bernama Nihayatul Karimah. Waktu itu, dia menjadi mahasiswi farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM)Yogyakarta. Dia satu angkatan denganku. Aku sempat dua kali terkejut dan kagum dengannya. Terkejut karena dia pernah berubah menjadi buruk dan kagum karena dia berubah menjadi lebih baik beberapa waktu kemudian.
Setelah tiga tahun tidak bertemu, suatu hari aku bertemu dengannya, berbincang-bincang tentang banyak hal. Bisa aku tangkap waktu itu, dia telah menjadi superior dengan atributnya sebagai mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Tidak berbeda dengan teman-temanku yang lain – tentu tidak semua temanku seperti itu, yang juga menjadi mahasiswa di perguruan tinggi-perguruan tinggi favorit, perkataan-perkataannya seperti meremehkan dan menjelekkan kegiatan-kegiatan dan sifat-sifat mahasiswa-mahasiswa UIN SUKA Yogyakarta, tempat aku menimba ilmu.
Ya, aku akui UGM Yogyakarta sangat jauh berada di atas UIN SUKA Yogyakarta, tetapi aku tidak perlu putus harapan karena yang membuatku sukses dan berhasil bukanlah universitas tetapi diriku sendiri dan usaha-usahaku serta doa orang tua serta restu Tuhan. Universitas hanya salah satu jalan menuju kesuksesan dan keberhasilan itu. Aku mempunyai rencana, UIN SUKA Yogyakarta akan bangga mempunyai mahasiswa seperti aku, bukan aku yang bangga menjadi mahasiswa UIN SUKA Yogyakarta seperti yang dirasakan teman-temanku yang hanya bangga menjadi mahasiswa di perguruan tinggi negeri favorit. Aku sadar, perjuanganku juga sangat berat dan aku harus bisa menjadi yang selalu lebih baik dari yang lain dan dari aku yang sebelumnya. Aku tidak boleh gegabah dalam bertindak dan berkata, aku juga tidak boleh menyombongkan diriku, baik sebelum maupun sesudah aku sukses dan berhasil nantinya. Aku tidak boleh berkata lebih sebelum aku mencobanya.
Selain itu, pelajaran yang aku ambil darinya, aku tidak suka pikiran subyektif, seperti yang dia berikan padaku. Waktu itu, dia memberikan masukan untuk permasalahanku berdasarkan atas pengaalaman yang dia alami sehingga terkesan dia menyuruhku untuk menirunya. Aku menolaknya mentah-mentah karena alasan yang subyektif. Aku juga mempunyai pendapat sendiri yang lebih cocok untuk diriku sendiri. Aku akan menerima saran, kritik, dan masukan yang hanya bersifat obyektif dan konstruktif serta universal. Aku juga tidak suka caranya dengan menyuruhku meniru dia, memangnya siapa dia? Dia bukan guruku, dia hanya temanku. Suatu ketika, dia menyuruhku membuka blognya dan mengambil hikmah dari tulisan-tulisannya. Waktu itu, langsung aku tolak. Aku masih repot merealisasikan hasil pembelajaranku dari kehidupanku yang lebih penting daripada tulisan-tulisannya di blog. Namun, seiring berjalannya waktu, aku dan dia menjadi teman diskusi yang sangat bagus, moderat, dan saling mengisi dan memberi wawasan. Sering aku ditanya tentang suatu permasalahan kekinian, kemudian aku menjawabnya dan dia berpendapat sehingga aku dan dia menjadi teman diskusi yang baik.
Hari Sabtu sampai dengan hari Minggu, tepatnya tanggal 20 Desember 2008 sampai dengan 21 Desember 2008, aku dan teman-teman yang tergabung dalam IKEBANA (Ikatan Keluarga Besar Alumni Dewan Ambalan SMA Negeri I Karanganom) dan DKR (Dewan Kerja Ranting) Karanganom, dimintai tolong oleh adik-adik kelas XI masa bhakti tahun 2008 sampai dengan 2009 yang menjadi panitia Perpencap (Perkemahan Penerimaan Calon Penegak) untuk membantu mereka dalam kegiatan tersebut. Jauh hari sebelum itu, aku sudah membantu persiapan mereka, diantaranya aku membantu dalam pembuatan proposal dan membimbing cara kerja mereka nantinya, juga tidak lupa menganalisis kesalahan-kesalahan yang sering terjadi agar mereka tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang sama ketika kakak kelas mereka menjadi panitia di tahun sebelumnya. Dalam melakukan itu semua, aku dibantu oleh temanku yang bernama Agung Sagoro.
Tidak ada keinginan untuk mendapatkan pujian, aku hanya berpikir bagaimana aku menciptakan dan membentuk generasi penerus yang baik agar menjadi lebih baik karena keberhasilanku dalam organisasi bukan terletak pada masaku, tetapi keberhasilan organisasi pada masaku terletak pada keberhasilan mencetak kader dan generasi penerus yang lebih baik. Aku juga tidak ingin lepas penuh tanggung jawabku meskipun aku sudah melepas jabatan Pradana II selama dua tahun waktu itu.
Seperti yang aku tulis di depan, aku membantu mereka agar mereka bisa berhasil. Tetapi, jika mereka berhasil, keberhasilan itu milik mereka, bukan milikku. Keberhasilan itu karena mereka bekerja keras, bukan karena aku membantu mereka. Karena yang melakukan itu semua adalah mereka, bukan aku. Sesuatu yang aku lakukan itu, membuat eksistensiku sangat kecil. Eksistensiku di mata teman-teman dan yang lain menjadi tidak ada. Hasilnya, tidak ada yang mengetahui tentang kelebihanku itu sehingga jaringanku sangat sempit karena tidak banyak yang mengetahui aku dan memang aku tidak mengatakan dan mempublikasikannya. Hal itu sama artinya usahaku yang berat untuk membantu mereka percuma saja, dalam artian percuma dalam hal tidak banyak orang yang mengetahui, karena biasanya orang yang membantu atau penolong ingin diketahui oleh banyak orang sehingga diakui eksistensinya. Namun, jika dalam artian membagi pengalaman, hal yang aku lakukan itu bukan menjadi hal yang percuma dan sia-sia saja karena aku banyak bertukar pengalaman dengan teman-teman dan para panitia sehingga membuatku merasa sangat senang dan bahagia, bahkan ada rasa puas. Kata salah seorang temanku, jika perilakuku tersebut diimplementasikan di dalam bidang bisnis, aku akan rugi besar karena dalam dunia persaingan seperti dunia bisnis, hal yang paling penting adalah eksistensi seseorang yang diakui keheebatan dan kelebihannya.
Semua itu berawal ketika aku tidak suka mengatakan usaha-usaha yang aku lakukan dan kesakitan-kesakitan yang aku rasakan. Dengan kata lain, aku berkata hanya dengan hasil kerja dan akibatnya, tidak banyak yang mengetahui aktor di balik hasil kerja tersebut dan keberhasilan tersebut. Karena memang aku tidak pernah mengatakan bahwa aku yang memulai keberhasilan itu meskpipun memang benar aku yang memulainya. Aku selalu menyertakan nama teman-temanku yang bekerja dalam satu tim dan dalam satu waktu karena merka juga mengambil peran yang sangat penting di dalam keberhasilan sebuah kerja yang aku dan teman-teman lakukan. Keberhasilan milik bersama, begitu juga kegagalan juga milik bersama.
Karena itu, aku selalu mengatakan kepada teman-teman di organisasi atau yang bekerja dalam satu tim untuk tidak mengumbar usaha yang mereka lakukan di dalam menjalankan tugas kerja. Setiap komponen di dalam tim dan organisasi sudah mempunyai tanggung jawab kerja masing-masing dan deskripsi kerja masing-masing yang wajib dilaksanakan dengan baik sehingga semua komponen di dalam tim dan organisasi akan bekerja, tidak yang berat dan tidak yang ringan, karena sudah terbagi dengan adil dan seharusnya. Namun, ionisnya, banyak orang yang tidak bekerja secaar serius di dalam tim dan organisasi itu.
Salah seorang temanku yang bernama Handli Aji Kristal sampai bingung dan heran dengan yang aku lakukan tanpa menghhiraukan eksistensiku sendiri. Padahal, eksistensik itu penting untuk menunjukkan siapa diriku dan agar orang lain mengetahui tentang kelebihanku dan keterampilanku. Jika tidak, maka aku akan tenggelam. Sebenarnya, aku juga inging sekali menunjukkan siapa diriku, tetapi, itu bukan hakku.
Hal lain yang aku alami ketika masa kuliahku hampir menginjak satu semester pertama bahwa aku baru sadar kalau aku benar-beanr kagum dengan ayahku. Sebelum itu, akujuga sudah kagum dengan ayahku, namun tidak sampai seperti yang aku rasakan ketika itu, ketika kuliahku hampir satu semester. Ayahku mempunyai cukup banyak kelebihan yang tidak dimiliki seorang ayah yang lain. Beliau cerdas dan pintar serta kritis melihat permasalahan, tanggap di dalam sebuah pemberitaan, peduli kepada orang lain di sekitarnya, tanggung jawab dan amanah terhadap beban yang beliau pikul, tidak takut menyampaikan kebenaran walau posisinya hanya seorang diri. Beberapa bukti untuk kelebihan ayahku itu, ayahku pernah mengkritik kepada Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri I Karanganom (SMA tempat aku bersekolah) yang bernama Bapak Drs. H. Fachruddin Suwoto, M.M. ayahku mengkritik soal administrasi dan manajemen sekolah tersebut. Sewaktu ayahku masih duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II (DPR Dati II – Kabupaten Klaten), ayah selalu menguak dan mencoba menggagalkan praktek-praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dan kecurangan-kecurangan kerja yang lain. Yang hebat, ayahku pernah menjadi single fighter di dalam melawan mereka wakli rakyat yang ada di DPR Dati II Klaten yang bekerja dengan tidak benar dan menjalankan praktek KKN serta tidak amanah dalam menjalankan aspirasi rakyat. Hasilnya, ayahku yang menang meskipun hanya petarung seorang diri (single fighter) karena ayahku berada di atas kebenaran sehingga dapat melawan mereka. Aku tidak akan banyak menulis tentang kehebatan ayahku ini karena itu semua milik ayahku dan aku tidak ingin dicap sebagai dan menjadi generasi muda yang hanya membanggakan kehebatan leluhur dan orang tua sedangkan dirinya sendiri tidak memiliki keunggulan apa-apa.
Selain itu, ayahku juga pernah hampir dicelakai dan dihajar oleh pihak yang dikritik oleh ayahku di Koperasi Batur Jaya. Namun, entah mengapa pihak tersebut justru celaka sendiri. Sampai pihak yang membela ayahku hendak membalaskan perbuatan buruk pihak yang melawan tersebut namun, ayahku tidak mengijinkan, ayahku hanya berkata bahwasanya biar Alloh SWT yang memberikan balasan, entah balasan yang baik atau buruk. Jika manusia yang membalas, akan menambah masalah.
Satu hal lagi yang aku kagumi dari ayahku. Beliau adalah seorang muballigh, pendakwah agama Islam. Biasanya, seorang muballigh akan diberi “upah” atau uang oleh ta’mir atau penyelenggara atau panitia pengajian atau pengundang sebagai pengganti transportasi, pengorbanan, dan buku-buku atau kitab-kitab yang dia beli. Selain itu, sebagai seorang muballigh, ayah juga sering kali dimintai tolong untuk makashil mayyit (menceritakan riwayat orang yang wafat tersebut) dalam ta’ziyah, untuk berpidato menyerahkan pengantin (pasrah temanten – bahasa Jawa), untuk berpidato menyambut tamu undangan (atur pambagyo harjo – bahasa Jawa), untuk berpidato menyerahkan pengantin putri kepada pihak pengantin laki-laki (pasrah temanten – bahasa Jawa), untuk mengurusi tanah wakaf, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu mendapatkan hasil dalam bentuk materi. Namun, ayahku selalu menolak pemberian materi tersebut meskipun hanya sekedar sebagai pengganti kitab atau transportasi atau uang jasa. Jiwa sosialnya tinggi dan beliau juga disegani oleh masyarakat.
Suatu hal yang kontradiksi dengan ayah adalah ada muballigh-muballigh yang justru “pasang tarif” sebagai uang penggantinya. Seolah-olah mereka menjadikan muballigh sebagai sebuah mata pencaharian, padahal muballigh adalah sebuah tugas dan kewajiaban yang sama sekali bukan mata pencaharian. Muballigh seharusnya mengemban tugas dakwah dengan hati yang suka rela dan berani berkorban untuk kepentingan agama, bukan justru mengaharapkan imabalan yang besar di dunia ini. Karena itu, tidak aneh jika para tetanggaku yang juga mayoritas adalah muballigh menjadi kaya raya di samping pekerjaannya yang lain sukses. Berbeda dengan ayahku, yang sangat sederhana, bahkan tidak jarang juga ayahku kesulitan untuk memenuhi kebutuhan keseharian. Itulah kekagumanku pada ayahku, ayah tetap tidak mau menerima materi dari orang lain ketika setelah ayah menjalankan tugasnya sebagai muballigh meskipun kadang ayah juga membutuhkan materi itu dan tidak pernah sekalipun ayahku “pasang tarif”.
Setiap kali zakat fitrah (akhir Ramadlan), ayah selalu mendapatkan jatah zakat karena ayahku dimasukkan dalam kategori jihad fis sabilillah (orang yang berjuang di jalan Alloh SWT), salah satu pihak yang berhak menerima zakat yang juga termasuk dalam delapan golongan (fakir, miskin, gharim, ‘amil, jihad fis sabilillah, ibnu sabil, hamba sahaya, muallaf). Namun, ayah tetap menolak zakat tersebut dan tidak menerimanya dengan alasan tafsiran jihad fis sabilillah adalah hanya bagi orang Islam yang benar-benar berjuang di jalan Alloh SWT, seperti berperang jihad. Bukan kemudian diqiyaskan pada pendakwah karena sekarang jarang sekali orang yang berperang jihad di Indonesia. Selain itu, ayah juga beralasan masih banyak orang lain yang lebih berhak menerimanya.
Aku menuliskan kelebihan ayahku bukan berarti aku memamerkannya, aku hanya menulis kekagumanku kepada ayahku saja. Aku tahu, aku harus bisa seperti ayahku. Tetapi, hal itu bukanlah perkara yang mudah semudah membalikkan telapak tangan. Tanggung jawab seorang muballigh sangat besar. Dan aku mencoba belajar dari situ. Dan aku juga belajar banyak hal dari ibuku tercinta.
Ibuku adalah seorang ibu yang hebat di mataku. Dahulu ketika kecil, ibuku merupakan putri dari pasangan konglomerat yang tinggal di Semarang. Karena orang tua dari ibuku dicurangi ketika bekerja dan berdagang, akhirnya mereka bangkrut dan jatuh miskin secara mendadak. Setelah itu, mereka kembali ke kota Klaten, ke daerah yang dekat dengan orang tua dari ibunya ibuku. Dari situ, ibuku belajar banyak hal, misalnya belajar bekerja keras sejak kecil dan belajar menjadi tangguh menghadapi cobaan hidup.
Ketika sekolah, ibuku sering kali meraih juara umum, khususnya sewaktu ibuku sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yang lokasinya dekat dengan SMA Negeri I Klaten.
Ketika ibuku lulus dari sekolahnya, ibuku memilih untuk bekerja saja, yaitu buka praktek salon khusus wanita, karena ibuku ingin membantu orang tuanya menanggung beban hidup. Ibuku memilih bekerja membuka salon khusus wanita karena ibuku pandai dalam hal itu dan mendapatkan ilmunya dari SMK tersebut.
Ibuku banyak belajar mengenai kerasnya hidup, termasuk kerasnya pendirian dan prinsip ayahku ketika mereka menikah sejak tahun 1978. Ibuku juga sangat mengagumkan sebagai sosok pendamping hidup. Meskipun banyak mengalami benturan pendapat, prinsip, dan pemikiran dengan ayahku, ibuku tetap mendampinginya demi keutuhan keluarga dan kebahagiaan putra-putrinya. Tidak jarang ibuku menangis karena sulitnya hidup yang dijalaninya, tetapi aku selalu berusaha di sampingnya untuk sedikit memberi setetes energi hidup. Ya, sangat sedikit, setetes atau bahkan setengah tets atau seperampat tetes. Aku tidak tahu.
Selain hal di atas, ibuku merupakan seorang ibu yang pandai dalam mengurusi rumah tangaa. Standart ibu rumah tangga yang beliau lakukan jarang dapat dilakukan oleh orang lain. Misalnya, bangun sekitar pukul 03.00 WIB pagi untuk mencuci pakaian, mengepel lantai, menyapu rumah (bagian dalam dan luar), mempersiapkan makanan dan minuman, dan terakhir adalah merias diri sehingga terlihat rapi. Jadi, keinginan ibuku adalah ketika suami dan anak-anak bangun tidur, keadaan rumah sudah bersih, makan dan minuman sudah tersaji, dan istri dan ibu sudah rapi. Bahkan, ketika aku dan kakak-kakakku masih bayi, ibuku bangun tidur pukul 02.00 WIB pagi untuk mencuci banyaknya baju popok kami dan menyeterika baju dan popok-popok kami.
Hal yang cukup mengagumkan dari ibuku juga adalah ibuku tetap berbakti pada ayah dan ibunya meskipun beliau sejak kecil sering disikapi tidak adil oleh mereka. Ibuku hanya diam dan bersikap sabar serta berdoa dan menjadikan peristiwa tersebut sebagai cermin, ibuku berniat jangan sampai kelak ibuku melakukan hal itu pada putra-putrinya dan cucu-cucunya. Ibuku juga merupakan tipe ibu yang sangat penyayang dan pengertian, terutama kepada putra-putrinya dan suaminya.
Apapun itu, kapanpun itu, dan bagaimanapun itu, sikap ayah dan ibuku tersebut akan selalu terukir dalam pikiran dan hatiku, terukir abadi sepanjang masa, sampai nafas terakhirku kelak. Dan aku ingin sekali belajar dari mereka sehingga aku menjadi manusia yang tangguh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar