Jumat, 03 September 2010

SEPENGGAL KISAH KECIL YANG KESEMBILAN : Pikiran Positif dan Negatif

Aku pernah mendengar seseorang berkata bahwa manusia itu mempunyai dua sisi pemikiran, yaitu pemikiran negative dan pemikiran positif. Sejujurnya, aku tidak begitu memahami maksud perkataan tersebut dengan baik. Tetapi, kalau tidak salah, aku pernah mengalami sebuah pengalaman yang melibatkan pemikiran positif dan negative itu. Namun, yang lebih aku sukai adalah pemikiran negative karena dari situ, terdapat banyak rasa dan pelajaran.
Pemikiran positif dan negative tersebut mempunyai peran yang sangat besar dalam setiap perilaku dan kehidupan manusia.
Yang pertama, mengenai pemikiran positif akan membuat seseorang melihat sesuatu dengan baik dan jernih. Meskipun positif, ada sisi negatifnya juga. Apabila hal ini terlalu berlebihan, maka akan menyebabkan seseorang mendewakan sesuatu itu dan membuat seseorang itu menduakan sesuatu yang tidak boleh diduakan dan disekutukan. Kalau hal itu terjadi, akan mengubah seseorang itu, baik dari segi pribadi maupun yang lain, seperti melalui imitasi dan sejenisnya.
Aku sendiri pernah mengalami hal itu. Sejujurnya, aku sendiri juga heran dengan yang terjadi pada diriku tentang hal ini. Aku mengidolakan seseorang, tepatnya seorang pembalap yang sangat hebat, yaitu Valentino Rossi. Aku hampir mendewakannya, sejak tahun 2003 – yaitu tahun pertamaku menyukai balap MotoGP dan sekaligus tahun pertamaku aku menyukai Vale – aku selalu mendukungnya secara tidak langsung, baik kalah maupun menang, aku tetap menyukainya. Tetapi, aku tidak mau dipengaruhi oleh siapapun juga, termasuk dia sekalipun. Namun, faktanya aku terpengaruh oleh dia meskipun aku dan dia tidak pernah bertemu sekali pun. Aku sangat menyukai pemikiran-pemikiran dia tentang berbagai pengalaman-pengalaman yang dia lalui serta perilaku dia tentang pengalamannya. Aku juga suka dia, baik di dalam sirkuit maupun di luar sirkuit. Selanjutnya, aku belajar menyikapi kehidupanku seperti yang dia tulis di buku otobiografinya karena memang itu bagus untuk diimplementasikan.
Aku mengidolakan Valentino Rossi – seseorang yang tidak seharusnya aku idolakan – tetapi aku justru tidak mengidolakan seseorang yang seharusnya aku idolakan – yaitu Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam. Sebenarnya, aku juga mengaguminya. Ya, bahkan semua tentang dirinya karena dalam Al Quran Surat Al Ahzab ayat dua puluh satu Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa berfirman bahwa beliau adalah suri teladan yang baik bagi umat manusia dan barangsiapa yang banyak bershalawat kepada beliau, akan mendapat syafa’atnya dihari kiamat nanti. Aku mengagumi beliau dari berbagai sisi, dari sisi kegigihannya dalam menyebarkan Islam di tengah masyarakat yang brutal dan liar, kesabarannya dalam menghadapi mereka sehingga beliau menjadi Rasul Ulul ‘Azmi, kelembutannya, kebenarannya, kebijakannya, keteladanannya, kelebihannya, kegagahannya, keberaniannya, kebesaran hatinya, sifat mulianya, kejujurannya, keadilannya, dan masih banyak lagi sifat mulianya yang tidak bisa disebutkan dengan kata-kata. Setidaknya, aku sudah menyadari kesalahanku. Tetapi, tentang pemikiran susah diubah. Kalaupun bisa, akan membutuhkan waktu yang cukup lama, kecuali jika memperoleh hidayah dari Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa, sekejap pun bisa jadi.
Ada sisi lain lagi mengenai pemikirnan positif, yaitu tentang bagaimana cara orang mengatasi kegagalan dan setiap permasalahan dalam hidupnya dengan menggunakan cara pandang dan pemikiran positif. Biasanya, orang yang mengalami kegagalan akan mudah menajdi putus asa dan menyerah . hal itu disebabkan oleh karena mereka tidak memiliki cara pandang dan pemikiran yang positif mengenai kegagalan itu sendiri. Coba kalau memakai pemikiran positif dalam menyikapi kegagalan itu, akan beda hal mengenai dampaknya, baik mengenai dampak psikologis maupun dampak fisiologis. Ketika gagal, seseorang harus menganalisis dan mengevaluasi tentang penyebab kegagalannya itu, apakah kurang tepat waktunya, atau karena kurang keras dalam berusaha, ataukah karena kurangnya biaya, atau karena penyebab lain. Setelah itu, dia harus berpikir mengenai bagaimana cara mengatasi kekurangan dan kesalahannya itu untuk kemudian digunakan dalam kesempatan keduanya. Dia harus berpikir bahwa masih ada kesempatan yang lain untuk meraih sukses, bahkan dalam bentuk yang berbeda sekalipun, karena bentuk dan jalan kesuksesan tidak hanya hanya satu macam. Dan, pada kesempatan keduanya itu, dia harus yakin bahwa dia bisa meraih kesuksesannya. Sehingga, dengan cara seperti itu, dia tidak akan kecewa, putus asa, dan terlarut dalam kegagalannya itu serta akan terdorong untuk melakukan sesuatu lebih baik lagi, bahklan yang terbaik. Banyak orang hanya berkutat pada bagaimana rasa kegagalan itu, bukan pada bagaimana cara meraih sukses yang telah gagal diraihnya pada kesempatan pertama. Namun, akan lebih baik lagi tidak menunggu gagal untuk kemudian termotivasi, tetapi lakukan yang terbaik sejak kesempatan pertama. Mengapa harus gagal kalau berhasil pada kesempatan pertama saja bisa?
Berpikir positif juga bisa menjadikan seseorang berubah menjadi lebih baik karena di setiap permasalahan hidup dan kejadian hidup dia selalu mengedepankan pemikiran yang positif sehingga menjadikan dia berpikir jernih dan finalnya dia akan bertindak dengan benar serta memperbaiki perilaku yang telah lalu. Hal itu juga dikatakan oleh seorang trainer jebolan Pondok Pesantren Gontor yang bernama Akbar Zainuddin.
Singkat kata, pemikiran yang positif mempunyai banyak manfaat dalam kehidupan harian.
Yang kedua, tentang pemikiran negative. Sebenarnya sederhana. Pemikiran ini sebenarnya merupakan kebalikan dari pemikiran positif. Meskipun sederhana, namun efeknya sangatlah luar biasa. Teruatama ketika berpkir negative mengenai seseorang atau sesuatu. Karena aku sendiri pernah mengalaminya sendiri tentang hal itu. Aku mengambil pengalaman ini dari dua orang, dan tidak akan aku sebutkan namanya karena memang itu tak perlu. Sampai sekarang, aku masih mempunyai pemikiran yang negative terhadap orang itu. Setidaknya, sejak tahun 2002 aku sudah tidak pernah berbicara lagi dengan dia, bahkan tidak berkomunikasi dan bergaul lagi dengannya padahal hampir setiap hari aku bertemu dengan dia. Terus terang, dia sudah sangat sering menyakitiku, baik dalam bentuk fisik maupun psikis. Aku juga sudah melihat keburukan-keburukan dia dengan catatan aku berpikir secara obyektif semampu mungkin. Oleh karena itu, aku tidak mau membahasnya sedetail mungkin.
Berpindah masalah, ini tentang tanggapan temanku tentang SKI. Ketika dia kelas X SMA, dia ikut organisasi SKI itu. Tetapi, ketika kelas XI SMA, dia keluar dan tidak ikut lagi. Paradigmanya mengenai SKI berubah, itulah yang membuatnya keluar dari SKI. Yang dilakukannya itu sebenarnya tidak berbeda denganku setelah aku mengalami konflik di SKI. Tetapi, penyebab berubahnya paradigma tersebut antara aku dengan dia berbeda. Selain itu, meskipun paradigmaku tentang SKI berubah, aku masih turut serta dalam organisasi ekstrakurikuler itu sampai tahun 2008. Dia mengubah paradigmanya hanya karena pengaruh teman-teman kelompok bermainnya. Aku tahu karena memang dia mengatakan hal itu kepadaku. Pemikirannya itu tidak obyektif namun subyektif, sama seperti pemikiran teman-teman kelompok bermainnya itu. Baiklah, tetapi bagaimana pun juga hal itu bukanlah perbuatan yang tepat. Dia terlalu berpikir negative dan jelek mengenai SKI. Memang, segala seuatu itu tidak terlepas dari keburukan dan kebaikan. Namun, SKI juga memiliki cukup banyak kebaikan dan keunggulan. Semangat mereka menjunjung tinggi Islam dan meneriakkan Islam pantas diacungi jempol. Tetapi, dia terlalu berpikiran jelek terhadap SKI. Karena dia berpikir hanya dari sudut pandangnya saja. Selain itu, ketika aku sedang mempunyai permasalahan dengan SKI, aku mencoba meluapkan permasalahanku kepada dia untuk sekedar bercerita, namun dia bukannya menghiburku, tetapi malah menjelek-jelekkan SKI. Bukankah teman yang baik adalah teman yang bersedia hanya mendengarkan dan menghibur, bukan yang menambah beban permasalahan?
Memang, berpikir obyektif sangat sulit untuk dilakukan, apalagi kalau pemikirannya berbeturan dengan pemikiran orang lain. Dia mempunyai kecenderungan untuk lebih memilih pemikirannya sendiri, meskipun kadang pemikirannya itu belum tentu benar. Meskipun sulit, berpikir obyektif harus tetap dilakukan. Sulit bukan berarti tidak bisa, kan?
Suatu hari aku mempunyai pemikiran, “pelajarilah kehidupan sebelum kehidupan memberikan pelajaran pada dirimu.” Memang sangat sederhana kalimat tersebut dan mungkin akan menimbulkan penafsiran yang bermacam-macam dari kalimat sesederhana tersebut, sehingga aku perlu menjelaskan maksud dari kalimat yang ku peroleh dari pikiran pengalamanku itu. Seseorang harus dapat berpikir untuk mengambil pelajaran dan hikmah dari setiap kejadian dalam hidupnya dari berbagai segi kehidupan. Seseorang harus jeli dan teliti melihat setiap kejadian dalam kehidupannya sehingga dia dapat menangkap pesan kehidupan untuk dia pakai dalam perbaikan yang bertujuan untuk menjadi yang lebih baik dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun, dan bahkan dari bayi sampai mati. Dengan mengambil pelajaran dari setiap kejadian dalam hidup, seseorang tidak akan rugi dan tidak akan mendapatkan hukuman dari Tuhan lewat kehidupannya itu. Tidak ada kata terlambat untuk belajar sehingga ketika sadar, ketika itu juga segera belajar dan memperbaiki diri.
Ada satu hal yang cukup mengerikan yang pernah aku alami, yaitu aku hampir mempunyai stigma negative mengenai agama Islam, agama yang aku anut. Aku sudah menceritakan semua tetntang konflikku di SKI dan masalah perbedaan atau khilafiyyah dalam agama Islam ketika aku duduk di bangku SMA. Aku hampir berpandangan bahwa Islam itu adalah agama yang buruk karena banyak terjadi perbedaan di antara para pemeluknya, bahkan sejak masa Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam masih hidup, seperti perbedaan antara kaum Muhaajirin (kaum yang ikut serta Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam hijrah dari Makkah al Mukarramah menuju Yatsrib yang kemudian bernama Madinah al Munawarah) dan kaum Anshar (kaum yang merupakan orang Madinah yang menyambut kedatangan Rasulullaah Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam beserta rombongannya). Dari fakta tersebut aku hampir menyimpulkan bahwa orang Islam tidak bisa bersatu padu.
Tetapi, aku perlahan mulai memahami perbedaan itu. Perbedaan itu pasti ada karena hal itu merupakan suatu keniscayaan dan sunnatullah, bahkan dalam agama sekalipun. Perbedaan itu bisa menjadi rahmat. Yang dimaksud dengan rahmat adalah membawa segi positif bagi Islam jika disikapi dengan bijaksana. Yaitu mereka akan berlomba dalam memperoleh informasi dan sumber untuk dijadikan dalil serta bisa saling bertukar informasi sehingga referensi dalam dalil akan lebih banyak dan sempurna. Finalnya, mereka akan berpandangan luas dalam melihat suatu persoalan agama yang berimbas pada tidak adanya sikap ekstrem dan saling menyalahkan bahkan saling mengkafirkan.
Faktanya hampir semua perbedaan adalah benar. Iya, hampir semua, bukan semua, karena hanya yang bersumber dan berlandaskan Al Quran, Hadits Nabi, dan Ijtihad saja. Ketika semua bersemangat untuk berlomba mencari kebeenaran, bukan hal yang mustahil bahwa Islam akan kembali berjaya karena semua potensi dan fungsi yang dimiliki oleh kaum Islam akan keluar kembali. Bahkan bukan hal yang mustahil juga akan muncul lebih banyak cendekiawan Islam di Indonesia ini.
Namun, ada satu hal yang juga masih menyisakan tanda tanya dalam pikiranku. Jika perbedaan itu bisa mengembalikan kejayaan islam, mengapa harus cara seperti itu? Apakah tidak ada cara yang lebih baik lagi? Ya, ku sebut cara perbedaan itu kurang aku setujui karena juga menimbulkan banyak efek negative, salah satunya diantaranya adalah saling klaim benar dan saling mengkafirkan serta saling menyalahkan. Banyak golongan yang menyalahkan golongan lain dan menyebut golongannya yang benar.
Dan, ada satu hal lagi yang ku pahami dari pengalaman itu. Jika tidak ada konflik, tidak akan perubahan yang signifikan, tentu saja perubahan ke arah yang positif, lebih maju, dan lebih baik.
Seperti yang aku katakan, perbedaan tidak perlu dipermasalahkan. Tetapi, bukan berarti didiamkan juga. Perbedaan juga perlu dibahas secara bijaksana dan bermartabat, perlu dibahas bagaimana sumber dalil itu, bagaimana istinbath (metode penggalian hukum) itu. Yang menjadi catatan adalah jangan sampai bersikap tekstual, fanatic, ekstrem, picik, dan sikap sejenisnya.
Dari dahulu, perbdaan sudah terjadi. Diantaranya:
a) Dalam bidang siasat:
1. terjadi perbedaan antara kaum Muhaajirin dan Anshar.
2. terjadi perbedaan antara Sayyidina ‘Ali Ibn Abu Thalib Karramalloohu Wajhah dengan istri Nabi – Sayyidatuna ‘Aisyah Radilyalloohu ‘Anhaa.
3. terjadi perbedaan antara Sayyidina ‘Ali Ibn Abu Thalib Karramalloohu Wajhah dengan Mu’awiyah ibn Abu sufyan.
4. terjadi perbedaan antara Bani Umayyah dengan Bani ‘Abbasiyyah.
b) Dalam bidang tauhid dan ketuhanan.
1. beberapa orang berpendapat cukup mempelajari sifat Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa yang dua puluh, dan sementara orang lain berpendapat bahwa hal itu belum cukup.
2. ada yang berpendapat bahwa Tuhan serupa dengan makhluk dan ada yang berpendapat bahwa Tuhan tidak serupa dengan makhluk.
c) Dalam bidang kenabian dan kerasulan.
1. ada yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam adalah nabi dan rasul terakhir dan ada yang berpendapat masih ada nabi dan rasul sampai hari kiamat.
2. ada yang berpendapat bahwa wahyu Illahi putus sampai dengan NAbi Muhammad Shallalloohu ‘Alayhi Wa Sallam dan ada yang berpendapat masih berlanjut hingga akhir kiamat.
d) Dalam bidang fiqih.
1. perbedaan antara satu kali adzan jum’at dengan dua kali adzan jum’at.
2. perbedaan pembacaan lafadz “bismillaahirrahmaanirrahiim” dengan jahr (keras) dan sirr (pelan) pada shalat.
3. perbedaan antara enam rukun wudlu dengan empat rukun wudlu.
4. perbedaan membaca “sayyidinaa” dan tidak dalam shalawat nabi.
5. sunnah doa qunut pada shalat shubuh atau tidak. (sumber : 40 Masalah Agama karya Kyai Haji Siradjuddin Abbas)
Bagiku, perbedaan dibahas bukan untuk mencari pihak yang benar-benar benar karena hamper semua pendapat benar jika berada dalam koridor Al Quran, sunnah Nabi, dan ijtihad. Tetapi, perbedaan dipelajari untuk mengetahui cara berpikir golongan lain dan melengkapi referensi serta belajar berpandangan luas dan kontekstual.
Ada satu hal lagi yang ku ingat dari tulisan teman baikku yang bernama Robiah Uswatun Hasanah. Dia menuliskan bahwa “ pikiran negative (menurut bahasaku) adalah pikiran/pemikiran yang berasal dari rasa tidak suka seseorang pada sesuatu.itu bisa berupa kekhawatiran, ketakutan-ketakutan yang belum benar-benar terjadi, imajinasi-imajinasi buruk yang selalu menghantui kita. Semakin banyak kita memikirkan hal-hal itu, semakin banyak pula energi-energi negative yang berada di sekitar kita. Dan tambahan lagi, semakin sering kita memikirkan hal itu, pasti hal-hal buruk itu akan semakin buruk (dan bahkan bisa terjadi). Misalnya, seseorang bernama X melihat seseorang bernama Y. X melihat Y sebagai orang yang buruk. Singkatnya, X tidak menyukai Y dan untuk selanjutnya X akan selalu melihat Y sebagai orang yang buruk bahkan lebih buruk dari saat pertama melihatnya. Karena X hanya mengambil yang buruk-buruk saja. Dia hanya berpikir yang negative tentang Y sekalipun Y mempunyai dan sudah menampilkan sisi positifnya, X akan selalu dan selalu berpikir bahwa Y adalah buruk, jika X tidak mengubah pandangan dan pola pikirnya. Jadi, hilangkan pikiran negative. Ganti dengan pikiran positif. Dan pasti mudah dan sulit untuk mengusir pikiran-pikiran negative yang masuk ke dalam pikiran kita. Kalau saat pikiran-pikiran negative itu datang, bilang saja,”aku mempunyai pikiran-pikiran negative yang lemah.” Lalu ganti dengan pikiran positif. “Bersikaplah tenang dan ingatlah bahwa Alloh Subhaanahu Wa Ta’aalaa selalu mengetahui apa yang ada di hati kita, di pikiran kita, tentang kita.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar